Rabu, 25 Januari 2017

Model Distribusi Zakat


Model Distribusi Zakat
(Asriana, Prodi Ekonomi Syariah, STAIN Watampone, tahun 2017)
Gmail: asrianayusuf39@gmail.com

Abstrak
Indonesia adalah negara yang penduduknya masyoritas Islam. Islam adalah agama yang mewajibkan zakat untuk dikeluarkan atas harta tiap diri orang muslim. Mengingat banyaknya muslim di Indonesia otomatis besar pula potensi zakat yang ada. Namun, apa daya hal itu bukan lagi sebuah idealisme yang bisa dipertahankan sebagai warisan umat Islam yang berjaya menegakkan syariat.
Dana zakat yang terkumpul dari sekian banyak potensi zakat seyogyanya bisa membawa kesejahteraan bagi para mustahik. Zakat sebagai pemerataan pendapatan belum bisa optimal sebagaimana mestinya. Hal ini tak lain karena problem yang mengglobal dari tahun ke tahun yakni ditribusi zakat yang dominan tersentralisasi pada satu kelompok masyarakat. Secara umum, hal ini dipahami sebagai model distribusi zakat yang diterapkan tidak efisien dan belum optimal.
Pada hakekatnya, model distribusi zakat yang berkembang yaitu model distribusi konsumtif, model distribusi produktif, serta model distribusi zakat dalam bentuk investasi. Beberapa model distribusi zakat inilah yang kemudian dipahami dan diharapkan dapat merealisasikan distribusi zakat yang optimal serta dapat memenuhi target utamanya yakni zakat sebagai pemerataan pendapatan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kata Kunci: Konsumtif, Produktif, Investasi, Model Distribusi Zakat.

A. Pendahuluan
Pada realitasnya, umat Islam khususnya di Indonesia masih saja bermasalah secara kuantitatif dengan tingkat kesejahteraan. Sedang dilain pihak terlihat adanya perkembangan yang cukup meyakinkan dari laju proses empirisasi ekonomi berbasis syariah, terutama untuk dunia perbankan dan lembaga zakat. Karena pengumpulan, penyaluran dan potensi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan sudah menjadi primadona untuk disoroti dalam kajian multidimensi khazanah literatur ekonomi Islam.
Dari banyaknya teori tentang zakat yang sudah eksplorasi oleh para ahli intelektual muslim mestinya sudah ada perubahan yang menjurus pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan umat muslim melaui distribusi zakat yang tepat dengan berdasar pada teori-teori para ahli intelektual muslim tersebut.
Namun apa daya semua teori-teori tersebut masih belum bisa diimplementasikan  sesuai dengan konteks dasarnya. Dalam hal ini  adalah bertumpu pada prolem yang rancu berupa masalah pada distribusi zakat yang masih belum tepat sebagaimana mestinya. Seperti yang diketahui bersama hanya sebagian kecil potensi dana zakat yang berhasil dikumpulkan dan didistribusikan kepada yang berhak.  
Berpijak dari beberapa kerancuan tersebut yang menggambarkan pengelolaan dana zakat hanya berlaku sporadis atau kurang terorganisir menyebabkan beredarnya isu yang mempertanyakan akan kemampuan sistem zakat sebagai solusi kemiskinan dan pemerataan. Salah satunya hal ini tidak lepas dari akibat distribusi zakat yang mengalami sentralisasi zakat ataupun tidak optimalnya  model distribusi zakat yang diterapkan sementara dilain sisi zakat dipercaya dan diyakini mampu mengentaskan kemiskinan dan peningkatan kesejateraan umat muslim.
Pada perkembangannya distribusi zakat dapat disalurkan dalam beberapa model distribusi zakat ataupun pola distribusi zakat untuk mendekatkan strata kesejahteran masyarakat defisit kepada masyarakat surplus yang secara konsumtif, produktif ataupun investasi dana zakat yang pada umumnya dapat dipahami sebagai hasil akhir dari pengelolaan zakat yakni pendistribusian zakat yang optimal.

B. Konsep Distribusi Zakat
Dalam konsep distribusi zakat, penetapan dalam objek penerima zakat atau mustahik, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli mereka, secara langsung zakat itu merangsang tumbuhnya demand atau permintaan dari masyarakat, yang selanjutnya mendorong  meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka produksi juga akan ikut meningkat. Jadi pola distribusi zakat bukan hanya berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tetapi juga dapat menjadi faktor stimulan bagi pertumbuhan ekonomi di tingkat makro.
Dalam konteks yang lebih makro, konsep zakat, infak dan sedekah ini diyakini akan memiliki dampak yang sangat luar biasa. Bahkan di Barat sendiri, telah muncul dalam beberapa tahun belakangan ini, sebuah konsep yang mendorong berkembangnya sharing economy atau gift economy, di mana perekonomian harus dilandasi oleh semangat berbagi dan memberi. Yochai Benkler, seorang profesor pada sekolah hukum Universitas Yale AS, menyatakan bahwa konsep sharing atau berbagi, merupakan sebuah modal yang sangat penting untuk memacu dan meningkatkan produksi dalam ekonomi. Ia bahkan menyatakan bahwa perusahaan yang mengembangkan konsep berbagi dalam interaksi antar komponen di dalamnya, akan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau menerapkannya. Sebagai contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus akan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah mendapatkannya.
Swiercz dan Patricia Smith dari Universitas Georgia AS juga menegaskan bahwa solusi terbaik untuk menghadapi berbagai permasalahan tradisional resesi ekonomi, sebagaimana yang saat ini menimpa AS, adalah melalui semangat dan mekanisme “berbagi” antar komponen dalam sebuah perekonomian. Semangat berbagi inilah yang akan dapat mempertahankan level kemakmuran sebuah perekonomian. Artinya, ada korelasi yang sangat kuat antara memberi dan berbagi, dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Belajar dari studi tersebut, maka sudah sewajarnyalah jika bangsa Indonesia mengoptimalkan potensi zakat, infak dan sedekah, sebagai bentuk sharing economy yang diyakini akan memberikan dampak positif yang membangun.
Al-Qardhawi mengatakan bahwa tujuan mendasar ibadah zakat itu adalah untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Sistem distribusi zakat merupakan solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut dengan memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa memandang ras, warna kulit, etnis, dan atribut-atribut keduniawian lainnya.
Pramanik  berpendapat bahwa zakat dapat memainkan peran yang sangat signifikan dalam meredistribusikan pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat muslim. Dalam studinya, Pramanik menyatakan bahwa dalam konteks makro ekonomi, zakat dapat dijadikan sebagai instrumen yang dapat memberikan insentif untuk meningkatkan produksi, investasi, dan untuk bekerja. Zakat adalah mekanisme transfer terbaik dalam masyarakat.
Itulah yang kemudian terjadi di masa Umar bin Abdul Azis. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tetapi tak seorang pun yang mau menerima zakat. Artinya, para mustahik zakta benar-benar habis secara absolut. Sehingga negara mengalami surplus. Maka redistribusi kekayaan negara selanjutnya diarahkan kepada subsidi pembayaran utang pribadi swasta (swasta), dan subsidi sosial dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi atnggungan negara, seperti biaya perkawinan. Suatu saat akibat surplus yang berlebih, negara mengumumkan bahwa “negara akan menanggung seluruh biaya pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah diusia muda.” Periode pemerintahan Umar bin Abdul Azis yang berjalan tiga tahun dicatat sejarah sebagai masa  kegemilangan umat Islam di dalam keadilan dan kesejahteraan, karena kepemimpinan yang bersih dan taqwa.
Seyogyanya, zakat diarahkan untuk bukan semata-mata keperluan sesaat  yang sifatnya konsumtif. Seyogyanya mustahik tidak diberi zakat lalu dibiarkan tanpa ada pembinaan yang mengarah pada peningkatan.
Adapun pada model perataan dalam sistem zakat didasarkan pada keyakinan bahwa:
a.       Adanya pemilikan (hak) fakir miskin yang melekat pada kekayaan si kaya dalam jumlah tertentu (zakat kekayaan).
b.      Adanya hak fakir miskin yang melekat pada penadapatan masyarakat (zakat produksi) dalam jumlah tertentu.
Sebagaimana halnya evaluasi tatanan nasional yang maju, maka persamaan kesempatan bagi orang-orang miskin seharusnya dianggap tidak sekedar sebagai anugerah kemurahan hati, tetapi sebagai  permainan di mana orang-orang miskin dapat berpartisipasi dlaam mengembangkan “haknya” yaitu “nilai lebih menurut Karl Max” atau “zakat” dan ikut memasang taruhan yang cukup berarti dalam suatu susunan yang stabil, di mana orang-oramg kaya memenuhi kewajibannya secara disiplin, lestari dan demokratis, sehingga disiplin pengalihan kekayaan dari kelompok kaya ke kelompok miskin.    
Oleh karenanya mengingat dengan disiplin pengalihan kekayaan (sistem zakat) berarti memperbesar pembentukan modal ekonomi golongan miskin secara terarah, maka pertumbuhan golongan miskin ini akan lebih dipercepat. Secara multiple akan meningkatkan dan meratakan  pembangunan secara berlipat ganda. Bahkan lebih daripada ini, bahwa peralatan pendapatan melalui sistem zakat tersebut adalah suatu ikhtiar yang dapat dipastikan akan menjadi kenyataan. Akumulasi kekayaan yang tidak terkontrol sudah dapat dipastikan akan merupakan alat permainan bahkan mungkin mengarah sebagai “alat pemeras” masyarakat. Retribusi zakat dari semua kekayaan, termasuk emas, perak, dan harta simpanan, akan mendorong pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari harta mereka agar dia dapat membayar zakat tanpa mengurangi harta itu.
Pada prinsipnya jika seseorang menghitung/mengeluarkan zakat dan mendistribusikannya sendiri kepada para mustahik, hal ini memang di benarkan oleh syariat Islam (apabila seseorang yang berzakat atau muzakki langsung memberikan sendiri zakatnya kepada para mustahik) dengan syarat, kriteria mustahik sejalan dengan firman Allah swt dalam QS. At-Taubah:60. Namun, lebih utama jika zakat itu disalurkan lewat amil zakat yang amanah, bertanggung jawab dan terpercaya, misalnya melaui yayasan-yayasan tertentu yang mengkhususkan diri pada pengelolaan ZIS. Ini dimaksudkan agar distribusi zakat itu tepat sasaran, sekaligus menghindari penumpukan zakat pada mustahik tertentu yang kita kenal sementara mustahik lainnya karena kita tidak mengenalnya tak mendapatkan haknya.
Di samping itu, ada mustahik yang berani terang-terangan meminta (as-saail) dan adapula mustahik yang merasa berat (malu) untuk meminta (al-marhum). Dengan demikian, dimungkinkan kita hanya memberi kepada mereka yang terang-terangan meminta, kita sama sekali tidak memperhatikannya.
Persepsi umum yang dipahami publik bahwa menyalurkan zakat langsung kepada mustahik adalah lebih baik dan lebih “afdhal”, merupakan persepsi yang kurang tepat. Jika merujuk kepada praktik dan contoh di zaman Nabi, akan ditemukan fakta bahwa pengelolaan zakat di zaman Rasul dan para sahabat adalah melalui institusi amil. Rasul SAW menunjuk 25 orang sahabat, seperti Ibn Luthaibah, Mu’adz bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib, sebagai amil zakat, yang bertanggung jawab langsung kepada beliau sebagai kepala negara.
Penyaluran zakat ini cakupannya sangat luas sepanjang berkaitan dengan hajat kepentingan umat Islam. Salah satunya mendirikan rumah sakit, perpustakaan, membangun sarana dan prasarana pendidikan, untuk kepentingan dakwah. Karena itu, jika di suatu tempat fakir miskin sudah terlayani dengan baik dan dana zakat masih cukup banyak tersedia maka dana zakat itu dapat digunakan untuk kepentingan tadi. Akan tetapi, jika sebaliknya alokasikanlah untuk kepentingan fakir miskin dulu. Untuk kepentingan sarana dan prasarana dakwah dapat dicarikan dana dari infak dan sedekah. Dakwah islamiyah merupakan kewajiban setiap orang yang beriman.
 Dalam prioritas penyalurannya zakat disalurkan pada wilayah yang terkecil dahulu dimana zakat tersebut ditarik baru kemudian disalurkan ke wilayah yang lebih besar darinya seperti dari kelurahan ke kecamatan dan kota madya ataukah kabupaten. Bila sudah tidak ada lagi asnaf di wilayah tersebut atau seluruh asnaf telah menerima pembagian zakat dan masih terdapat sisa zakat yang belum disalurkan, maka zakat adapat dibagikan keluar wilayah penarikan zakat, misalnya antar provinsi atau bahkan antarnegara.
Negara juga harus memiliki dokumentasi yang sangat baik terhadap semua mustahik yang ada di wilayah baik daftar para mustahik, kondisinya dan keluarganya serta data-data terkait yang dibutuhkan (pekerjaan, usia, kesehatan dan lain-lain).  Satu hal yang harus dicatat adalah negara harus memastikan bahwa asnaf di wilayahnya menerima penyaluran zakat.  Bila ada mustahik zakat yang tidak menerima zakat pada tahun zakat berjalan maka dia berhak menerima zakat tersebut pada tahun berikutnya dan negara wajib memberikan zakat kepadanya dua kali lipat padanya maka negara memiliki utang kepada mustahik. Oleh karena itu, diperlukan administrasi yang baik terhadap para mustahik dan distribusi penyalurannya.
Dana zakat pada awalnya lebih didominasi oleh pola pendistribusian secara konsumtif, namun demikian pada pelaksanaan  yang lebih mutakhir saat ini, zakat mulai dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara produktif. Inovasi distribusi tersebut di kategorikan delam empat bentuk berikut:
a.    Distribusi bersifat konsumtif  tradisional
Dalam kategori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan, seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat harta yang diberikan kepada korban bencana alam.
b.    Distribusi bersifat konsumtif  kreatif
Dalam kategori ini zakat diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti halnya diwujudkan dalam bentuk alat-alat sekolah, beasiswa dan lain-lain.
c.    Distribusi bersifat produktif  tradisional
Yang dimaksud dalam kategori ketiga ini adalah zakat diberikan dalam bentuk barang-barang produktif, misalnya kambing, sapi, mesin jahit, alat-alat pertukangan dan sebagainya. Pemberian zakat dalam bentuk ini akan dapat mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan suatu lapangan kerja baru bagi fakir miskin.
d.   Distribusi bersifat produktif  kreatif
Dalam bentuk ini zakat diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan, baik untuk membangun suatu proyek sosial maupun untuk membantu atau menambah modal seorang pedagang atau pengusaha kecil.

C. Distribusi Konsumtif Dana Zakat
Dalam distribusi konsumtif dana zakat dapat diterapkan pada upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar untuk para mustahik, upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis, upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia.
Pada upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar untuk para mustahik diterapkan tidak beda dengan pola distribusi bersifat konsumtif tradisional di mana zakat dibagikan kepada mustahik untuk konsumsi secara langsung. Dengan hal tersebut realisasinya tidak akan jauh dari pemenuhan sembako untuk kelompok delapan asnaf. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah volume zakat yang diberikan pada para mustahik  untuk kebutuhan konsumtifnya sepanjang tahun ataukah hanya untuk pemenuhan kebutuhan makanan dan minuman selama sehari semalam.
Dan kalaupun lembaga amil berkehendak untuk melaksanakannya secara periodik, maka pola pendistribusiannya dapat diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok yang benar-benar dapat meningkatkan gizi, seperti mendistribusikan susu berkualitas tinggi, madu, vitamin dan lain sebagainya yang benar-benar dapat meningkatkan pola makan delapan asnaf untuk peningkatan kualitas kesehatan tubuhnya.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis ini bukan lagi diarahkan pada distribusi konsumtif  sembako. Namun, diarahkan pada distribusi yang mengupayakan renovasi tempat-tempat pemukiman atau  bahkan membangun sejumlah tempat pemukiman bagi masyarakat delapan asnaf yang tunawisma. Dan untuk peningkatan kesejahteraan psikologis lembaga amil menyalurkannya dalam bentuk bantuan pembiayaan bagi mustahik yang hendak melangsungkan pernikahan atau sunnat massal bagi anak-anak mustahik.
 Sebagian ulama membolehkan memberi zakat tersebut untuk membangun mesjid, lembaga pendidikan, perpustakaan, pelatihan para da’i, penerbitan buku, majalah, brosur, membangun massa media, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia yakni mendistribusikan dalam bentuk peningkatan kualitas pendidikan delapan asnaf atau mustahik. Seperti silaturahmi melakukan study tour pada objek-objek yang bersejarah dan bermanfaat, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus pendidikannya karena ketiadaan dana. Namun, bisa juga diarahkan untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keterampilan nonformal (luar sekolah) yang dapat dimanfaatkan mustahik untuk kelanjutan menjalani hidup dan mencapai kesejahteraan seperti jahit-menjahit, pelatihan bahasa asing dan pelatihan kerja profesi lainnya.
Dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Perbaikan akses terhadap konsumsi pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, dan gizi) merupakan alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah secara keseluruhan untuk memerangi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan. Perluasan ruang lingkup dan kualitas dari pelayanan-pelayanan pokok tersebut membutuhkan investasi modal insani yang pada akhirnya akan meningkatkan prroduktivitas golongan masyarakat miskin.
Tujuan utama model distribusi konsumtif ini yaitu antara lain :
1. Untuk menjaga keperluan pokok mustahik.
2. Menjaga martabat dan kehormatan mustahik dari meminta-minta.
3.Menyediakan wahana bagi mustahik untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan.
4. Mencegah terjadinya eksploitasi terthadap mustahik untuk kepentingan yang menyimpang.

D. Distribusi Produktif Dana Zakat
Pada prinsipnya, zakat harus diterima secara langsung oleh mustahik yang bersangkutan. Meskipun demikian, memang diperlukan suatu kebijakan dan kecermatan dalam mempertimbangkan keutuhan nyata dari mereka, termasuk kemampuan mereka dalam menggunakan dana zakat yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan hidupnya, sehingga pada gilirannya yang bersangkutan tidak lagi menjadi mustahik zakat, tetapi mungkin jadi pemberi zakat (muzakki). Jadi, zakat diarahkan untuk bukan semata-mata keperluan sesaat  yang sifatnya konsumtif. Seyogyanya mustahik tidak diberi zakat lalu dibiarkan tanpa ada pembinaan yang mengarah pada peningkatan.
Produktivitas yang dimaksud disini adalah setelah mereka menerima bantuan modal produktif tersebut baik dalam bentuk modal kerja atau pelatihan, penerima zakat tersebut mampu menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai tambah. Hal tersebut ditujukan untuk dapat mengangkat tingkat kesejahteraan penerima zakat tersebut.
Sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk memaksimumkan laba, berdasar pada bantuan yang diberikan dan jika dilihat dari sudut ekonomi usaha memaksimumkan keuntungan ini dapat dicapai dengan efisiensi produksi. Hal ini dapat dicapai bila bantuan modal yang diberikan tidak membebani ongkos produksi. Dalam islam tidak ada faktor bunga, maka hal ini tidak akan membebani ongkos produksi, dan penerimaan dari hasil tambahan modal dapat digunakan sepenuhnya.
Dana zakat ditinjau dari sisi keuangan publik atau pengumpulan dan pengeluaran, dapat dipandang sebagai kegiatan untuk distribusi pendapatan yang lebih merata. Islam tidak menghendaki adanya harta yang diam dalam tangan seseorang. Apabila harta tersebut telah cukup nisabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian di sini tampak adanya usaha untuk mendorong orang untuk memutarkan hartanya ke dalam sistem perekonomian sehingga bisa menghasilkan pertumbuhan.
Belakangan ini di Indonesia, dunia perbankan Islam dan lembaga pengumpul zakat berusaha untuk berkomitmen  mempertemukan pihak surplus muslim dan pihak deficit muslim, dengan harapan terjadi proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus dan deficit muslim atau bahkan menjadikan kelompok yang deficit (mustahik) menjadi surplus (muzakki).lembaga perbankan bergerak dengan proyek investasi non riba sedangkan lembaga zakat selain mendistribusikan zakat secara konsumtif, saat ini juga telah mengembangkan sistem distribusi dana zakat secara produktif. Pada pola distribusi produktif  terdapat dua cara penyaluran yaitu  penyaluran dana zakat dengan skema qardhul hasan dana penyaluran dana zakat dengan skema mudharabah.
Tolak ukur dari perkembangan skema penyaluran zakat tersebut adalah bagaimana bisa mendekatkan strata kesejahteraan masyarakat defisit kepada strata mesyarakat surplus. Dalam keputusan menteri agama tentang pelaksanaan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Dana Zakat, pasal 29 menyebutkan bahwa prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha produktif  ditetapkan sebagi berikut: a). Melakukan studi kelayakan; b). Menetapkan jenis usaha produktif; c). Melakukan bimbingan dan penyuluhan; d). Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan; e). Mengadakan evaluasi; f). Membuat laporan.

E. Investasi Dana Zakat
Apabila mustahik tidak bekerja dan tidak memilki keterampilan tertentu, menurut Imam Syamsuddin ar-Ramli, kepadanya diberikan jaminan hidup dari zakat, misalnya dengan cara ikut menanamkan modal (dari uang zakat tersebut) pada usaha tertentu sehingga mustahik tersebut memilki penghasilan dari perputaran zakat itu.
Dalam pembahasan menginvestasikan dana zakat, persoalannya kemudian adalah siapa yang menginvestasikan dana zakat tersebut. Apakah mustahik, muzakki ataukah pemerintah yang mewakilinya (amil). Dari keuntungan investasi tersebut tentunya akan diberikan kepada para muzakki namun yang masih menjadi perdebatan ialah siapa yang akan menanggung jika investasi tersebut mengalami kerugian.
Dalam menanggapi adanya kemungkinan merugi dalam menginvestasikan dana zakat, kajian fikih klasik memperdebatkan sejumlah permaslahan berikut:
1.      Jika dana zakat diinvestasikan sebelum para mustahik menerima zakat tersebut, maka mustahik tidak menanggung beban kerugian. Sebagaimana mustahik tidak menikmati keuntungan dari investasi tersebut. Semisal, seorang muzakki menginvestasikan dan azakat dalam sebuah usaha sebelum memberikannya kepada nustahik, maka kerugian yang diderita hanya ditanggung oleh muzakki itu sendiri, artinya si muzakki belum lepas dari kewajibannya membayar zakat.
2.      Jika dana zakat diinvestasikan setelah mustahik menerimanya, maka mustahik menanggung beban kerugian, semisal seorang muzakki menginvestasikan dana zakat dengan membeli sejumlah saham perusahaan denagn mengatasnamakan mustahik, maka dalam hal ini hanya mustahik ynag dibebani jika perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan, sebagaimana hanya si mustahik saja yang bisa menikmati keuntungan yang didapat dari deviden saham.
3.      Jika dana zakat diinvestasikan pada saat dana zakat berada di tangan amil atau pemerintah. Masalah inilah yang masih terlewatkan dari bahasan para ulama klasik apalagi setelah amil dilembagakan. Semisal sebuah badan atau lembaga amil zakat, menginvestasikan dana zakat yang terkumpul pada salah satu industri, kemudian industri tersebut mengalami penurunan drastis, karena ada industri pesaing , misalnya. Kerugian industri yang menjadi proyek investasi tersebut mengakibatkan minus dari bagi hasil investasi. Jika demikian siapa yang wajib mengganti dana tersebut, muzakki atau mustahik atau amil itu sendiri?
Dalam permasalahan poin ketiga tersebut dan upaya mengakomodasi sejumlah pendapat mazhab yang melegalkan investasi dana zakat, di rekomdesikan seperti hal-hal berikut: (1). Amil dapat menginvestasikan dana zakatnya setelah mempunyai perhitungan matang pada usaha/industri yang menjadi objek investasi. (2). Amil dapat menginvestasikan dan zakatnya, setelah para mustahik menerima dana zakat terlebih dahulu, jadi dalam hal ini, amil hanya berlakusebagai wakil dari keseluruhan mustahik. Semisal jika diinvestasikan pada surat berharga, maka pembelian surat berharga tersebutmdilakukan atas nama mustahik.
Arah investasi dalam sistem zakat harus serasi dengan arah pembangunan ekonomi yang berciri antara lain:
1.      Menuju industrialisasi (zakat dan infak) makin rendah, bila menuju sektor-sektor industri dan perdagangan.
2.      Keseimbangan antara sektor padat modal dan padat karya (petunjuk zakat unta dan zakat kambing).
3.      Pengembangan wiraswasta secara penuh (hanya menggantungkan diri daripada kekuasaan Allah swt dan menghidupkan gotong-royong.
4.      Mengembangkan fungsi modal/kapital (uang) secara produktif dan subur  menyuburkan dan mencegah berkembangnya kapital sebagai alat pemerasan.
Adapun model distribusi zakat pada umumnya  dalam bentuk perspektif lainnya yaitu:
1.         Membeli sarana dan prasarana bagi fakir miskin
Penyebab kemiskinan, paling tidak berasal dari dua hal atau bahkan kedua-duanya. (1) Kemiskinan itu sebagai akibat dari kemalasan (kemiskinan kultural) dan ketidakmampuan seseorang untuk bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kutuhan hidupnya. (2) Kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan sebagai akibat dari pola kehidupan yang tidak adil dan penuh kezaliman. Harta kekayaan bersama dikuasai oleh sekelompok orang untuk kepentingannya sendiri. Kemiskinan struktural inilah penyebab kemiskinan yang paling menonjol dibanyak tempat dan negara. Susan George dalam How The Other All Dies: The Reak Reason For world Hunger, mengatakan bahwa situasi yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa hanya si miskinlah yang menderita kelaparan; dan pola ketidakadilan dan pengisapan yang berakar  dalam yang tumbuh di dalam maupun yang diimpor dari luar merintangi orang miskin untuk mencukupi kebutuhan pangannya.Dalam fungsi zakat yang bermakna sebagai dana masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi kemiskinan. Pemanfaatannya mempunyai arti penting sebagai salah satu upaya untuk mencapai keadilan sosial. Jika zakat dikelola dengan baik, baik pengambilan maupun pendistribusiannya, Insya Allah akan terasa dampaknya bagi usaha pengentasan kemiskinan, meski  dilakukan secara bertahap.
Adapun pendistribusian dana zakat untuk sektor fakir dan miskin dewasa ini, yakni sebagai berikut: a). Pembangunan sarana dan prasarana pertanian; b). Pembangunan sektor industri; c). Penyelenggaraan sarana-sarana pendidikan; d). Pembangunan pemukiman; e). Jaminan hidup bagi orang jompo dan anak yatim piatu; f). Pengadaan sarana kesehatan; g). Pemberian qard al-hasan (dana kebajikan).
2. Membebaskan utang bagi kaum buruh
Pada kajian keindonesiaan, dinyatakan ada sekelompok pekerja /buruh yang hampir mirip dengan kelompok orang yang terjajah namun tidak bisa dikatakan sebagai pekerja buruh yang layaknya karyawan persahaan atau pegawai negeri atau profesional tertentu, yaitu pembantu rumah tangga, kelompok pekerja atau buruh yang bertugas sebagai pembantu urusan dan pekerjaan rumah tangga orang, di dalam maupun luar negeri.
 Islam menawarkan teori penyelesaian krisis utang secara sosial. Dalam kondisi ini dimana debitur benar-benar pailit dan Islam menawarkan dua cara penyelesaian yaitu: (1). Bantuan Sosial dari masyarakat: Sanak saudara, teman, dan para dermawan secara sukarela memberikan bantuan untuk menyelesaikan  utang debitur yang pailit. Ini merupakan perwujudan dari kepekaan, kepedulian, dan solidaritas sosial sebagaimana yang dianjurkan Islam. (2). Bantuan sosial dari lembaga zakat dan negara: Debitur yang bangkrut, berhak mendapatkan bantuan sosial dari lembaga zakat atau dana sosial dari negara. Dengan catatan utang tersebut benar-benar digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umum.
Dampak buruk dari utang tersebut sangat berpengaruh misalnya saja utang negara kita. Apabila tidak ada beban pembayaran utang maka Anggaran  Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan surplus (2006 dan 2007 surplus APBN sebesar Rp 45,8 triliun dan Rp 52,0 triliun). Penerimaan pemerintah masih lebih besar dibanding pengeluaran. Namun dengan pembayaran utang sebesar Rp 138,2 triliun (2006) dan Rp 139,2 (2007), maka APBN 2006 menjadi defisit sebesar Rp 37,6 triliun dan pada APBN 2007 sebesar Rp 33,1 triliun. Defisit inilah yang selalu dijadikan alasan untuk terus mencari utang luar negeri.
3. Pembiayaan proyek produksi
Para ulama seperti imam Syafi’i, an-Nasai, dan lainnya menyatakan bahwa jika mustahik zakat memilki kemampuan untuk berdagang, selayaknya dia diberi modal usaha yang memungkinkannya memperoleh keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian juga jika yang bersangkutan memiliki keterampilan tertentu, kepadanya diberikan peralatan produksi yang sesuai dengan pekerjaannya.
4. Dakwah Islamiyah
Dalam penerapannya sekarang distribusi zakat tentu diserahkan kepada amil zakat dengan mempertimbangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan kau muslimin. Misalnya, bisa saja zakat diberikan (atas nama mustahik muallaf) kepada kaum muslimin didaerah transmigrasi yang dianggap rawan akidah, atau juga untuk kelompok kaum muslimin yang baru masuk Islam, atau juga untuk kelompok kaum muslimin yang baru masuk Islam dan memerlukan pembinaan serius.
Seperti halnya yang perlu di lakukan dakwa Islamiyah adalah ibnu sabil dan muallaf. Menurut ulama kontemporer, seperti Syekh Rasyid Ridha, berpendapat bahwa untuk saat ini bisa juga di masukkan ke dalam kelompok ibnu sabil orang yang meminta suaka ke negeri lain karena di negerinya tidak bisa  melaksanakan ajaran Islam. Masuk pula kelompok ini anak-anak jalanan dan anak anak buangan yang sama sekali tidak memiliki keluarga yang mau bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Tentu saja dalam menangani kasus anak jalanan ini yang paling tepat adalah melibatkan pemerintah, bukan diserahkan semata-mata kepada individu masyarakat. Sementara golongan lain yang di tuntut untuk dilakukan dakwah terhadapnya yaitu golongan muallaf. Golongan muallaf ialah orang yang baru masuk Islam, dianggap masih lemah imannya. Mereka masih memerlukan pembinaan dan perhatian yang sungguh-sungguh agar  tidak kembali kepada kekafirannya. Golongan orang yang dikhawatirkan kelakuan jahatnya dan mereka ini dimasukkan juga kedalam mustahik zakat dengan harapan  dapat mencegah kejahatannya. Serta golongan masyarakat yang memiliki sahabat-sahabat orang kafir  yang diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk masuk Islam.
Zakat dapat menciptakan mekanisme distribusi ekonomi akan tetapi, zakat tidak murni sebagai kebijakan ekonomi. Zakat semata-mata merupakan implementasi ibadah ritual seorang muslim kepada Tuhan-nya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di masyarakat.

F. Kesimpulan
Dalam konsep distribusi zakat, penetapan dalam objek penerima zakat atau mustahik, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Di dalam zakat terdapat hak dari delapan asnaf tersebut yang harus di berikan oleh para muzakki. Distribusi zakat dikategorikan dalam beberapa bentuk yang bersifat konsumtif tradisional, konsumtif kreatif, produktif tradisional dan produktif kreatif .
Adapun distribusi dana zakat model distribusi dana zakat yaitu di terapkan dalam bentuk konsumtif yang mana berupa upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar mustahik, upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis, upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia. Sementara dalam bentuk produktif bisa diterapkan dalam skema qardhul hasan dan mudharabah. Selanjutnya bisa juga dana zakat tersebut didistribusikan dalam bentuk investasi  oleh para muzakki, amil zakat kemuidan devidennya barulah diberikan oleh para mustahik namun hal ini baiknya mendapat persetujuan dari para mustahik tersebut.
Dan selanjutnya model distribusi zakat dalam perspektif lain yaitu berupa pembelian sarana dan prasarana bagi fakir miskin, membebaskan utang bagi kaum buruh, pembelian proyek produksi dan dakwah Islamiyah. Dari semua model distribusi zakat tersebut diharapkan mempunyai andil yang besar dai proses akhir pengeloaan zakat yaitu pendistribusian zakat yang optimal dan zakat juga dapat menciptakan mekanisme distribusi ekonomi akan tetapi, zakat tidak murni sebagai kebijakan ekonomi. Zakat semata-mata merupakan implementasi ibadah ritual seorang muslim kepada Tuhan-nya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di masyarakat.


















DAFTAR RUJUKAN


Beik, Irfan Syauki. “Analisis Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika. Zakat & Empowering”. Jurnal Pemikiran dan Gagasan. Vol II, 2009.

Beik, Irfan Syauki. “Memuliakan mustahik”. Republika, 23 Juli 2014.

Chapra, M. Umer, Islam Dan Tantangan Ekonomi, Risalah Gusti: Surabaya, 1999.

Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, UI Press: Jakarta, 1998.

Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq dan Sedekah, Gema Insani Press: Jakarta, 1998.

Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2012.

Huda, Nurul, dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Kencana: Jakarta, 2012.

Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011.

Mufraini, Arif, Akuntansi dan manajemen Zakat: Mengkomunikasikan Kesadaran dan Memangun Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006.

Muhammad, Sahri, Zakat dan Infak, Avicenna: Malang, 1982.

Winoto, Garry Nugraha. “Pengaruh Dana Zakat Produktif  Terhadap Keuntungan Usaha Mustahik Penerima Zakat”. Skripsi, Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.

1 komentar:

  1. KABAR BAIK!!!

    Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.

    Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.

    Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.

    Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.

    Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.

    Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.

    BalasHapus