Rabu, 25 Januari 2017

SEWA GUNA USAHA (LEASING)


“SEWA GUNA USAHA (LEASING)”
Hasniwati (01.13.3128)
Jurusan Syariah, Prodi Ekonomi Syariah Semester VII, Kelompok 5
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Watampone

ABSTRAK
Sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha  (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Teknik pembiayaan leasing dibagi dalam dua jenis transaksi leasing yaitu Finance lease dan Operating lease. Di Indonesia yang umum dilakukan dan diterapkan pada perusahaan pembiayaan adalah financial lease.
Kata Kunci:, leasing, lessee, lessor



PENDAHULUAN
Industri pembiayaan di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang lagi dalam beberapa tahun belakangan ini, setelah sebelumnya terpuruk akibat krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1999. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam pengadaan kendaraan operasional memakai jasa perusahaan pembiayaan. Peningkatan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tingkat suku bunga dan juga strategi yang ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan terutama dalam hal uang muka yang rendah.
Kebijakan uang muka rendah yang ditetapkan oleh suatu perusahaan pembiayaan menjadi suatu daya tarik bagi perusahaan yang membutuhkan barang modal tertentu. Hal ini perlu dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sebagai strategi untuk meningkatkan penjualan di tengah situasi yang sulit akibat daya beli masyarakat yang melemah. Dengan adanya uang muka yang rendah, sebuah  perusahaan yang ingin melakukan pengadaan berupa kendaraan operasional tidak perlu mengeluarkan uang muka yang besar sehingga pengadaan aktiva tetap bagi perusahaan tersebut bisa terjadi. Pembiayaan untuk pengadaan aktiva tetap pada perusahan jasa dan manufaktur pada dasarnya sama, yaitu kendaraan operasional memiliki peran yang sangat penting sebagai penunjang bagi perusahaan dalam melakukan kegiatan operasional perusahaan. Alternatif pembiayaan dalam rangka pengadaan berupa kendaraan operasional dapat dilakukan dengan sewa guna usaha (leasing).
Memperhatikan fenomena yang terjadi saat ini, banyaknya keinginan dan kemampuan masyarakat memiliki kendaraan pribadi, motor atau mobil.  Adanya kemudahan dalam proses pembelian kendaraan  bermotor dan banyaknya penawaran dari perusahaan pembiayaan yang menyebabkan keinginan untuk memiliki kendaraan impian menjadi kenyataan. Transaksi pembelian kendaraan secara kredit dalam perusahaan pembiayaan yaitu sewa guna usaha atau leasing menjadi pilihan masyarakat saat ini, namun pemahaman masyarakat tentang leasing umumnya masih terbatas.  Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengambil tema tentang leasing.
PEMBAHASAN
Perusahaan Pembiayaan
Peran Perusahaan pembiayaan saat ini terasa sangat dibutuhkan, sejalan dengan berkembangannya dunia bisnis dan persaingan yang ketat, lembaga pembiayaan dapat menjadi alternative  bagi pengembangan beberapa sector usaha. Peranan dari industri jasa pembiayaan adalah menyediakan dana bagi masyarakat yang memerlukan sumber dana pembiayaan baik untuk keperluan investasi, modal kerja, atau konsumsi, yang diharapkan dapat bermanfaat mendorong perekonomian nasional.
Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha diluar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan. Kegiatan usaha lembaga pembiayaan adalah:
1)      Sewa guna usaha (leasing)
2)      Anjak piutang (factoring)
3)      Usaha kartu kredit (credit card)
4)      Pembiayaan konsumen (consumer finance)
Selain beroperasi menggunakan system konvensional juga dapat menggunakan berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah adalah prinsip yang didasarkan kepada ajaran Al-Quran dan Sunnah. Dalam konteks Indonesia, prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. System keuangan syariah didasari oleh dua prinsip utama, yaitu prinsip syar’i dan prinsip tabi’i.2 Prinsip syar’i diantaranya kebebasan bertransaksi, bebas dari maghrib (maysir, gharar, riba), bebas dari memanipulasi harga, semua orang berhak mendapat informasi yang akurat agar bebas dari ketidaktahuan dalam bertransaksi, pihak yang bertransaki harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga yang mungkin dapat terganggu, transaksi didasarkan pada kerja sama yang saling menguntungkan dan solidaritas, setiap transaksi dalam rangka kemaslahatan manusia, dan mengimplementasikan zakat. Sedangkan prinsip tabi’i adalah prinsip yang dihasilkan melalui interpretasi akal dan ilmu pengetahuan dalam menjalankan bisnis seperti manajemen permodalan, manajemen cash flow, manajemen resiko dan lainnya. Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah pembiayaan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan pembiayaan tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan bagi hasil. Beberapa perusahaan pembiayaan syariah di Indonesia, yaitu PT Federal International Finance, PT Semesta Citra Dana, PT Mandala Multifinance Tbk, PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk, PT Amanah Finance, PT Fortuna Multi Finance, PT Trust Finance Indonesia Tbk, PT Capitalinc Finance, PT Al ijarah Indonesia Finance, PT Trimamas Finance, PT Nusa Surya Ciptadana.
Sewa Guna Usaha (Leasing)
1.    Pengertian sewa guna usaha (leasing)
Leasing merupakan suatu alternatif baru yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengatasi masalah kekurangan dana. Sumber pendanaan ini memiliki beberapa kelebihan, salah satunya adalah prosedur yang ditawarkan relatif mudah danfleksibel, sehingga memudahkan perusahaan untuk memperoleh barang modal.
Usaha leasing diperkenalkan untuk pertama kali di indonesia pada tahun 1974 dengan dikeluarkannya keputusan bersama tiga menteri: menteri keuangan, menteri perdagangan, dan menteri perindustrian dengan No.Kep-122/MK/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/1974 tanggal 7 februari 1974 tentang perizinan usaha leasing. Leasing adalah suatu perjanjian yang mempunyai sifat-sifat tersendiri, yang berbeda dengan perjanjian seperti pembelian dengan angsuran maupun pinjaman uang dari bank.
Sewa guna usaha  secara umum adalah perjanjian antara lessor (perusahaan leasing) dengan lesse (nasabah) dimana pihak lessor menyediakan barang dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
Pengertian sewa guna usaha (leasing) adalah kegiataan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lesse selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran berkala. Pengertian lain sewa guna usaha (leasing) adalah adalah suatu kontrak antara lessor (pemilik barang modal) dengan lesse (pemakai barang modal), dimana lessor memberikan hak kepada lesse untuk meggunakan barang modal selama jangka waktu tertentu, dengan suatu imbalan berkala kepada lessee, dan lessee diberikan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut tetap menjadi milik lessor selama jangka waktu kontrak leasing.
Beberapa pengertian sewa guna usaha atau leasing adalah sebagai berikut:
Financial accounting standard board (FASB-13):
 Sewa guna usaha adalah suatu perjanjian penyediaan barang-barang modal yang digunakan untuk suatu jangka waktu tertentu.
The international accounting standard (IAS-17) A lease as an agreement where by the lessor conveys to the lessee in return for rent the right to use an assets for an agreed period of time.
2.    Jenis Sewa Guna Usaha(leasing)
Jenis sewa guna usaha (leasing) di bedakan menjadi sewa guna usaha dengan hak opsi dan sewa guna usaha tanpa hak opsi. Sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) adalah sewa guna usaha di mana penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli. Kegiatan sewa guna usaha yang di golongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa eswa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.
b.    Masa sewa guna usaha di tetapkan sekurang- kurangnya dua tahun untuk barang modal golongan 1, 3 (tiga ) tahun untuk barang modal golongan II, III dan tujuh tahun untuk golongan bangunan.
c.    Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan opsi bagi lessee.
Sedangkan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) adalah sewa guna usaha dimana penyewa (lessee) pada akhir masa kontrak tidak mempunyai hak opsi membeli objek sewa guna usaha tersebut. Kegiataan sewa guna usaha tanpa hak opsi di golongkan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak menutupi harga perolehan barang modal yang di sewa guna usahakan di tambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.
b.    Perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Ada beberapa pihak yang terlibat dalam pemeberian fasilitas leasing, dan masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya. Masing-masing oihak dalam melakukan kegiatannya selalu bekerja sama dan saling berkaitan satu sama lainnya melaluai kesepakatan yang di buat bersama.
Adapun pihak pihak yang terlibat dalam proses pemberian fasilitas leasing adalah sebagai berikut:
1)   Lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang dan dapat terdiri dari beberapa perusahaan. Lessor merupakan perusahaan yang menyediakan jasa pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal.
2)   Lessee adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor.
3)   Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor.
4)   Supplier, yaitu pedagang yang menyediakan barang- barang yang akan di leasing sesuai dengan perjanjian antara lessor dengan lessee  dan dalam hal ini suplier juga bertindak sebagai lessor.
5)   Asuransi, merupakan perusahaan yang akan menanggung resiko terhdap perjanjian antara lessor dengan lessee. Dalam hal ini lessee  dikenakan biaya asuransi dan apabila terjadi sesuatu, maka perusahaan akan menggung resiko terbesar sesuai dengan perjanjian terhadap barang yang dilesingkan.
3.    Perjanjian dan sangsi sewa guna usaha (leasing)
Perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lessee disebut “lease agrement” dimana dalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat antara kedua belah pihak, lessor dengan lessee. Isi montrak yang dibuat secara umum memuat antara lain:
1)   Nama dan lamat lesse
2)   Jenis barang modal yang diinginkan
3)   Jumlah atau nilai barng yang dileasingkan
4)   Syarat-syarat pembayaran
5)   Syarat-syarat kepemilikan atau syarat lainnya
6)   Biaya-biaya yang dikenakan
7)   Sangsi-sangsi apabila lessee ingkar janji
Jika seluruh persyaratan telah disetujui, maka pihak lessor akan memnghubungi supplier untuk negosiasi barng dan menghubungi pihak asuransi untuk menanggung risiko kemacetan pembayaranoleh lesse. Namun, dalam praktiknya dapat pula sebelum nasabah mengajukan permohonan ke perusahaan leasing, pihak lesse terlebih dahulu melakukan negosiasi dengan suppliernya, kemudian barulah mencari perusahaan leasing yang akan menjadi lessornya.
Seperti jenis pinjaman lainnya, bahwa tidak semua pinjaman berjalan mulus atau berjalan sesuai prosedur yang ada, sekalipun sudah melalui prosdur yang benar. Hal ini di sebabkan oleh banyak faktor. Begitu pula dengan perusahaan leasing jelas tidak semau barang modal yang dibiayai akan terlunasi seuai rencana. Oleh karena itu, perlu ada tindakan lebih lanjut bagi lessee yang lalai berupa sangsi sangsi yang telah si sepakati.
Sangsi-sangsi yang di berikan pihak lessor kepada pihak lesse apabila lesseee ingkar janji atau tidak memenuhi kewajibannya kepada pihak lessor sesuai perjanjian yang telah di sepakati adalah sebagai berikut:
1)   Berupa teguran lisan supaya segera melunasi
2)   Jika teguran lisan tdak digubris, maka akan diberikan teguran tertulis
3)   Dikenakan denda sesuai perjanjian
4)   Penyitaan barng yang dipegang oleh lessee
4.    Prosedur permohonan sewa guna usaha (leasing)
Setiap permohonan yang diajukan oleh pihak lessee haruslah langsung kepihal lessor, baik secara lisan maupun tertulis, kemudian oleh pihak lessor akan dipelajari secara seksama sehingga pada akhirnya nanti tdak akan merugikan pihak lessor akibat terjadi kesalahan analisis
Prosedur permohonan fasilitas leasing oleh lessee kepada lessor secara umum sebagai berikut:
1.    Pihak lessee mengajukan permohonan untuk memperoleh fasilitas suatu barang modal baik secara lisan maupun tertulis
2.    Pihak lessor akan meneliti maksud dan tujuan lessee
Penelitian tentang kelengkapan dokumen yang di persyaratkan. Jika masih ada dokumen atau informasi yang kurang, pemohon diminta untuk melengkapinya secepat mungkin.
Kelengkapan dikumen tersebut antara lain sebagai berikut:
a)    Mengujukan permohonan secar tertulis kepada pihak leasing, yang berisi antara lain maksud dan tujuan megajukan leasing serta cara pembayarannya.
b)   Akte pendirian perusahaan jika lessee berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau yayasan.
c)    KTP dan kartu keluarga jika lessee berbentuk perseorangan.
d)   Laporan keaungan tiga tahun terakhir jika lesse bebentu PT.
e)    Slip gaji dan bukti penghasilan lainnya jika lessee berbentuk perseorangan.
f)    NPWP baik untuk perorangan maupun perseorangan.
3.    Jika dokumen yang dibutuhkan sudah lengkap, maka pihak lessor memberikan informasi tentang persyaratan dalam perjanjian kontrak antara lessee dengan lessor.
4.    Pihak lessor akan mengadakan penelitian dan analisis terhadap informasi dan data yang diberikan lessee dengan cara:
a)    Penelitian data untuk mengukur kemampuan dan kemauan lessee membayar kembali penelitian ini dilakukan dengan 5C, yaitu: character, capacity, capital, conditioan dan colleteral.
b)   Meneliti langsung kelokasi lesse berada
c)    Meneliti kelokasi dimana lessee punya hubungan
5.    Penelitian dilakukan untuk mengukur kemampuan nasabah membayar dan kemauan untuk membayar dengan disertai kebenaran informasi dan data yang ada dilapangan.
6.    Jika pemohon lesse telah di terima pihak lessor, maka pihak lessor mengadakan pertemuan dengan pihak lessee, tentang persyaratan yang harus dipenuhi antara lain penandatanganan surat perjanjian serta biaya-biaya yang harus dibayar oleh lessee.
7.    Pihak lessee membayar sejumlah kewajibannya dan menandangani surat perjanjian antara lessee dengan lessor.
8.    Pihak lessor melakukan pemesanan kepada supplier tentang barng yang diinginkan lessee sebelumnya kepada pihak lessor.
9.    Pihak lessor juga menghubungi serta membayar premi asuransi yang sudah disetor lessee sebelumnya kepada pihak lessor.
10.     Pihak supplier mengirim barang sesuai dengan surat pesanan dan surat bukti pembayaran yang telah dilakukan oleh pihak lessor.
11.     Pihak lessor juga mengirim polis asuransi kepada lessee setelah diterbitkan oleh lessor atas nama lessee.
Dalam praktiknya setiap permohonan fasilitas leasing oleh lessee, maka prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan leasing, berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan kepentingan perusahaan leasing itu sendiridan secara umum memang prosedur dan persyaratannyatidak jauh berbeda seperti yang telah diuraikan diatas.
Sewa Guna usaha (leasing) dalam perspektif syariah
Sewa guna usaha (leasing) syariah adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lesse) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai prinsip syariah.
Usaha leasing syariah dilakukan berdasarkan akad ijarah dan akad al-ijarah al- muntahiyah bi al-Tamlik.8 Akad ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta,jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. Landasan syariah akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa.  Landasan syariah akad ini adalah fatwa DSN-MUI No.27/DSN-MUI/III/2002 tentang al- ijarah al- Muntahiyah bi al-Tamlik atau al-ijarah wa al-Iqtina.
Dengan mengkaji fakta leasing tersebut dan mengaitkannya dengan ketentuan syariah, dapat diuraikan sebagai berikut:
 Pertama, dalam transaksi leasing terjadi dua transaksi atau akad dalam satu akad, yaitu transaksi sewa menyewa (ijarah) dan transaksi jual beli (bay’).  Transaksi tersebut menyalahi ketentuan syariah. Rasulullah saw melarang dua transaksi dalam satu akad (HR.Ahmad, al-Bazar dan ath-Thabrani). Akad sewa dalam hal ini jelas karena sewa menjadi inti dari leasing, sedangkan akad jual beli nampak karena disepakati adanya perpindahan pemilikan barang secara langsung begitu jangka waktu leasing selesai dan seluruh angsuran dibayar lunas.
Kedua, akad tamlik (pemindahan pemilikan suatu harta) baik jual beli, hibah atau hadiah menurut jumhur fukaha tidak boleh berupa al-‘aqd al-mu’allaq (akad yang dikaitkan dengan syarat) ataupun al-‘aqd al mudhaf (akad yang dikaitkan dengan waktu yang akan datang).  Sedangkan dalam transaksi leasing, akad tamlik dalam bentuk jual beli, hibah atau hadiah yang terjadi tidak demikian. Akad tamlik  (jual-beli,hibah atau hadiah)dalam leasing dikaitkan dengan syarat dan waktu yang akan datang.  Akad tamlik dalam leasing memiliki dua kemungkinan yaitu mungkin berlangsung dan mungkin tidak berlangsung.  Akad itu akan berlangsung jika lessee melunasi semua angsuran, dan akan itu tidak akan berlangsung jika lessee tidak bisa melunasi angsuran sesuai ketentuan.
Ketiga, selama jangka waktu leasing sampai semua angsuran lunas, dianggap yang berlaku adalah akad sewa (ijarah). Menurut ketentuan syariah, konsekwensi akad ijarah, selama jangka waktu sewa/leasing, kendaraan tersebut adalah milik lessor (bank atau lembaga pembiayaan).  Faktanya bahwa STNK dan BPKB atas nama Lessee, artinya milik lessee. Konsekwensinya akad ijarah lainnya adalah kendaraan tersebut milik lessor maka berada dalam tanggungan lessor artinya biaya yang harus dikeluarkan selama jangka waktu leasing yang bukan merupakan biaya operasional merupakan  tanggung jawab lessor (misalnya hilang karena di curi), sedangkan biaya operasional (misalnya ganti oli) menjadi tanggungan lessee.  Dalam akad leasing, semua resiko dan biaya menjadi tanggungan lessee, yang demikian menyalahi ketentuan syariah.  lessor akan menarik kendaraan dari lessee jika tidak sanggup membayar angsuran, alasannya yang berlangsung adalah akad sewa, artinya lessor menganggap kendaraan tersebut miliknya, bukan milik lessee.
Keempat, adanya denda jika terlambat membayar angsuran. dalam masalah ini, angsuran dalam akad leasing sesuai dengan peraturan yang ada statusnya sebagai pembayaran sewa bulanan. Namun dalam praktek umumnya angsuran itu dianggap sebagai angsuran harga pembelian secara kredit.  Jika dianggap sebagai angsuran harga beli secara kredit, maka merupakan utang (dayn). Denda keterlambatan angsuran merupakan tambahan pembayaran dayn karena adanya tambahan atau perpanjangan tempo pembayaran.  Ini merupakan riba nasiah. Jika dianggap sesuai peraturan perundangan yaitu sebagai pembayaran sewa bulanan, ketika sudah jatuh tempo pembayaran kemudian lessee belum membayarnya dan lessor memberi waktu, hakikatnya pada saat itu lessor telah mengutangkan uang sewa sampai tempo dibayar oleh lessee, maka dende keterlambaan merupakan tambahan pembayaran atas utang yang diberikan, ini merupakan riba nasiah.
Kelima, masalah penarikan barang yang dilease dari lessee ketika lessee tidak mampu  membayar sesuai ketentuan. Alasan yang sering dikemukakan adalah motor itu dijadikan agunan.  Dalam ketentuan syariah, adanya rahn (agunan) disyaratkan adanya dayn (hutang).  Dalam leasing hal ini tidak terpenuhi karena selama jangka waktu leasing yang berlaku adalah akad sewa. Menurut ketentuan pasal 34 uu no.42/1999 tentang jaminan fidusia, bahwa jika ada kelebihan hasil penjualan dari sisa kewajiban, maka kelebihan itu harus dikembalikan kepada pemberi jaminan, sebaliknya jika hasil penjualan masih kurang untuk menutupi sisa kewajiban maka pemberi jaminan berkewajiban melunasi kewajiban tersebut. Namun praktek penarikan kendaraan dalam akad leasing tidak demikian. Leesse tidak mengetahui apakah hasil penjualan kendaraan tersebut ada kelebihannya atau tidak.
Keenam, uang muka yang dibayar oleh nasabah berstatus apa? Sebagai uang muka sewa atau uang muka jual beli kredit? Jika statusnya sebagai uang muka jual beli kredit, maka terjadi dua transaksi dalam satu akad.  Jika dianggap sebagai uang sewa, maka ketentuan ijarah tidak dikenal uang muka sewa. Adapun uang sewa yang dibayarkan dimuka kontrak sewa menyewa secara syar’i adalah boleh. Namun uang muka itu uang sewa untuk jangka waktu kapan? Karena setiap bulannya lessee masih membayar angsuran sampai lunas, angsuran itu dianggap uang sewa.
Ketujuh, akad leasing memuat kesepakatan bahwa lessor sepakat untuk mengadakan (membeli) barang untuk setelah itu disewa oleh lessee. itu menunjukan bahwa, pada saat melangsungkan akad leasing, lessor sebenarnya belum memiliki lebih barang tersebut. Contohnya: jika calon pembeli datang kesuatu dealer kendaraan (motor), apabila melakukan pembelian secara kontan maka berhubungan dengan dealer, namun apabila akan melakakukan pembelian secara kredit akan ditunjukan ke meja lembaga pembiayaan.  Timbul suatu pertanyaaan mengapa bila pembelian secara kredit tidak langsung berhubungan dengan dealer, yang mana dealer juga penjual (motor) tersebut? Jawabannya adalah lembaga pembiayaan tersebut malakukan transaksi leasing terlebih dahulu dengan calon pembeli (nasabah), lalu lembaga pembiayaan membeli (motor) ke dealer, kemudian menyerahkan kepada nasabah. Dalam ketentuan syariah, syarat jual beli, hibah, hadiah ataupun sewa menyewa barang adalah bahwa barang tersebut haruslah secara sempurna merupakan milik penjual, pemberi hibah, pemberi hadiah atau pihak yang menyewakan (lessor). Rasul saw bersabda: “jangan engkau jual sesuatu yang bukan milikmu” (HR Abu Dawud, an- Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).



SIMPULAN
Perusahaan leasing atau sewa guna usaha, kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan untuk keperluan nasabah. Pembiayaan disini artinya jika nasabah membutuhkan barang modal dengan cara disewa atau dibeli secara kredit, maka pihak leasing dapat membiayai keinginan nasabah sesuai dengan perjanjian. Dalam persfektif syariah terdapat beberapa hal penting yaitu: Pertama, dalam transaksi leasing terjadi dua transksi atau akad dalam satu transaksi yaitu transaksi sewa-menyewa (ijarah) dan transaksi jual beli (bay’). Kedua, transaksi pemindahan kepemilikan (misalnya kendaraan) dalam bentuk jual beli, hibah atau hadiah disandarkan pada syarat dan waktu yang akan datang. Ketiga, selama jangka waktu leasing sampai angsuran lunas, dianggap yang berlaku adalah akad sewa (ijarah). Keempat, adanya denda jika terlambat membayar angsuran. Denda tersebut merupakan tambahan pembayaran atas hutang yang diberikan yang merupakan riba nasiah. Kelima, praktek penarikan barang (kendaraan) ketika lessee tidak mampu membayar, tidak sesuai ketentuan UU tentang jaminan fidusia. Keenam, status uang muka yang dibayar nasabah semakin menegaskan terjadinya dua transansi dalam satu akad. Ketujuh, lessor menyewakan dan mengalihkan kepemilikan (kendaraan) sebelum memilikinya. Maka dilihat dari fakta-fakta yang ada, akad leasing (konvensional) tersebut batil.












REFERENSI
Hariyani, Iswi dan Serfianto D. P. 2011. Gebyar Bisnis Dengan Cara Leasing. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya cet.15; Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Keputusan Menteri keuangan Nomor:448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan yang diubah dengan keputusan Menteri Keuangan No. 172/KMK.06/2002, dan PMK No.84/PMK.012/2006tentang Perusahaan Pembiayaan.
Lubis, ardiansyah, leasing di tinjau dari aspek perpajakan, bandung: arun n.g.l, 2007
Obaidullah, Mohammad, Islamic Financial Services, Saudi Arabia: Islamic Economic Research Centre, 2005, hal 10-15.  Saiful Azhar Rosly, Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets(Kuala Lumpur, Malaysia: Dinamas Publishing, 2005
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: PER- 03/BL/2007 tentang kegiatan perusahaanpembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Peraturan Ketua BAPEPAM LK Nomor; PER-04/BL/2007 tentang akad-akad yang digunakan
Riana Dameuli Manik, Ellys 2006. Perbandingan Leasing Dan Utang Bank Dalam Pengadaan Aktiva Tetap Pada PT. Intraco Penta,Tbk. Skripsi Universitas Sumatra Utara Fakultas Ekonomi Medan.
Siamat, Dahlan, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004
Soemitra, Andri, Bank danLembaga Keuangan Syariah, Jakarta;Kencana,2010
Widyastuti. Maria. 2009. Kredit Bank Dan Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi Sebagai Sumber Pendanaan Alternatif Atas Perolehan Aktiva Tetap Dalam Rangka Penghematan Pajak. Jurnal Bisnis Perspektif (BIP’s), 1(1).
Yahya, Abdurrahman, Mengungkap keharaman leasing, Bogor;Al-Azhar Press, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar