PROSPEK
DAN TANTANGAN PENGELOLAAN
ZAKAT
DI INDONESIA
Herianti
Jurusan
Syariah, Prodi Ekonomi Syariah STAIN Watampone
Email: Herianthyabbas@gmail.com
ABSTRAK
Penulisan
ini berisi tentang kajian menarik seputar dunia perzakatan di Indonesia.
Sebagaimana pada waktu-waktu terakhir ini perhatian umat terhadap kajian-kajian
keislaman makin mengalami kemajuan, baik di lingkungan kampus, tempat kerja, maupun di lingkungan masyarakat secara
umum. Di hampir setiap media massa disediakan ruang dan waktu secara khusus
yang menyajikan kajian-kajian Islam. Salah satu kajian yang mengemuka dan cukup
diminati umat adalah kajian tentang zakat. Keberadaan zakat ini khusus di
Indonesia yang notabene-nya memiliki
penduduk yang mayoritas beragama Islam, tentunya zakat telah memiliki potensi
dan peluang besar untuk dikelola umat sebagaimana saat ini perekonomian berpola
Islam telah menjadi suatu kebutuhan umat. Pemanfaatan zakat yang berasal dari
umat Islam harus sedini mungkin dikelola dan disalurkan secara efektif sebagai
suatu sisi ikhtisar pemberdayaan ekonomi
umat. Ini karena dana zakat merupakan modal dalam upaya peningkatan
perekonomian dan kesejahteraan umat. Akan tetapi, masih saja banyak
tantangan-tantangan yang dihadapi terkait dengan penghimpunan dan penyaluran zakat,
baik tantangan yang berasal dari segi regulator zakat, dari dalam OPZ sendiri,
maupun yang berasal dari para muzakki dan muztahik zakat. Kemudian dari
berbagai tantangan-tantangan yang ada, maka perlu dicarikan solusi-solusi yang
tepat dan menerapkannya.
Kata Kunci: Zakat, Potensi, Peluang, Tantangan, Solusi
PENDAHULUAN
Zakat adalah
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah Swt untuk diberikan kepada yang
berhak menerima zakat (mustahiq).[1] zakat merupakan
kewajiban bagi kaum muslimin, namun adakalanya sering kali kewajiban membayar
zakat itu terabaikan olek kaum muslim. Sebagian dari mereka menganggap bahwa
hanya zakat fitrah sajalah yang wajib ditunaikan, padahal masih ada zakat mal
dan juga zakat profesi yang merupakan zakat wajib jika harta seseorang telah
mencapai nisab dan haulnya. Dalam
rangka menekankan rasa solidaritas dan juga menekan ketamakan orang-orang kaya,
Islam sebagai agama samawi menaruh perhatian penuh terhadap nasib orang-orang
miskin. Tidak sekadar berupa imbauan kepada para umatnya untuk memperhatikan
orang-orang miskin, akan tetapi mewajibkan zakat menjadi rukun Islam sesudah
sahadat dan salat. Zakat sebagai rukun
Islam yang ketiga harus dilaksanakan oleh umat Islam sebagaimana kewajiban
shalat, dengan penuh kesadaran
tinggi serta penuh tanggungjawab. Demikian zakat ini akan menjadi sumber dana
yang potensial dalam menunjang pembangunan nasional terutama di bidang agama
dan ekonomi. Hal ini tentunya akan membantu peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan umat.[2]
Kenyataannya, di Indonesia yang memiliki potensi zakat yang
cukup besar nyatanya hanya mampu untuk mengumpulkan sebagian kecil dari potensi
itu, sehingga tujuan untuk pendayagunaan dana zakat belum dapat terealisasikan
dengan sebagaimana mestinya. Seharusnya, kesadaran masyarakat akan kewajiban
untuk membayarkan zakat perlu untuk ditingkatkan untuk menggali potensi zakat
yang ada di Indonesia. Sehingga pengelolaan serta peran zakat dapat
dioptimalkan.
Seiring dengan perkembangannya, pengelolaan zakat di
Indonesia masih saja memiliki masalah-masalah yang belum terselesaikan.
Masalah-masalah ini berawal dari potensi zakat di Indonesia yang besar namun
tidak dapat terhimpun secara agregat hingga beralih pada prospek pengelolaan
zakat di Indonesia yang diharapkan mampu
mempermudah dalam membayar zakat kemudian menjadi tantangan bagi
organisasi-organisasi pengelolaan zakat yang ada di Indonesia. Selain masalah-masalah yang bersumber dari
sisi muzakki, masalah dalam pengelolaan zakat ini juga bisa saja bersumber dari
sisi regulator, atau bahkan dari lembaga-lembaga OPZ itu sendiri.
Masalah-masalah yang kemudian menjadi tantangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia yang menyebabkan tidak terealisasinya
pendayagunaan zakat, jika tidak diminimalisir atau dihilangkan maka kesenjangan-kesenjangan
akan terus berlanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi dalam
pengelolaan zakat dalam upaya pengoptimalisasian peran dan fungsi zakat di
Indonesia.
PEMBAHASAN
Potensi Zakat di Indonesia
Zakat adalah salah satu upaya
untuk memberdayakan dalam meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat
miskin. Berbicara
mengenai potensi zakat, Indonesia merupakan salah satu negara yang potensi
zakatnya terbilang cukup besar. Hal ini didasarkan atas perhitungan jumlah
zakat yang terhimpun dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.
Meskipun, jumlah zakat yang terhimpun tersebut masih merupakan sebagian kecil
dari potensi yang ada di Indonesia. Secara otomatis, hal ini membuktikan betapa
besar potensi zakat yang dimiliki Indonesia.
Secara nasional, jumlah dana
zakat yang berhasil dihimpun oleh BAZNAS,
BAZDA, dan LAZ terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Terdapat
berbagai faktor yang mempengaruhi pencapaian ini, antara lain semakin meningkatnya
kesejahteraan masyarakat indonesia, semakin tinggi kesadaran untuk berderma dan
membayar zakat, serta semakin banyaknya jumlah badan/lembaga zakat yang gencar
mensosialisasikan dan memfasilitasi penyaluran dana zakat.[3]
Menurut Zaid Aqil Munawar, potensi dana zakat di Indonesia mencapai Rp 7,5
triliun per tahun. Kemudian dari data yang disampaikan oleh Abu Syauki
(Direktur Rumah Zakat Indonesia DSUQ), bahwa potensi zakat di Indonesia pada
tahun 2004 mencapai Rp 9 triliun. Namun, hingga kini baru Rp 250 miliar atau
2,7% yang berhasil dihimpun oleh lembaga-lembaga pengelola zakat. Sedangkan
potensi zakat di Indonesia menurut Djamal Doa mencapai angka 84,49 triliun per
tahun. Begitu pula sebagaimana yang dipaparkan Siti Arifah mengenai hasil
survei yang dilakukan oleh PIRAC (Publik
Interest Research and Advocacy Center) terhadap 1837 responden yang
beragama Islam di 11 kota besar di Indonesia pada tahun 2000 yang meliputi
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Denpasar, Manado,
Makassar, Pontianak, dan Balikpapan, manunjukkan bahwa tingkat zakat masyarakat
yang disurvei menunjukkan angka yang tinggi, 94% menyatakan bahwa dirinya
sebagai muzakki. Dengan rata-rata nilai zakat sebesar Rp
124.200,00/muzakki/tahun, dengan nilai berkisar antara Rp 44.000,00-Rp
339.000,00/tahun.[4]
Salah satu indikator kemajuan zakat Indonesia yaitu terjadi peningkatan
penghimpunan zakat, termasuk infak dan sedekah, yang cukup tinggi dari tahun ke
tahun. Berdasarkan data dari Harifuddin dan Beik (2012), sampai saat ini, tren
penghimpunan zakat nasional masih sangat positif, di mana total zakat, infak,
dan sedekah yang terhimpun tahun 2011 lalu mencapai angka Rp 1,729 triliun.
Angka ini mengalami kenaikan sebesar 15,3% dibandingkan tahun sebelumnya, dan
naik 25 kali lipat jika dibandingkan dengan data pada 2002.[5] Adapun hasil penelitian
yang dilakukan oleh BAZNAS dan FEM IPB (2011) melaporkan bahwa Indonesia
memiliki potensi dana zakat sebesar Rp 217 triliun/tahun.[6]
Selama dua dekade terakhir pengelolaan zakat mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya penghimpunan
zakat yang dilakukan oleh OPZ dari tahun ke tahun. Penghimpunan zakat tahun
2013 telah mencapai angka 2,5 triliun. Selama 12 tahu terakhir pertumbuhan
penghimpunan zakat tidak pernah lebih rendah dari 20% per tahun.[7]
Namun demikian, meski
perkembangan pengelolaan zakat dinilai pesat, menurut para penggiat zakat,
banyak permasalahan di dalam OPZ yang perlu dievaluasi. Adapun OPZ memiliki
kekuatan utama berupa dasar hukum agama tentang zakat. Zakat merupakan rukun
Islam yang ke tiga yang memiliki banyak sekali dalil baik yang bersumber dari
Al Qur’an maupun dari As Sunnah.
Aspek kekuatan utama
selanjutnya adalah adanya undang-undang No 23/2011 tentang pengelolaan zakat.
Regulasi ini merupakan sebuah payung hukum yang menjamin bahwa kegiatan
pengelolaan zakat telah masuk ke dalam sistem pengelolaan negara. Pengelilaan
zakat bukan lagi aktifitas ilegal yang tidak memiliki dasar huku positif di
Indonesia.
Kekuatan utama berikutnya
adalah luasnya jaringan OPZ, baik LAZ maupun BAZNAS. Menurut Wibisono terdapat
33 BAZDA Provinsi, 437 BAZDA Kabupaten/Kota serta 18 LAZ Nasional dan 22 LAZ
daerah. Banyaknya OPZ ini dapat memudahkan masyarakat dalam menyalurkan
zakatnya, dan di saat yang sama dapat membantu pemerintah dalam mengumpulkan
dana zakat secara nasional.
Aspek peluang utama yang dimiliki OPZ adalah mayoritas
penduduk Indonesia yang beragama Islam. Banyaknya jumlah penduduk muslim akan
memudahkan penghimpunan, pengelolaan, maupun pendistribusian zakat. Peluang
utama berikutnya adalah besarnya potensi zakat nasional.
Banyaknya penduduk muslim
menyimpan potensi zakat yang juga besar. Potensi akan semakin besar seiring
dengan baiknya pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Meski terdapat
kesenjangan yang besar antara potensi zakat dengan realisasinya, peningkatan
penghimpunan zakat terus mengalami kenaikan dari tahu ke tahun.
Peluang berikutnya meningkatnya
kesadaran umat Islam untuk berzakat ke OPZ. Survai yang dilakukan oleh PIRAC
adalah bahwa tingkat kesadaran muzakki meningkat dari 49,8% di tahun 2004
menjadi 55% di tahun 2007. [8]
Tantangan Pengelolaan Zakat di Indonesia
Seiring dengan penghimpunan dana zakat yang terus meningkat, kegiatan pendayagunaannya
pun mengalami perkembangan yang sangat menarik. Pendayagunaan zakat, yang dulu
hanya bersifat konsumtif, saat ini cenderung mengarah kepada kegiatan-kegiatan
yang bersifat produktif, seperti pengembangan dan pemberdayaan usaha kecil menengah
dan pemberdayaan komunitas. Sehingga secara signifikan zakat dapat meningkatkan
pendapatan, profit, dan konsumsi orang miskin. Namun demikian, di balik
pesatnya kemajuan dunia perzakatan di Indonesia, masih terdapat banyak
persoalan yang perlu diselesaikan. Adapun persoalan-persoalan yang menjadi
tantangan dalam pengelolaan zakat antara lain:
Masalah
Regulator
Regulator zakat dinilai oleh kebanyakan orang sebagai
lembaga yang paling bermasalah dalam pengelolaan zakat nasional. Peran-peran
yang seharusnya dapat dilakukan regulator tidak dijalankan dengan baik dan
optimal. Seharusnya regulator yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat dapat
melakukan : 1) pembangunan sistem, jaringan, dan membuat standardisasi
pengelolaan zakat secara nasional dan pengawasan pemerintah selaku regulator
pengelolaan zakat, 2) memberikan dukungan dan fasilitas yang diperlukan dalam
rangka implementasi undang-undang/peraturan teknis yang dikeluarkan tentang
pengelolaan zakat di tingkat pusat, c) merealisasikan anggaran untuk operasional
pengelolaan zakat bagi Badan Amil Zakat melalui APBN, d) mengakomodir usulan
dan aspirasi yang berkembang di masyarakat berkenaan dengan substansi amandemen
undang-undang tentang pengelolaan zakat.[9]
Adapun tantangan pengelolaan zakat terkait dengan masalah
regulator ini di antaranya adalah :
1.
Rendahnya
koordinasi antara regulator dan OPZ. Hal ini merupakan kelemahan utama dalam
regulator zakat, Rendahnya peran Kemenag. Dalam hal ini kurangnya perhatian
Kemenag dalam melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap OPZ. Sebagai
satu-satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan penataan dan akreditasi,
Kementrian Agama terkesan lepas tanggung jawab terhadap permasalahan zakat
nasional dan menyerahkannya kepada BAZNAS pusat.
2.
Zakat
belum menjadi obligatory system.
Zakat yang hanya diposisikan sebagai kewajiban sukarela oleh negara (voluntary system) memiliki dampak buruk
bagi pengelolaan zakat nasional. Di antara dampak tidak diterapkannya kewajiban
berzakat bagi yang telah wajib zakat (obligatory
system) adalah rendahnya kesadaran berzakat masyarakat yang dalam hal ini
adalah muzakki. Meskipun telah memiliki pengetahuan tentang fikih zakat,
muzakki cenderung tidak ingin menunaikan zakat karena tidak ada sanksi (punishment) yang diterima bila tidak bayar
zakat.
Masalah OPZ
OPZ di indonesia telah mengalami pertumbuhan yang pesat
dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sayangnya masih banyak hal yang menjadi
tantangan dari OPZ dalam pengelolaan zakat. Adapun tantangan-tantangan tersebut
di antaranya adalah:
1. Transparansi
Salah satu tantangan
pengelolaan zakat dari segi OPZ adalah masalah transparansi. Di mana
permasalahan ini berdampak pada muzakki karena jika prinsip transparansi tidak
diberlakukan dalam pengelolaan zakat, maka muzakki tentunya tidak akan serta
merta untuk mempercayakan hartanya kepada lembaga-lembaga pengelola zakat.
Tantangan dalam hal ini dapat berupa tantangan dalam hal keterbukaan informasi,
komunikasi, dan anggaran dalam suatu OPZ.
Dalam hal ini, Lembaga
pengelola zakat harus memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat
penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan
dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga
ini memang patut dan layak dipercaya. Keamanan ini diwujudkan dalam bentuk
transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara
berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah
islamiah.[10]
2. Akuntabilitas
Bagi muzakki adanya BAZ atau LAZ akan membantu menyalurkan
zakat yang wajib dikeluarkan kepada mustahik, dengan lebih mudah. Namun
sebagian dari muzakki (wajib zakat) masih meragukan keberadaan BAZ atau LAZ,
dalam hal pendistribusian zakat yang berhak, di samping banyaknya keinginan
dari muzakki untuk memberikan zakat secara langsung kepada yang berhak. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar muzakki masih menginginkan pengelolaan zakat
yang lebih baik, yaitu bahwa pengelolaan zakat harus memiliki profesionalisme,
transparansi dalam pelaporan dan penyaluran yang tepat sasaran.[11]
Sama halnya dengan permasalahan transparansi
pengelolaan zakat, masalah akuntabilitas juga kerap kali menjadi tantangan
dalam pengelolaan zakat. Dalam masalah akuntabilitas ini, lembaga pengelola
zakat sangat dituntut untuk pertanggungjawaban mengenai pengelolaan zakat.
Masalah akuntabilitas di sini adalah terkait dengan bagaimana OPZ itu mampu
memberikan laporan administrasi, pengumpulan serta pendistribusian zakat yang
akuntabel dan dikelola oleh para penagnggungjawab yang professional.[12] Dalam
akuntabilitas laporan, prinsip utama yang harus digunakan adalah transparansi
dan kejujuran. Dengan prinsip ini OPZ berupaya memberikan informasi laporan
kegiatan maupun laporan pengumpulan dan pendistribusian dana zakat secara
jelas, jujur dan dapat dipercaya.[13]
Berbicara mengenai ketikpercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik
lebih disebabkan oleh kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang
memiliki akses langsung terhadap informasi dengan pihak instituen atau
masyarakat yang berada di luar manajemen. Pada tataran ini, konsep mengenai
akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang sangat penting terkait
dengan pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan, melaporkan dan
mengungkap segala aktivitas kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat
semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna dan seberapa
muda informasi tersebut diakses oleh masyarakat.
3. SDM
Seiring dengan pertumbuhan OPZ di Indonesia, yang menjadi
tantangan selanjutnya adalah OPZ ini tidak diimbangi dengan adanya pasokan
sumber daya amil yang professional atau minimnya sumber daya manusia yang berkualitas. Adapun amil
zakat adalah orang atau lembaga yang
mendapatkan tugas untuk mengambil, memungut, dan menerima zakat dari para
muzakki, menjaga dan memeliharanya untuk kemudian menyalurkannya kepada para
mustahik.[14] Dalam hal ini pekerjaan
menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau
profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para
sarjana meskipun dari lulusan Ekonomi Syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi. Sangat
sedikit orang yang memilih untuk berkarier menjadi seorang pengelola zakat.
Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para sarjana itu,
karena tidak ada daya tarik kariernya. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak
sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional,
amanah, akuntabel, dan transparan. Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang
amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial
juga sangat menonjol.[15]
SDM amil zakat saat ini sebenarnya dapat dikategorikan dalam
dua kelompok: 1) Amil tetap/full timer;
2) Amil tidak tetap/part timer yaitu
orang-orang yang mengelola zakat di lembaga amil zakat, tapi waktu yang
digunakan adalah paru waktu atau sambil mengerjakan tugas lain yang
diprioritaskan. Amil zakat yang saat ini ada menghadapi berbagai permasalahan,
antara lain:[16]
a)
Minimnya kompetensi yang diakibatkan karena banyak di antara
amil zakat yang direkrut dari anggota masyarakat atau professional yang tidak
memiliki latar belakang pengetahuan atau keahlian tentang pengelolaan zakat.
b)
Minimnya balas jasa yang diberikan kepada amil yang berakibat
daya tawar lembaga amil zakat terhadap tenaga berkualitas dan professional
rendah. Faktor ini yang menyebabkan tenaga amil menjadikan pekerjaannya sebagai
bukan pekerjaan utama melainkan pekerjaan sampingan.
c)
Minimnya pengembangan kualitas amil yang berakibat tidak
seimbangnya antara tantangan permasalahan dan tuntutan pelaksanaan tugas dengan
kemampuan amil.
4. Sistem Akuntansi Perzakatan
Salah satu permasalahan
mendasar yang dihadapi oleh kalangan organisasi pengelola zakat saat ini adalah
standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan
transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada
masyarakat. Selama ini organisasi pengelola zakat ketika diaudit, mengalami
permasalahan karena adanya istilah-istilah yang menurut tim audit tidak begitu
jelas. Karena memang tidak ditemukan dalam standar akuntansi keuangan sistem
standar akuntansi keuangan syariah yang telah ada.
Kita mengetahui bahwa di
antara kunci kesuksesan suatu organisasi pengelola zakat sangat ditentukan oleh
tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan financial untuk mendukung
program-program yang digulirkannya. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat
juga ditentukan oleh tingkat kesesuaian operasional organisasi pengelola zakat
dengan sistem syariah islam. kepercayaan ini terutama kepercayaan diberikan
oleh para muzakki dan mustahik, di mana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perzakatan saat ini.
Salah satu sumber utama
untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang
diberikan kepada publik, di mana organisasi pengelola zakat harus mampu
meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai
tujuan-tujuan pemberdayaan maupun tujuan-tujuan program yang sesuai dengan
syariat islam. karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi yang besifat
standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang
harus dipenuhi.
5. Sinergi tidak Berjalan dengan Baik
Sinergi antar OPZ
adalah prioritas masalah pengelolaan zakat nasional di OPZ terpenting.
Kurangnya sinergi antar OPZ ini dikarenakan adanya egoisme lembaga terutama
pada OPZ besar. Setiap pengelola zakat memiliki masa lalu yang panjang dan
sulit. Saat ini adalah waktu di mana banyak pengelola zakat, khususnya lembaga
zakat, menikmati hasil dari perjuangannya di masa lampau. Namun di saat hendak
menikmati hasil dari perjuangsn panjang tersebut, lahir sebuah regulasi yang
dianggap mengancam eksistensinya.
Kurangnya sinergi antarpengelola zakat sangat tampak pada
kurangnya kerja sama antar BAZNAS dan
LAZ. Penyebabnya adalah egoisme yang muncul pada kedua pihak pengelola zakat
tersebut. Di satu sisi badan amil zakat menganggap bahwa regulasi zakat yang baru,
yakni Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, merupakan
undang-undang yang mengancam eksistensinya. Itulah sebabnya sebagian lembaga
zakat mengajukan judicial review
supaya undang-undang tersebut dapat diperbaiki.[17]
Seharusnya kondisi seperti ini tidak perlu terjadi
mengingat seluruh pengelola zakat pada hakikatnya adalah sebuah lembaga yang
berorientasi pada kemaslahatan umat, khususnya muzakki dan mustahik. Seharusnya
persatuan lebih diutamakan dibandingkan mengedepankan bendera organisasi. [18]
Masalah Mustahik dan Muzakki
Selain tantangan yang berasal
dari segi regulator dan OPZ, tantangan pengelolaan zakat juga dapat berasal
dari sisi mustahik dan muzakki sendiri. Adapun tantangan-tantangan tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Rendahnya
kepercayaan terhadap OPZ dan regulator. Dalam hal ini, kredibilitas OPZ sangat
dibutuhkan untuk membangu kepercayaan masyarakat. Biasanya para muzakki
cenderung menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahik tanpa melalui lembaga
zakat,karena merasa tidak percaya terhadap OPZ dan regulator. Sebenarnya,
penyaluran zakat yang langsung kepada
mustahik boleh-boleh saja, akan tetapi untuk lebih produktifnya ada baik
jika seorang muzakki membayarkan zakat melalui lembaga zakat, agar
pendayagunaan dana zakatnya bisa lebih terorganisir. Di sini juga dibutuhkan
kesadaran OPZ untuk meningkatkan kredibilitasnya sehingga kepercayaan
masyarakat masyarakat terhadap OPZ pun terbangun.
2.
Rendahnya
kesadaran Muzakki. Tantangan pengelolaan zakat juga bersumber dari rendahnya kesadaran
muzakki untuk membayarkan zakat. Potensi zakat yang terbilang cukup besar,
tidak bisa dioptimalkan.
3.
Rendahnya
pengetahuan muzakki akan fikih zakat. Pengetahuan muzakki tentang fikih zakat
juga menjadi tantangan pengelolaan zakat di Indonesia yang berakibat pada
rendahnya kesadaran untuk menunaikan zakat. Biasanya sebagian muzakki memandang
bahwa zakat hanya terbatas pada zakat fitrah, sebagian lain juga masih
menganggap bahwa zakat hanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan, zakat juga masih
dipahami hanya sebagai ibadah ritual, padahal sesungguhnya zakat merupakan
salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi sosial.[19]
Solusi Pengelolaan Zakat di
Indonesia
Dari tantangan-tantangan yang di bahas pada sub materi
sebelumnya, maka untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat di Indonesia, perlu
dipikirkan sebuah solusi yang mampu mengembangkan serta mengoptimalkan peran
zakat di Indonesia. Adapun solusi-solusi yang dapat diterapkan secara umum
dalam pengelolaan zakat di Indonesia agar zakat dapat semakin tumbuh dan berkembang,
di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Optimalisasi
sosialisasi zakat
Perlu disadari bahwa zakat membutuhkan sosialisasi yang
lebih mendalam harus diakui bahwa pada satu sisi, kesadaran masyarakat untuk
berzakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun pada sisi yang lain,
antara potensi dana zakat dengan realisasi pengumpulannya terdapat gap yang
sangat besar. Untuk itu, sosialisasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat
ditawar lagi.[20]
Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan melakukan
kampanye sadar zakat secara terus menerus. Seluruh komponen bangsa, mulai dari
presiden, diminta untuk turut berpartisipasi dalam kampanye ini dengan memberi
contoh membayar zakat. Bahkan, untuk mengefektifkan kampanye ini, presiden dan
seluruh Kabinet Indonesia Bersatu dihimbau untuk segera memiliki NPWZ (Nomor
Pokok Wajib Zakat), sebagai bukti keterlibatan mereka di dalam mendukung
sosialisasi zakat ini.[21]
2. Membangun citra lembaga zakat yang amanah dan
profesional
Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini
telah terjadi krisis kepercayaan antar sesama masyarakat. Pembangunan citra ini
merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat dan baik, akan
menggiring masyarakat yang terkategorikan sebagai muzakki untuk mau menyalurkan
dana zakatnya melalui amil. Sebaliknya buruknya pencitraan, hanya akan
mengakibatkan rendahnya partisipasi muzakki untuk menyalurkan dananya melalui
lembaga amil. Dengan demikian, pencitraan amil ini merupakan hal yang sangat
strategis.
Akuntabilitas, transparansi dan corporate culture merupakan tiga hal pokok yang menentukan citra
lembaga yang amanah dan profesional. Harus disadari bahwa profesi amil ini
bukan merupakan profesi sampingan yang dikerjakan dengan tenaga dan waktu sisa.
Ia membutuhkan komitmen dan kesungguhan di dalam praktiknya. Saat ini bukan
zamannya lagi untuk mengelola zakat secara asal-asalan, sebab tujuan zakat
untuk mengentaskan kemiskinan tidak akan pernah mungkin tercapai bila zakat
tersebut tidak dikelola secara profesional dan transparan.[22]
3. Membangun sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk
berjuang dalam mengembangkan zakat di Indonesia.
Peran Institut Manajemen Zakat (IMZ) sebagai sentra utama
dalam mencetak SDM yang siap menjadi praktisi pengelola zakat perlu
ditingkatkan. IMZ atau yang sejenisnya ini sebaiknya dikelola secara terpusat
oleh BAZNAS. Model IMZ atau AIZ (Akademi Ilmu Zakat) ini adalah seperti model
STAN yang berada di bawah naungan Departemen Keuangan maupun sekolah-sekolah
tinggi yang berada di bawah naungan departemen-departemen lainnya. IMZ dan atau
AIZ ini, sesuai dengan namanya, manawarkan program diploma yang para alumninya
akan disalurkan untuk bekerja pada institusi-institusi zakat seperti BAZNAS,
BAZDA, maupun LAZ-LAZ yang telah ada.[23]
Standardisasi dari kualitatif SDM yang akan duduk di
lembaga zakat disesuaikan dengan persyaratan yang diajukan para ahli fikih,
yaitu seorang muslim, yang mempunyai kapabilitas dalam bertugas, dan mengetahui
perannya dalam lembaga tersebut serta dapat dipercaya. Hal ini pun menjadi
klasifikasi SDM dalam fikih politik syar’i terhadap persyaratan umum setiap
orang yang mengemban suatu tugas. Persyaratan ini dikumpulkan dalam dua syarat;
mampu dan amanah.
Keistimewaan dari SDM yang memiliki skill atau capable dalam
bekerja adalah berkemampuan dalam menciptakan inovasi dan terobosan. Demikian
pula dengan SDM yang amanah, senantiasa menjaga kepercayaan bila sudah terkait
dalam masalah keuangan.[24]
4. Memperbaiki dan menyempurnakan perangkat peraturan
tentang zakat di Indonesia.
Hal ini terkait dengan usaha untuk merevisi Undang-Undang
nomor 38/1999. Hal ini sangat penting mengingat Undang-undang tersebut
merupakan landasan legal formal bagi pengelolaan zakat secara nasional,
termasuk melakukan revisi Keppres tentang BAZNAS.[25]
5. Membangun database
mustahik dan muzakki secara nasional.
Indikator seseorang apakah terkategorikan sebagai mustahik ataupun muzakki
juga harus diatur secara jelas, tepat, dan sesuai dengan kondisi yang ada.[26]
6. Menciptakan standarisasi mekanisme
kerja BAZ dan LAZ
Adanya
standarisasi menkanisme kerja ini merupakan suatu upaya atau parameter untuk
mengetahui kinerja kedua lembaga tersebut (LAZ dan BAZ). Kedua lembaga tersebut
selama ini belum ada standar baku dalam praktiknya. Untuk itu, hal ini telah
menjadi kebutuhan yang sangat mendesak agar masyarakat memiliki ukuran yang
jelas di dalam mengontrol pengelolaan zakat di tanah air. Kemudia standardisasi
tersebut juga dimaksudkan sebagai indikator transparansi dan akuntabilitas
institusi zakat.[27]
7. Memperkuat sinergi antar lembaga zakat
Penguatan
sinergi ini diharapkan dapat lebih meningkatkan pengumpulan dan pendayagunaan
zakat bagi kepentingan mustahik. Sinergi antara BAZNAS dan FOZ harus lebih
ditingkatkan. Demikian pula dengan ormas-ormas islam lainnya.
Di
negara Indonesia dengan populasi muslim hampir 200 juta orang yang tersebar di
33 provinsi dan ratusan daerah tingkat II, menyimpan potensi zakat yang
dahsyat. Karena para eksekutif zakat dan organisasi pengelola zakat harus
ditingkatkan kapasitas dan kapabilitasnya, harus ditumbuhkembangkan potensi dan
kompetensinya. Potensi zakat yang begitu dahsyat hanya mampu direngkuh oleh
eksekutif zakat dan organisasi pengelola zakat yang benar-benar amanah dan
profesional secara kultural, pemikiran maupun praktikal. Untuk mencapai tujuan
itu, FOZ, BAZNAS dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama terus
mengembangkan dialog dengan pakar zakat negara serumpun yang bergabung dalam
DZAT (Dewan Zakat Asia Tenggara) untuk menyusun standarisasi mutu organisasi
pengelola zakat Asia Tenggara.
Ketika
sebuah OPZ mendapatkan sertifikasi mutu sebagai OPZ berstandar Asia Tenggara
dari pusat dan kemudian dipublikasikan kepada masyarakat, maka semoga OPZ
tersebut semakin trustable institution
di benak masyarakat. Kalau kemudian OPZ-OPZ yang mendapatkan sertifikasi mutu
dari DZAT tersebut melakukan sinergi fungsional baik terkait dengan program
penghimpunan dana, maka hal tersebut akan membuat keberadaan para eksekutif
zakat dan OPZ semakin terasa manfaatnya bagi ummat.
Karena
itulah FOZ dituntut untuk bisa memfungsikan peran strategis, yakni bersama
dengan BAZNAS, Direktor Pemberdaan Zakat Depag dan DZAT menyusun sistem
sertifikasi manajemen mutu OPZ berstandar Asia Tenggara dan menyususn sistem
sertifikasi kompetensi untuk para eksekutif zakat dan kemudian secara bertahap
menerapkannya bagi OPZ dan para eksekutif zakat nagara serumpun.[28]
8. Membangun sistem zakat nasional yang
mandiri dan profesional.
Ini
adalah ultimate goal yang harus
menjadi target kita bersama. Sistem yang diharapkan adalah sistem yang dibangun
di atas enam landasan. Secara sederhana, langkah-langkah tersebut dapat
disajikan sebagai berikut.[29]
PENUTUP
Zakat
merupakan suatu ibadah yang berdimensi sosial, dan sebagai tiang ekonomi dalam
perekonomian. Zakat saat ini memiliki prospek yang sangat bagus dan menentukan,
untuk peningkatan kesejahteraan umat, peningkatan sumber daya dan menjaga
kemampuan ekonomi serta daya beli masyakarat. Hal ini dapat tercapai apabila zakat
tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang pengelolaan zakat, yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Perwujudan prospek zakat dalam
perekonomian tersebut harus pula didukung dengan manajemen organisasi
pengelolaan zakat yang baik.
Meskipun
zakat memiliki potensi dan peluang yans cukup baik di Indonesia, namun masih
saja ada tantangan-tantangan dalam pengelolaannya, dan tantangan-tantangan ini
bersumber dari tiga segi kelembagaan, yaitu dari masalah regulasi yang dapat
berupa kurangnya koordinasi antara regulator dan OPZ, serta belum diterapkannya
sistem wajib zakat di Indonesia. Sebenarnya masih banyak lagi tantangan yang
bersumber dari sisi regulator.
Selanjutnya yaitu masalah yang bersumber dari OPZ, tantangan ini dapat
berupa masalah dalam hal transparansi, akuntabilitas, SDM, sistem akuntansi
perzakatan, serta sinergi antar OPZ yang tidak berjalan dengan baik. Serta
tantangan dari sisi muzakki dan mistahik dapat berupa rendahnya kepercayaan terhadap OPZ dan regulator,
rendahnya kesadaran muzakki, serta rendahnya pengetahuan muzakki akan fikih
zakat.
Terkait dengan masalah dan atau tantangan-tantangan yang dihadapi dalam
pengelolaan zakat di Indonesia, sekiranya perlu diterapkan solusi-solusi baik
untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam regulator, OPZ, maupun
masalah-masalah yang ada pada sis muzakki dan mustahik. Solusi ini diharapkan
mampu untuk mengoptimalkan pengelolaan dan peran serta fungsi zakat demi
terciptanya kesejahteraan umat kedepannya.
DAFTAR REFERENSI
Dean Endahwati, Yosi, Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Infaq, dan
Shadaqah (ZIS) Vol. 4.
Hafidhuddin, Didin, dkk, The Power of Zakat, Malang: UIN-Malang
Press, 2008.
Hafidhuddin,
Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta:
Gema Insani, 2002.
Hafidhuddin,
Didin, Panduan Praktis tentang Zakat,
Infak, dan Sedekah, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Huda, Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro, Jakarta:
Kencana, 2015.
Kurnia, Hikmat dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Qultum
Media, 2008.
Mufraini, Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2004.
Nana Mirtanti,
Indonesia Zakat dan Development Report, Jakarta: 2009.
Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi
Kerakyatan, Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
www.republika.co.id, Strategi
Pengembangan Organisasi Pengelola Zakat.
Zumrotun, Siti, Peluang, Tantangan, dan Strategi Zakat Vol.16, No.
1, 2016.
[2]Zumrotun, Siti, Peluang, Tantangan, dan Strategi Zakat Vol.16, No. 1, 2016, Diakses pada
Tanggal 10 Desember 2016
[3] Nana
Mirtanti, Indonesia Zakat dan Development
Report 2009, (Jakarta: 2009), h. 13
[4]
Mufraini, Arif, Akuntansi dan Manajemen
Zakat, (Jakarta: Kencana, 2004) h. 137
[5] Huda,
Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro-
Makro, (Jakarta: Kencana, 2015) h. 27
[6] Ibid, h. 28
[7]
www.republika.co.id, Strategi
Pengembangan Organisasi Pengelola Zakat, Diakses pada tanggal 13 Desember
2016
[8] www.republika.co.id...
[9] Huda,
Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro-
Makro… h. 48
[10]
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam
Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002), h.127.
[11] Dean
Endahwati, Yosi, Akuntabilitas
Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS) Vol. 4 diakses pada tanggal 13
Desember 2016
[12]
Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat dalam
Membangun Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005) h. 123
[13] Dean
Endahwati, Yosi, Akuntabilitas
Pengelolaan Zakat…
[14]
Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis
tentang Zakat, Infak, dan Sedekah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h.
18
[16] Huda,
Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro- Makro…
h. 173
[17] Ibid, h. 52
[18] Ibid, h. 53
[19] Ibid, h. 55
[20]
Hafidhuddin, Didin, dkk, The Power of
Zakat (Malang: UIN-Malang Press, 2008) h. 102
[21] Ibid.
[22] Ibid. h. 103
[23] Ibid, h. 104
[24]
Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat … h.
124
[25]
Hafidhuddin, Didin, dkk, The Power of
Zakat… h. 104
[26] Ibid, h. 105
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid, h. 106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar