“SEWA
GUNA USAHA (LEASING)”
Hasniwati
(01.13.3128)
Jurusan Syariah, Prodi Ekonomi
Syariah Semester VII, Kelompok 5
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN)
Watampone
ABSTRAK
Sewa
guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha
tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala. Teknik pembiayaan leasing dibagi dalam
dua jenis transaksi leasing yaitu Finance lease dan Operating lease. Di
Indonesia yang umum dilakukan dan diterapkan pada perusahaan pembiayaan adalah
financial lease.
Kata
Kunci:, leasing, lessee,
lessor
PENDAHULUAN
Industri pembiayaan di
Indonesia mulai tumbuh dan berkembang lagi dalam beberapa tahun belakangan ini,
setelah sebelumnya terpuruk akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada
tahun 1997-1999. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan di
Indonesia dalam pengadaan kendaraan operasional memakai jasa perusahaan
pembiayaan. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat
suku bunga dan juga strategi yang ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan
terutama dalam hal uang muka yang rendah.
Kebijakan uang muka
rendah yang ditetapkan oleh suatu perusahaan pembiayaan menjadi suatu daya
tarik bagi perusahaan yang membutuhkan barang modal tertentu. Hal ini perlu
dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sebagai strategi untuk meningkatkan
penjualan di tengah situasi yang sulit akibat daya beli masyarakat yang
melemah. Dengan adanya uang muka yang rendah, sebuah perusahaan yang ingin melakukan pengadaan
berupa kendaraan operasional tidak perlu mengeluarkan uang muka yang besar
sehingga pengadaan aktiva tetap bagi perusahaan tersebut bisa terjadi.
Pembiayaan untuk pengadaan aktiva tetap pada perusahan jasa dan manufaktur pada
dasarnya sama, yaitu kendaraan operasional memiliki peran yang sangat penting
sebagai penunjang bagi perusahaan dalam melakukan kegiatan operasional
perusahaan. Alternatif pembiayaan dalam rangka pengadaan berupa kendaraan
operasional dapat dilakukan dengan sewa guna usaha (leasing).
Memperhatikan fenomena
yang terjadi saat ini, banyaknya keinginan dan kemampuan masyarakat memiliki
kendaraan pribadi, motor atau mobil.
Adanya kemudahan dalam proses pembelian kendaraan bermotor dan banyaknya penawaran dari
perusahaan pembiayaan yang menyebabkan keinginan untuk memiliki kendaraan
impian menjadi kenyataan. Transaksi pembelian kendaraan secara kredit dalam
perusahaan pembiayaan yaitu sewa guna usaha atau leasing menjadi pilihan
masyarakat saat ini, namun pemahaman masyarakat tentang leasing umumnya masih
terbatas. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk mengambil tema tentang leasing.
PEMBAHASAN
Perusahaan
Pembiayaan
Peran Perusahaan
pembiayaan saat ini terasa sangat dibutuhkan, sejalan dengan berkembangannya
dunia bisnis dan persaingan yang ketat, lembaga pembiayaan dapat menjadi
alternative bagi pengembangan beberapa
sector usaha. Peranan dari industri jasa pembiayaan adalah menyediakan dana
bagi masyarakat yang memerlukan sumber dana pembiayaan baik untuk keperluan
investasi, modal kerja, atau konsumsi, yang diharapkan dapat bermanfaat
mendorong perekonomian nasional.
Perusahaan pembiayaan
adalah badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga
pembiayaan. Kegiatan usaha lembaga pembiayaan adalah:
1)
Sewa guna usaha
(leasing)
2)
Anjak piutang
(factoring)
3)
Usaha kartu
kredit (credit card)
4)
Pembiayaan
konsumen (consumer finance)
Selain beroperasi
menggunakan system konvensional juga dapat menggunakan berdasarkan prinsip
syariah. Prinsip syariah adalah prinsip yang didasarkan kepada ajaran Al-Quran
dan Sunnah. Dalam konteks Indonesia, prinsip syariah adalah prinsip hukum islam
dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. System
keuangan syariah didasari oleh dua prinsip utama, yaitu prinsip syar’i dan
prinsip tabi’i.2 Prinsip syar’i diantaranya kebebasan bertransaksi, bebas dari
maghrib (maysir, gharar, riba), bebas dari memanipulasi harga, semua orang
berhak mendapat informasi yang akurat agar bebas dari ketidaktahuan dalam
bertransaksi, pihak yang bertransaki harus mempertimbangkan kepentingan pihak
ketiga yang mungkin dapat terganggu, transaksi didasarkan pada kerja sama yang
saling menguntungkan dan solidaritas, setiap transaksi dalam rangka
kemaslahatan manusia, dan mengimplementasikan zakat. Sedangkan prinsip tabi’i
adalah prinsip yang dihasilkan melalui interpretasi akal dan ilmu pengetahuan
dalam menjalankan bisnis seperti manajemen permodalan, manajemen cash flow,
manajemen resiko dan lainnya. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
pembiayaan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan
pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan pembiayaan tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan
bagi hasil. Beberapa perusahaan pembiayaan syariah di Indonesia, yaitu PT
Federal International Finance, PT Semesta Citra Dana, PT Mandala Multifinance
Tbk, PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk, PT Amanah Finance, PT Fortuna Multi
Finance, PT Trust Finance Indonesia Tbk, PT Capitalinc Finance, PT Al ijarah
Indonesia Finance, PT Trimamas Finance, PT Nusa Surya Ciptadana.
Sewa
Guna Usaha (Leasing)
1. Pengertian
sewa guna usaha (leasing)
Leasing merupakan suatu
alternatif baru yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengatasi masalah
kekurangan dana. Sumber pendanaan ini memiliki beberapa kelebihan, salah satunya
adalah prosedur yang ditawarkan relatif mudah danfleksibel, sehingga memudahkan
perusahaan untuk memperoleh barang modal.
Usaha
leasing diperkenalkan untuk pertama
kali di indonesia pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya keputusan bersama tiga
menteri: menteri keuangan, menteri perdagangan, dan menteri perindustrian
dengan No.Kep-122/MK/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/1974 tanggal 7
februari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
Leasing adalah suatu perjanjian yang
mempunyai sifat-sifat tersendiri, yang berbeda dengan perjanjian seperti
pembelian dengan angsuran maupun pinjaman uang dari bank.
Sewa
guna usaha secara umum adalah perjanjian
antara lessor (perusahaan leasing)
dengan lesse (nasabah) dimana pihak lessor menyediakan barang dengan hak
penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu
tertentu.
Pengertian
sewa guna usaha (leasing) adalah
kegiataan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna
usaha dengan hak opsi (finance lease)
maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating
lease) untuk digunakan oleh lesse selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran berkala. Pengertian lain sewa guna
usaha (leasing) adalah adalah suatu
kontrak antara lessor (pemilik barang
modal) dengan lesse (pemakai barang
modal), dimana lessor memberikan hak
kepada lesse untuk meggunakan barang
modal selama jangka waktu tertentu, dengan suatu imbalan berkala kepada lessee, dan lessee diberikan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut tetap
menjadi milik lessor selama jangka
waktu kontrak leasing.
Beberapa
pengertian sewa guna usaha atau leasing adalah sebagai berikut:
Financial
accounting standard board (FASB-13):
Sewa guna usaha adalah suatu perjanjian
penyediaan barang-barang modal yang digunakan untuk suatu jangka waktu
tertentu.
The international accounting
standard (IAS-17) A lease as an agreement where by the lessor conveys to the lessee
in return for rent the right to use an assets for an agreed period of time.
2. Jenis
Sewa Guna Usaha(leasing)
Jenis
sewa guna usaha (leasing) di bedakan
menjadi sewa guna usaha dengan hak opsi dan sewa guna usaha tanpa hak opsi.
Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance
lease) adalah sewa guna usaha di mana penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli.
Kegiatan sewa guna usaha yang di golongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak
opsi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jumlah
pembayaran sewa guna usaha selama masa eswa guna usaha pertama ditambah dengan
nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan
keuntungan lessor.
b. Masa
sewa guna usaha di tetapkan sekurang- kurangnya dua tahun untuk barang modal
golongan 1, 3 (tiga ) tahun untuk barang modal golongan II, III dan tujuh tahun
untuk golongan bangunan.
c. Perjanjian
sewa guna usaha memuat ketentuan opsi bagi lessee.
Sedangkan sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease)
adalah sewa guna usaha dimana penyewa (lessee)
pada akhir masa kontrak tidak mempunyai hak opsi membeli objek sewa guna usaha
tersebut. Kegiataan sewa guna usaha tanpa hak opsi di golongkan apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jumlah
pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak menutupi
harga perolehan barang modal yang di sewa guna usahakan di tambah keuntungan
yang diperhitungkan oleh lessor.
b. Perjanjian
sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Ada beberapa pihak yang
terlibat dalam pemeberian fasilitas leasing, dan masing-masing mempunyai hak
dan kewajibannya. Masing-masing oihak dalam melakukan kegiatannya selalu
bekerja sama dan saling berkaitan satu sama lainnya melaluai kesepakatan yang
di buat bersama.
Adapun pihak pihak yang
terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut:
1) Lessor,
yaitu pihak yang menyewakan barang dan dapat terdiri dari beberapa perusahaan.
Lessor merupakan perusahaan yang menyediakan jasa pembiayaan kepada pihak
lessee dalam bentuk barang modal.
2) Lessee
adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang
modal dari lessor.
3) Supplier
adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk
dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
4) Supplier,
yaitu pedagang yang menyediakan barang- barang yang akan di leasing sesuai
dengan perjanjian antara lessor dengan
lessee dan dalam hal ini suplier juga bertindak
sebagai lessor.
5) Asuransi,
merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhdap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lessee dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi
sesuatu, maka perusahaan akan menggung resiko terbesar sesuai dengan perjanjian
terhadap barang yang dilesingkan.
3. Perjanjian
dan sangsi sewa guna usaha (leasing)
Perjanjian yang dibuat
antara lessor dengan lessee disebut “lease
agrement” dimana dalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat
antara kedua belah pihak, lessor dengan lessee. Isi montrak yang dibuat secara umum
memuat antara lain:
1) Nama
dan lamat lesse
2) Jenis
barang modal yang diinginkan
3) Jumlah
atau nilai barng yang dileasingkan
4) Syarat-syarat
pembayaran
5) Syarat-syarat
kepemilikan atau syarat lainnya
6) Biaya-biaya
yang dikenakan
7) Sangsi-sangsi
apabila lessee ingkar janji
Jika seluruh
persyaratan telah disetujui, maka pihak lessor akan memnghubungi supplier untuk
negosiasi barng dan menghubungi pihak asuransi untuk menanggung risiko
kemacetan pembayaranoleh lesse. Namun, dalam praktiknya dapat pula sebelum nasabah
mengajukan permohonan ke perusahaan leasing, pihak lesse terlebih dahulu
melakukan negosiasi dengan suppliernya, kemudian barulah mencari perusahaan
leasing yang akan menjadi lessornya.
Seperti jenis pinjaman
lainnya, bahwa tidak semua pinjaman berjalan mulus atau berjalan sesuai
prosedur yang ada, sekalipun sudah melalui prosdur yang benar. Hal ini di
sebabkan oleh banyak faktor. Begitu pula dengan perusahaan leasing jelas tidak
semau barang modal yang dibiayai akan terlunasi seuai rencana. Oleh karena itu,
perlu ada tindakan lebih lanjut bagi lessee yang lalai berupa sangsi sangsi
yang telah si sepakati.
Sangsi-sangsi yang di
berikan pihak lessor kepada pihak lesse apabila lesseee ingkar janji atau tidak
memenuhi kewajibannya kepada pihak lessor sesuai perjanjian yang telah di
sepakati adalah sebagai berikut:
1) Berupa
teguran lisan supaya segera melunasi
2) Jika
teguran lisan tdak digubris, maka akan diberikan teguran tertulis
3) Dikenakan
denda sesuai perjanjian
4) Penyitaan
barng yang dipegang oleh lessee
4. Prosedur
permohonan sewa guna usaha (leasing)
Setiap permohonan yang
diajukan oleh pihak lessee haruslah langsung kepihal lessor, baik secara lisan
maupun tertulis, kemudian oleh pihak lessor akan dipelajari secara seksama
sehingga pada akhirnya nanti tdak akan merugikan pihak lessor akibat terjadi
kesalahan analisis
Prosedur permohonan
fasilitas leasing oleh lessee kepada lessor secara umum sebagai berikut:
1. Pihak
lessee mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas suatu barang modal baik
secara lisan maupun tertulis
2. Pihak
lessor akan meneliti maksud dan tujuan lessee
Penelitian tentang
kelengkapan dokumen yang di persyaratkan. Jika masih ada dokumen atau informasi
yang kurang, pemohon diminta untuk melengkapinya secepat mungkin.
Kelengkapan dikumen
tersebut antara lain sebagai berikut:
a) Mengujukan
permohonan secar tertulis kepada pihak leasing, yang berisi antara lain maksud
dan tujuan megajukan leasing serta cara pembayarannya.
b) Akte
pendirian perusahaan jika lessee berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau yayasan.
c) KTP
dan kartu keluarga jika lessee berbentuk perseorangan.
d) Laporan
keaungan tiga tahun terakhir jika lesse bebentu PT.
e) Slip
gaji dan bukti penghasilan lainnya jika lessee berbentuk perseorangan.
f) NPWP
baik untuk perorangan maupun perseorangan.
3. Jika
dokumen yang dibutuhkan sudah lengkap, maka pihak lessor memberikan informasi
tentang persyaratan dalam perjanjian kontrak antara lessee dengan lessor.
4. Pihak
lessor akan mengadakan penelitian dan analisis terhadap informasi dan data yang
diberikan lessee dengan cara:
a) Penelitian
data untuk mengukur kemampuan dan kemauan lessee membayar kembali penelitian
ini dilakukan dengan 5C, yaitu: character,
capacity, capital, conditioan dan
colleteral.
b) Meneliti
langsung kelokasi lesse berada
c) Meneliti
kelokasi dimana lessee punya hubungan
5. Penelitian
dilakukan untuk mengukur kemampuan nasabah membayar dan kemauan untuk membayar
dengan disertai kebenaran informasi dan data yang ada dilapangan.
6. Jika
pemohon lesse telah di terima pihak lessor, maka pihak lessor mengadakan pertemuan
dengan pihak lessee, tentang persyaratan yang harus dipenuhi antara lain
penandatanganan surat perjanjian serta biaya-biaya yang harus dibayar oleh
lessee.
7. Pihak
lessee membayar sejumlah kewajibannya dan menandangani surat perjanjian antara
lessee dengan lessor.
8. Pihak
lessor melakukan pemesanan kepada supplier tentang barng yang diinginkan lessee
sebelumnya kepada pihak lessor.
9. Pihak
lessor juga menghubungi serta membayar premi asuransi yang sudah disetor lessee
sebelumnya kepada pihak lessor.
10. Pihak
supplier mengirim barang sesuai dengan surat pesanan dan surat bukti pembayaran
yang telah dilakukan oleh pihak lessor.
11. Pihak
lessor juga mengirim polis asuransi kepada lessee setelah diterbitkan oleh
lessor atas nama lessee.
Dalam praktiknya setiap
permohonan fasilitas leasing oleh lessee, maka prosedur dan persyaratan yang
ditetapkan oleh perusahaan leasing, berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Hal ini sesuai dengan kepentingan perusahaan leasing itu sendiridan secara umum
memang prosedur dan persyaratannyatidak jauh berbeda seperti yang telah
diuraikan diatas.
Sewa
Guna usaha (leasing) dalam perspektif
syariah
Sewa
guna usaha (leasing) syariah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk barang
modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa
guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna
usaha (lesse) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
angsuran sesuai prinsip syariah.
Usaha
leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-ijarah al-
muntahiyah bi al-Tamlik.8 Akad ijarah adalah akad penyaluran dana untuk
pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta,jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan
barang itu sendiri. Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI
No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah. Ijarah Muntahiyah Bittamlik
adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan
pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai
opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai
masa sewa. Landasan syariah akad ini
adalah fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang al- ijarah al- Muntahiyah
bi al-Tamlik atau al-ijarah wa al-Iqtina.
Dengan
mengkaji fakta leasing tersebut dan mengaitkannya dengan ketentuan syariah,
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, dalam transaksi leasing terjadi dua
transaksi atau akad dalam satu akad, yaitu transaksi sewa menyewa (ijarah) dan
transaksi jual beli (bay’). Transaksi
tersebut menyalahi ketentuan syariah. Rasulullah saw melarang dua transaksi
dalam satu akad (HR.Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani). Akad sewa dalam hal ini
jelas karena sewa menjadi inti dari leasing, sedangkan akad jual beli nampak
karena disepakati adanya perpindahan pemilikan barang secara langsung begitu
jangka waktu leasing selesai dan seluruh angsuran dibayar lunas.
Kedua,
akad tamlik (pemindahan pemilikan suatu harta) baik jual beli, hibah atau
hadiah menurut jumhur fukaha tidak boleh berupa al-‘aqd al-mu’allaq (akad yang
dikaitkan dengan syarat) ataupun al-‘aqd al mudhaf (akad yang dikaitkan dengan
waktu yang akan datang). Sedangkan dalam
transaksi leasing, akad tamlik dalam bentuk jual beli, hibah atau hadiah yang
terjadi tidak demikian. Akad tamlik
(jual-beli,hibah atau hadiah)dalam leasing dikaitkan dengan syarat dan
waktu yang akan datang. Akad tamlik
dalam leasing memiliki dua kemungkinan yaitu mungkin berlangsung dan mungkin
tidak berlangsung. Akad itu akan
berlangsung jika lessee melunasi semua angsuran, dan akan itu tidak akan
berlangsung jika lessee tidak bisa melunasi angsuran sesuai ketentuan.
Ketiga,
selama jangka waktu leasing sampai semua angsuran lunas, dianggap yang berlaku
adalah akad sewa (ijarah). Menurut ketentuan syariah, konsekwensi akad ijarah,
selama jangka waktu sewa/leasing, kendaraan tersebut adalah milik lessor (bank
atau lembaga pembiayaan). Faktanya bahwa
STNK dan BPKB atas nama Lessee, artinya milik lessee. Konsekwensinya akad
ijarah lainnya adalah kendaraan tersebut milik lessor maka berada dalam
tanggungan lessor artinya biaya yang harus dikeluarkan selama jangka waktu
leasing yang bukan merupakan biaya operasional merupakan tanggung jawab lessor (misalnya hilang karena
di curi), sedangkan biaya operasional (misalnya ganti oli) menjadi tanggungan
lessee. Dalam akad leasing, semua resiko
dan biaya menjadi tanggungan lessee, yang demikian menyalahi ketentuan
syariah. lessor akan menarik kendaraan
dari lessee jika tidak sanggup membayar angsuran, alasannya yang berlangsung
adalah akad sewa, artinya lessor menganggap kendaraan tersebut miliknya, bukan
milik lessee.
Keempat,
adanya denda jika terlambat membayar angsuran. dalam masalah ini, angsuran
dalam akad leasing sesuai dengan peraturan yang ada statusnya sebagai
pembayaran sewa bulanan. Namun dalam praktek umumnya angsuran itu dianggap
sebagai angsuran harga pembelian secara kredit.
Jika dianggap sebagai angsuran harga beli secara kredit, maka merupakan
utang (dayn). Denda keterlambatan angsuran merupakan tambahan pembayaran dayn
karena adanya tambahan atau perpanjangan tempo pembayaran. Ini merupakan riba nasiah. Jika dianggap
sesuai peraturan perundangan yaitu sebagai pembayaran sewa bulanan, ketika
sudah jatuh tempo pembayaran kemudian lessee belum membayarnya dan lessor
memberi waktu, hakikatnya pada saat itu lessor telah mengutangkan uang sewa
sampai tempo dibayar oleh lessee, maka dende keterlambaan merupakan tambahan
pembayaran atas utang yang diberikan, ini merupakan riba nasiah.
Kelima,
masalah penarikan barang yang dilease dari lessee ketika lessee tidak
mampu membayar sesuai ketentuan. Alasan
yang sering dikemukakan adalah motor itu dijadikan agunan. Dalam ketentuan syariah, adanya rahn (agunan)
disyaratkan adanya dayn (hutang). Dalam
leasing hal ini tidak terpenuhi karena selama jangka waktu leasing yang berlaku
adalah akad sewa. Menurut ketentuan pasal 34 uu no.42/1999 tentang jaminan fidusia,
bahwa jika ada kelebihan hasil penjualan dari sisa kewajiban, maka kelebihan
itu harus dikembalikan kepada pemberi jaminan, sebaliknya jika hasil penjualan
masih kurang untuk menutupi sisa kewajiban maka pemberi jaminan berkewajiban
melunasi kewajiban tersebut. Namun praktek penarikan kendaraan dalam akad
leasing tidak demikian. Leesse tidak mengetahui apakah hasil penjualan
kendaraan tersebut ada kelebihannya atau tidak.
Keenam,
uang muka yang dibayar oleh nasabah berstatus apa? Sebagai uang muka sewa atau
uang muka jual beli kredit? Jika statusnya sebagai uang muka jual beli kredit,
maka terjadi dua transaksi dalam satu akad.
Jika dianggap sebagai uang sewa, maka ketentuan ijarah tidak dikenal
uang muka sewa. Adapun uang sewa yang dibayarkan dimuka kontrak sewa menyewa
secara syar’i adalah boleh. Namun uang muka itu uang sewa untuk jangka waktu
kapan? Karena setiap bulannya lessee masih membayar angsuran sampai lunas,
angsuran itu dianggap uang sewa.
Ketujuh,
akad leasing memuat kesepakatan bahwa lessor sepakat untuk mengadakan (membeli)
barang untuk setelah itu disewa oleh lessee. itu menunjukan bahwa, pada saat
melangsungkan akad leasing, lessor sebenarnya belum memiliki lebih barang
tersebut. Contohnya: jika calon pembeli datang kesuatu dealer kendaraan
(motor), apabila melakukan pembelian secara kontan maka berhubungan dengan
dealer, namun apabila akan melakakukan pembelian secara kredit akan ditunjukan
ke meja lembaga pembiayaan. Timbul suatu
pertanyaaan mengapa bila pembelian secara kredit tidak langsung berhubungan
dengan dealer, yang mana dealer juga penjual (motor) tersebut? Jawabannya
adalah lembaga pembiayaan tersebut malakukan transaksi leasing terlebih dahulu
dengan calon pembeli (nasabah), lalu lembaga pembiayaan membeli (motor) ke
dealer, kemudian menyerahkan kepada nasabah. Dalam ketentuan syariah, syarat
jual beli, hibah, hadiah ataupun sewa menyewa barang adalah bahwa barang
tersebut haruslah secara sempurna merupakan milik penjual, pemberi hibah,
pemberi hadiah atau pihak yang menyewakan (lessor). Rasul saw bersabda: “jangan
engkau jual sesuatu yang bukan milikmu” (HR Abu Dawud, an- Nasai, Ibn Majah,
at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).
SIMPULAN
Perusahaan leasing atau
sewa guna usaha, kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan untuk keperluan
nasabah. Pembiayaan disini artinya jika nasabah membutuhkan barang modal dengan
cara disewa atau dibeli secara kredit, maka pihak leasing dapat membiayai
keinginan nasabah sesuai dengan perjanjian. Dalam persfektif syariah terdapat
beberapa hal penting yaitu: Pertama, dalam transaksi leasing terjadi dua
transksi atau akad dalam satu transaksi yaitu transaksi sewa-menyewa (ijarah)
dan transaksi jual beli (bay’). Kedua, transaksi pemindahan kepemilikan
(misalnya kendaraan) dalam bentuk jual beli, hibah atau hadiah disandarkan pada
syarat dan waktu yang akan datang. Ketiga, selama jangka waktu leasing sampai
angsuran lunas, dianggap yang berlaku adalah akad sewa (ijarah). Keempat,
adanya denda jika terlambat membayar angsuran. Denda tersebut merupakan
tambahan pembayaran atas hutang yang diberikan yang merupakan riba nasiah.
Kelima, praktek penarikan barang (kendaraan) ketika lessee tidak mampu
membayar, tidak sesuai ketentuan UU tentang jaminan fidusia. Keenam, status
uang muka yang dibayar nasabah semakin menegaskan terjadinya dua transansi
dalam satu akad. Ketujuh, lessor menyewakan dan mengalihkan kepemilikan
(kendaraan) sebelum memilikinya. Maka dilihat dari fakta-fakta yang ada, akad
leasing (konvensional) tersebut batil.
REFERENSI
Hariyani, Iswi dan Serfianto D. P. 2011. Gebyar
Bisnis Dengan Cara Leasing. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya cet.15;
Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Keputusan Menteri
keuangan Nomor:448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan yang diubah
dengan keputusan Menteri Keuangan No. 172/KMK.06/2002, dan PMK
No.84/PMK.012/2006tentang Perusahaan Pembiayaan.
Lubis, ardiansyah, leasing di tinjau dari aspek perpajakan,
bandung: arun n.g.l, 2007
Obaidullah, Mohammad, Islamic Financial Services, Saudi Arabia: Islamic Economic
Research Centre, 2005, hal 10-15. Saiful
Azhar Rosly, Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets(Kuala Lumpur,
Malaysia: Dinamas Publishing, 2005
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang kegiatan perusahaanpembiayaan
berdasarkan prinsip syariah. Peraturan Ketua BAPEPAM LK Nomor; PER-04/BL/2007
tentang akad-akad yang digunakan
Riana Dameuli Manik, Ellys 2006. Perbandingan
Leasing Dan Utang Bank Dalam Pengadaan Aktiva Tetap Pada PT. Intraco Penta,Tbk.
Skripsi Universitas Sumatra Utara Fakultas Ekonomi Medan.
Siamat, Dahlan, Manajemen
Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, 2004
Soemitra, Andri,
Bank danLembaga Keuangan Syariah, Jakarta;Kencana,2010
Widyastuti. Maria. 2009. Kredit Bank Dan Sewa Guna
Usaha Dengan Hak Opsi Sebagai Sumber Pendanaan Alternatif Atas Perolehan Aktiva
Tetap Dalam Rangka Penghematan Pajak. Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), 1(1).
Yahya, Abdurrahman, Mengungkap keharaman leasing,
Bogor;Al-Azhar Press, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar