Rabu, 25 Januari 2017

Propspek dan Tantangan Pengelolaan Zakat



PROSPEK DAN TANTANGAN PENGELOLAAN

ZAKAT DI INDONESIA

Herianti
Jurusan Syariah, Prodi Ekonomi Syariah STAIN Watampone
Email: Herianthyabbas@gmail.com

ABSTRAK
Penulisan ini berisi tentang kajian menarik seputar dunia perzakatan di Indonesia. Sebagaimana pada waktu-waktu terakhir ini perhatian umat terhadap kajian-kajian keislaman makin mengalami kemajuan, baik di lingkungan kampus, tempat  kerja, maupun di lingkungan masyarakat secara umum. Di hampir setiap media massa disediakan ruang dan waktu secara khusus yang menyajikan kajian-kajian Islam. Salah satu kajian yang mengemuka dan cukup diminati umat adalah kajian tentang zakat. Keberadaan zakat ini khusus di Indonesia yang notabene-nya memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam, tentunya zakat telah memiliki potensi dan peluang besar untuk dikelola umat sebagaimana saat ini perekonomian berpola Islam telah menjadi suatu kebutuhan umat. Pemanfaatan zakat yang berasal dari umat Islam harus sedini mungkin dikelola dan disalurkan secara efektif sebagai suatu sisi ikhtisar pemberdayaan  ekonomi umat. Ini karena dana zakat merupakan modal dalam upaya peningkatan perekonomian dan kesejahteraan umat. Akan tetapi, masih saja banyak tantangan-tantangan yang dihadapi terkait dengan penghimpunan dan penyaluran zakat, baik tantangan yang berasal dari segi regulator zakat, dari dalam OPZ sendiri, maupun yang berasal dari para muzakki dan muztahik zakat. Kemudian dari berbagai tantangan-tantangan yang ada, maka perlu dicarikan solusi-solusi yang tepat dan menerapkannya.
Kata Kunci: Zakat, Potensi, Peluang, Tantangan,  Solusi

PENDAHULUAN
Zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah Swt untuk diberikan kepada yang berhak menerima zakat (mustahiq).[1] zakat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin, namun adakalanya sering kali kewajiban membayar zakat itu terabaikan olek kaum muslim. Sebagian dari mereka menganggap bahwa hanya zakat fitrah sajalah yang wajib ditunaikan, padahal masih ada zakat mal dan juga zakat profesi yang merupakan zakat wajib jika harta seseorang telah mencapai nisab dan haulnya. Dalam rangka menekankan rasa solidaritas dan juga menekan ketamakan orang-orang kaya, Islam sebagai agama samawi menaruh perhatian penuh terhadap nasib orang-orang miskin. Tidak sekadar berupa imbauan kepada para umatnya untuk memperhatikan orang-orang miskin, akan tetapi mewajibkan zakat menjadi rukun Islam sesudah sahadat dan salat.  Zakat sebagai rukun Islam yang ketiga harus dilaksanakan oleh umat Islam sebagaimana kewajiban shalat, dengan penuh kesadaran tinggi serta penuh tanggungjawab. Demikian zakat ini akan menjadi sumber dana yang potensial dalam menunjang pembangunan nasional terutama di bidang agama dan ekonomi. Hal ini tentunya akan membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan umat.[2]
Kenyataannya, di Indonesia yang memiliki potensi zakat yang cukup besar nyatanya hanya mampu untuk mengumpulkan sebagian kecil dari potensi itu, sehingga tujuan untuk pendayagunaan dana zakat belum dapat terealisasikan dengan sebagaimana mestinya. Seharusnya, kesadaran masyarakat akan kewajiban untuk membayarkan zakat perlu untuk ditingkatkan untuk menggali potensi zakat yang ada di Indonesia. Sehingga pengelolaan serta peran zakat dapat dioptimalkan.
Seiring dengan perkembangannya, pengelolaan zakat di Indonesia masih saja memiliki masalah-masalah yang belum terselesaikan. Masalah-masalah ini berawal dari potensi zakat di Indonesia yang besar namun tidak dapat terhimpun secara agregat hingga beralih pada prospek pengelolaan zakat di Indonesia  yang diharapkan mampu mempermudah dalam membayar zakat kemudian menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi pengelolaan zakat yang ada di Indonesia.  Selain masalah-masalah yang bersumber dari sisi muzakki, masalah dalam pengelolaan zakat ini juga bisa saja bersumber dari sisi regulator, atau bahkan dari lembaga-lembaga OPZ itu sendiri.
Masalah-masalah yang kemudian menjadi tantangan dalam pengelolaan zakat di Indonesia yang menyebabkan tidak terealisasinya pendayagunaan zakat, jika tidak diminimalisir atau dihilangkan maka kesenjangan-kesenjangan akan terus berlanjut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu solusi dalam pengelolaan zakat dalam upaya pengoptimalisasian peran dan fungsi zakat di Indonesia. 

PEMBAHASAN
Potensi Zakat di Indonesia
Zakat adalah salah satu upaya untuk memberdayakan dalam meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat miskin. Berbicara mengenai potensi zakat, Indonesia merupakan salah satu negara yang potensi zakatnya terbilang cukup besar. Hal ini didasarkan atas perhitungan jumlah zakat yang terhimpun dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Meskipun, jumlah zakat yang terhimpun tersebut masih merupakan sebagian kecil dari potensi yang ada di Indonesia. Secara otomatis, hal ini membuktikan betapa besar potensi zakat yang dimiliki Indonesia.
Secara nasional, jumlah dana zakat yang berhasil dihimpun oleh BAZNAS,  BAZDA, dan LAZ terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pencapaian ini, antara lain semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat indonesia, semakin tinggi kesadaran untuk berderma dan membayar zakat, serta semakin banyaknya jumlah badan/lembaga zakat yang gencar mensosialisasikan dan memfasilitasi penyaluran dana zakat.[3] 
Menurut Zaid Aqil Munawar, potensi dana zakat di Indonesia mencapai Rp 7,5 triliun per tahun. Kemudian dari data yang disampaikan oleh Abu Syauki (Direktur Rumah Zakat Indonesia DSUQ), bahwa potensi zakat di Indonesia pada tahun 2004 mencapai Rp 9 triliun. Namun, hingga kini baru Rp 250 miliar atau 2,7% yang berhasil dihimpun oleh lembaga-lembaga pengelola zakat. Sedangkan potensi zakat di Indonesia menurut Djamal Doa mencapai angka 84,49 triliun per tahun. Begitu pula sebagaimana yang dipaparkan Siti Arifah mengenai hasil survei yang dilakukan oleh PIRAC (Publik Interest Research and Advocacy Center) terhadap 1837 responden yang beragama Islam di 11 kota besar di Indonesia pada tahun 2000 yang meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Padang, Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak, dan Balikpapan, manunjukkan bahwa tingkat zakat masyarakat yang disurvei menunjukkan angka yang tinggi, 94% menyatakan bahwa dirinya sebagai muzakki. Dengan rata-rata nilai zakat sebesar Rp 124.200,00/muzakki/tahun, dengan nilai berkisar antara Rp 44.000,00-Rp 339.000,00/tahun.[4]
Salah satu indikator kemajuan zakat Indonesia yaitu terjadi peningkatan penghimpunan zakat, termasuk infak dan sedekah, yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Harifuddin dan Beik (2012), sampai saat ini, tren penghimpunan zakat nasional masih sangat positif, di mana total zakat, infak, dan sedekah yang terhimpun tahun 2011 lalu mencapai angka Rp 1,729 triliun. Angka ini mengalami kenaikan sebesar 15,3% dibandingkan tahun sebelumnya, dan naik 25 kali lipat jika dibandingkan dengan data pada 2002.[5] Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh BAZNAS dan FEM IPB (2011) melaporkan bahwa Indonesia memiliki potensi dana zakat sebesar Rp 217 triliun/tahun.[6]

Prospek Pengelolaan Zakat di Indonesia 
Selama dua dekade terakhir pengelolaan zakat mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya penghimpunan zakat yang dilakukan oleh OPZ dari tahun ke tahun. Penghimpunan zakat tahun 2013 telah mencapai angka 2,5 triliun. Selama 12 tahu terakhir pertumbuhan penghimpunan zakat tidak pernah lebih rendah dari 20% per tahun.[7]
Namun demikian, meski perkembangan pengelolaan zakat dinilai pesat, menurut para penggiat zakat, banyak permasalahan di dalam OPZ yang perlu dievaluasi. Adapun OPZ memiliki kekuatan utama berupa dasar hukum agama tentang zakat. Zakat merupakan rukun Islam yang ke tiga yang memiliki banyak sekali dalil baik yang bersumber dari Al Qur’an maupun dari As Sunnah.
Aspek kekuatan utama selanjutnya adalah adanya undang-undang No 23/2011 tentang pengelolaan zakat. Regulasi ini merupakan sebuah payung hukum yang menjamin bahwa kegiatan pengelolaan zakat telah masuk ke dalam sistem pengelolaan negara. Pengelilaan zakat bukan lagi aktifitas ilegal yang tidak memiliki dasar huku positif di Indonesia.
Kekuatan utama berikutnya adalah luasnya jaringan OPZ, baik LAZ maupun BAZNAS. Menurut Wibisono terdapat 33 BAZDA Provinsi, 437 BAZDA Kabupaten/Kota serta 18 LAZ Nasional dan 22 LAZ daerah. Banyaknya OPZ ini dapat memudahkan masyarakat dalam menyalurkan zakatnya, dan di saat yang sama dapat membantu pemerintah dalam mengumpulkan dana zakat secara nasional.
Aspek peluang utama yang dimiliki OPZ adalah mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Banyaknya jumlah penduduk muslim akan memudahkan penghimpunan, pengelolaan, maupun pendistribusian zakat. Peluang utama berikutnya adalah besarnya potensi zakat nasional.
Banyaknya penduduk muslim menyimpan potensi zakat yang juga besar. Potensi akan semakin besar seiring dengan baiknya pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Meski terdapat kesenjangan yang besar antara potensi zakat dengan realisasinya, peningkatan penghimpunan zakat terus mengalami kenaikan dari tahu ke tahun.
Peluang berikutnya meningkatnya kesadaran umat Islam untuk berzakat ke OPZ. Survai yang dilakukan oleh PIRAC adalah bahwa tingkat kesadaran muzakki meningkat dari 49,8% di tahun 2004 menjadi 55% di tahun 2007. [8]

Tantangan Pengelolaan Zakat di Indonesia
Seiring dengan penghimpunan dana zakat yang terus meningkat, kegiatan pendayagunaannya pun mengalami perkembangan yang sangat menarik. Pendayagunaan zakat, yang dulu hanya bersifat konsumtif, saat ini cenderung mengarah kepada kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif, seperti pengembangan dan pemberdayaan usaha kecil menengah dan pemberdayaan komunitas. Sehingga secara signifikan zakat dapat meningkatkan pendapatan, profit, dan konsumsi orang miskin. Namun demikian, di balik pesatnya kemajuan dunia perzakatan di Indonesia, masih terdapat banyak persoalan yang perlu diselesaikan. Adapun persoalan-persoalan yang menjadi tantangan dalam pengelolaan zakat antara lain:
Masalah Regulator
Regulator zakat dinilai oleh kebanyakan orang sebagai lembaga yang paling bermasalah dalam pengelolaan zakat nasional. Peran-peran yang seharusnya dapat dilakukan regulator tidak dijalankan dengan baik dan optimal. Seharusnya regulator yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat dapat melakukan : 1) pembangunan sistem, jaringan, dan membuat standardisasi pengelolaan zakat secara nasional dan pengawasan pemerintah selaku regulator pengelolaan zakat, 2) memberikan dukungan dan fasilitas yang diperlukan dalam rangka implementasi undang-undang/peraturan teknis yang dikeluarkan tentang pengelolaan zakat di tingkat pusat, c) merealisasikan anggaran untuk operasional pengelolaan zakat bagi Badan Amil Zakat melalui APBN, d) mengakomodir usulan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat berkenaan dengan substansi amandemen undang-undang tentang pengelolaan zakat.[9]
Adapun tantangan pengelolaan zakat terkait dengan masalah regulator ini di antaranya adalah :
1.      Rendahnya koordinasi antara regulator dan OPZ. Hal ini merupakan kelemahan utama dalam regulator zakat, Rendahnya peran Kemenag. Dalam hal ini kurangnya perhatian Kemenag dalam melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap OPZ. Sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk melakukan penataan dan akreditasi, Kementrian Agama terkesan lepas tanggung jawab terhadap permasalahan zakat nasional dan menyerahkannya kepada BAZNAS pusat.
2.      Zakat belum menjadi obligatory system. Zakat yang hanya diposisikan sebagai kewajiban sukarela oleh negara (voluntary system) memiliki dampak buruk bagi pengelolaan zakat nasional. Di antara dampak tidak diterapkannya kewajiban berzakat bagi yang telah wajib zakat (obligatory system) adalah rendahnya kesadaran berzakat masyarakat yang dalam hal ini adalah muzakki. Meskipun telah memiliki pengetahuan tentang fikih zakat, muzakki cenderung tidak ingin menunaikan zakat karena tidak ada sanksi (punishment) yang diterima bila tidak bayar zakat.
Masalah OPZ
OPZ di indonesia telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun, sayangnya masih banyak hal yang menjadi tantangan dari OPZ dalam pengelolaan zakat. Adapun tantangan-tantangan tersebut di antaranya adalah:
1.      Transparansi
Salah satu tantangan pengelolaan zakat dari segi OPZ adalah masalah transparansi. Di mana permasalahan ini berdampak pada muzakki karena jika prinsip transparansi tidak diberlakukan dalam pengelolaan zakat, maka muzakki tentunya tidak akan serta merta untuk mempercayakan hartanya kepada lembaga-lembaga pengelola zakat. Tantangan dalam hal ini dapat berupa tantangan dalam hal keterbukaan informasi, komunikasi, dan anggaran dalam suatu OPZ.
Dalam hal ini, Lembaga pengelola zakat harus memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Keamanan ini diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya sejalan dengan ketentuan syariah islamiah.[10]
2.      Akuntabilitas
Bagi muzakki adanya BAZ atau LAZ akan membantu menyalurkan zakat yang wajib dikeluarkan kepada mustahik, dengan lebih mudah. Namun sebagian dari muzakki (wajib zakat) masih meragukan keberadaan BAZ atau LAZ, dalam hal pendistribusian zakat yang berhak, di samping banyaknya keinginan dari muzakki untuk memberikan zakat secara langsung kepada yang berhak. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar muzakki masih menginginkan pengelolaan zakat yang lebih baik, yaitu bahwa pengelolaan zakat harus memiliki profesionalisme, transparansi dalam pelaporan dan penyaluran yang tepat sasaran.[11]
Sama halnya dengan permasalahan transparansi pengelolaan zakat, masalah akuntabilitas juga kerap kali menjadi tantangan dalam pengelolaan zakat. Dalam masalah akuntabilitas ini, lembaga pengelola zakat sangat dituntut untuk pertanggungjawaban mengenai pengelolaan zakat. Masalah akuntabilitas di sini adalah terkait dengan bagaimana OPZ itu mampu memberikan laporan administrasi, pengumpulan serta pendistribusian zakat yang akuntabel dan dikelola oleh para penagnggungjawab yang professional.[12] Dalam akuntabilitas laporan, prinsip utama yang harus digunakan adalah transparansi dan kejujuran. Dengan prinsip ini OPZ berupaya memberikan informasi laporan kegiatan maupun laporan pengumpulan dan pendistribusian dana zakat secara jelas, jujur dan dapat dipercaya.[13] Berbicara mengenai ketikpercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik lebih disebabkan oleh kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang memiliki akses langsung terhadap informasi dengan pihak instituen atau masyarakat yang berada di luar manajemen. Pada tataran ini, konsep mengenai akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang sangat penting terkait dengan pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan, melaporkan dan mengungkap segala aktivitas kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna dan seberapa muda informasi tersebut diakses oleh masyarakat.
3.      SDM
Seiring dengan pertumbuhan OPZ di Indonesia, yang menjadi tantangan selanjutnya adalah OPZ ini tidak diimbangi dengan adanya pasokan sumber daya amil yang professional atau minimnya sumber daya manusia yang berkualitas. Adapun amil zakat adalah  orang atau lembaga yang mendapatkan tugas untuk mengambil, memungut, dan menerima zakat dari para muzakki, menjaga dan memeliharanya untuk kemudian menyalurkannya kepada para mustahik.[14] Dalam hal ini pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang, bahkan dari lulusan ekonomi syariah sekalipun. Para sarjana meskipun dari lulusan Ekonomi Syariah lebih memilih untuk berkarir di sektor keuangan seperti perbankan atau asuransi. Sangat sedikit orang yang memilih untuk berkarier menjadi seorang pengelola zakat. Menjadi seorang amil belumlah menjadi pilihan hidup dari para sarjana itu, karena tidak ada daya tarik kariernya. Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel, dan transparan. Karena sesungguhnya kerja menjadi seorang amil mempunyai dua aspek tidak hanya aspek materi semata namun aspek sosial juga sangat menonjol.[15]
SDM amil zakat saat ini sebenarnya dapat dikategorikan dalam dua kelompok: 1) Amil tetap/full timer; 2) Amil tidak tetap/part timer yaitu orang-orang yang mengelola zakat di lembaga amil zakat, tapi waktu yang digunakan adalah paru waktu atau sambil mengerjakan tugas lain yang diprioritaskan. Amil zakat yang saat ini ada menghadapi berbagai permasalahan, antara lain:[16]
a)      Minimnya kompetensi yang diakibatkan karena banyak di antara amil zakat yang direkrut dari anggota masyarakat atau professional yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan atau keahlian tentang pengelolaan zakat.
b)      Minimnya balas jasa yang diberikan kepada amil yang berakibat daya tawar lembaga amil zakat terhadap tenaga berkualitas dan professional rendah. Faktor ini yang menyebabkan tenaga amil menjadikan pekerjaannya sebagai bukan pekerjaan utama melainkan pekerjaan sampingan.
c)      Minimnya pengembangan kualitas amil yang berakibat tidak seimbangnya antara tantangan permasalahan dan tuntutan pelaksanaan tugas dengan kemampuan amil.
4.      Sistem Akuntansi Perzakatan
Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan organisasi pengelola zakat saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat. Selama ini organisasi pengelola zakat ketika diaudit, mengalami permasalahan karena adanya istilah-istilah yang menurut tim audit tidak begitu jelas. Karena memang tidak ditemukan dalam standar akuntansi keuangan sistem standar akuntansi keuangan syariah yang telah ada.
Kita mengetahui bahwa di antara kunci kesuksesan suatu organisasi pengelola zakat sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan financial untuk mendukung program-program yang digulirkannya. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat juga ditentukan oleh tingkat kesesuaian operasional organisasi pengelola zakat dengan sistem syariah islam. kepercayaan ini terutama kepercayaan diberikan oleh para muzakki dan mustahik, di mana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perzakatan saat ini.
Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, di mana organisasi pengelola zakat harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan pemberdayaan maupun tujuan-tujuan program yang sesuai dengan syariat islam. karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi yang besifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi.
5.      Sinergi tidak Berjalan dengan Baik
 Sinergi antar OPZ adalah prioritas masalah pengelolaan zakat nasional di OPZ terpenting. Kurangnya sinergi antar OPZ ini dikarenakan adanya egoisme lembaga terutama pada OPZ besar. Setiap pengelola zakat memiliki masa lalu yang panjang dan sulit. Saat ini adalah waktu di mana banyak pengelola zakat, khususnya lembaga zakat, menikmati hasil dari perjuangannya di masa lampau. Namun di saat hendak menikmati hasil dari perjuangsn panjang tersebut, lahir sebuah regulasi yang dianggap mengancam eksistensinya.
Kurangnya sinergi antarpengelola zakat sangat tampak pada kurangnya kerja sama antar BAZNAS   dan LAZ. Penyebabnya adalah egoisme yang muncul pada kedua pihak pengelola zakat tersebut. Di satu sisi badan amil zakat menganggap bahwa regulasi zakat yang baru, yakni Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, merupakan undang-undang yang mengancam eksistensinya. Itulah sebabnya sebagian lembaga zakat mengajukan judicial review supaya undang-undang tersebut dapat diperbaiki.[17]
Seharusnya kondisi seperti ini tidak perlu terjadi mengingat seluruh pengelola zakat pada hakikatnya adalah sebuah lembaga yang berorientasi pada kemaslahatan umat, khususnya muzakki dan mustahik. Seharusnya persatuan lebih diutamakan dibandingkan mengedepankan bendera organisasi. [18]
Masalah Mustahik dan Muzakki
Selain tantangan yang berasal dari segi regulator dan OPZ, tantangan pengelolaan zakat juga dapat berasal dari sisi mustahik dan muzakki sendiri. Adapun tantangan-tantangan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Rendahnya kepercayaan terhadap OPZ dan regulator. Dalam hal ini, kredibilitas OPZ sangat dibutuhkan untuk membangu kepercayaan masyarakat. Biasanya para muzakki cenderung menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahik tanpa melalui lembaga zakat,karena merasa tidak percaya terhadap OPZ dan regulator. Sebenarnya, penyaluran zakat yang langsung kepada  mustahik boleh-boleh saja, akan tetapi untuk lebih produktifnya ada baik jika seorang muzakki membayarkan zakat melalui lembaga zakat, agar pendayagunaan dana zakatnya bisa lebih terorganisir. Di sini juga dibutuhkan kesadaran OPZ untuk meningkatkan kredibilitasnya sehingga kepercayaan masyarakat masyarakat terhadap OPZ pun terbangun.
2.      Rendahnya kesadaran Muzakki. Tantangan pengelolaan zakat juga bersumber dari rendahnya kesadaran muzakki untuk membayarkan zakat. Potensi zakat yang terbilang cukup besar, tidak bisa dioptimalkan.
3.      Rendahnya pengetahuan muzakki akan fikih zakat. Pengetahuan muzakki tentang fikih zakat juga menjadi tantangan pengelolaan zakat di Indonesia yang berakibat pada rendahnya kesadaran untuk menunaikan zakat. Biasanya sebagian muzakki memandang bahwa zakat hanya terbatas pada zakat fitrah, sebagian lain juga masih menganggap bahwa zakat hanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan, zakat juga masih dipahami hanya sebagai ibadah ritual, padahal sesungguhnya zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi sosial.[19]

Solusi Pengelolaan Zakat di Indonesia 
Dari tantangan-tantangan yang di bahas pada sub materi sebelumnya, maka untuk mengoptimalkan pengelolaan zakat di Indonesia, perlu dipikirkan sebuah solusi yang mampu mengembangkan serta mengoptimalkan peran zakat di Indonesia. Adapun solusi-solusi yang dapat diterapkan secara umum dalam pengelolaan zakat di Indonesia agar zakat dapat semakin tumbuh dan berkembang, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Optimalisasi sosialisasi zakat
Perlu disadari bahwa zakat membutuhkan sosialisasi yang lebih mendalam harus diakui bahwa pada satu sisi, kesadaran masyarakat untuk berzakat semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun pada sisi yang lain, antara potensi dana zakat dengan realisasi pengumpulannya terdapat gap yang sangat besar. Untuk itu, sosialisasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi.[20]
Salah satu bentuk sosialisasi adalah dengan melakukan kampanye sadar zakat secara terus menerus. Seluruh komponen bangsa, mulai dari presiden, diminta untuk turut berpartisipasi dalam kampanye ini dengan memberi contoh membayar zakat. Bahkan, untuk mengefektifkan kampanye ini, presiden dan seluruh Kabinet Indonesia Bersatu dihimbau untuk segera memiliki NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat), sebagai bukti keterlibatan mereka di dalam mendukung sosialisasi zakat ini.[21]
2. Membangun citra lembaga zakat yang amanah dan profesional
Hal ini sangat penting untuk dilakukan mengingat saat ini telah terjadi krisis kepercayaan antar sesama masyarakat. Pembangunan citra ini merupakan hal yang sangat fundamental. Citra yang kuat dan baik, akan menggiring masyarakat yang terkategorikan sebagai muzakki untuk mau menyalurkan dana zakatnya melalui amil. Sebaliknya buruknya pencitraan, hanya akan mengakibatkan rendahnya partisipasi muzakki untuk menyalurkan dananya melalui lembaga amil. Dengan demikian, pencitraan amil ini merupakan hal yang sangat strategis.
Akuntabilitas, transparansi dan corporate culture merupakan tiga hal pokok yang menentukan citra lembaga yang amanah dan profesional. Harus disadari bahwa profesi amil ini bukan merupakan profesi sampingan yang dikerjakan dengan tenaga dan waktu sisa. Ia membutuhkan komitmen dan kesungguhan di dalam praktiknya. Saat ini bukan zamannya lagi untuk mengelola zakat secara asal-asalan, sebab tujuan zakat untuk mengentaskan kemiskinan tidak akan pernah mungkin tercapai bila zakat tersebut tidak dikelola secara profesional dan transparan.[22]
3. Membangun sumber daya manusia (SDM) yang siap untuk berjuang dalam mengembangkan zakat di Indonesia.
Peran Institut Manajemen Zakat (IMZ) sebagai sentra utama dalam mencetak SDM yang siap menjadi praktisi pengelola zakat perlu ditingkatkan. IMZ atau yang sejenisnya ini sebaiknya dikelola secara terpusat oleh BAZNAS. Model IMZ atau AIZ (Akademi Ilmu Zakat) ini adalah seperti model STAN yang berada di bawah naungan Departemen Keuangan maupun sekolah-sekolah tinggi yang berada di bawah naungan departemen-departemen lainnya. IMZ dan atau AIZ ini, sesuai dengan namanya, manawarkan program diploma yang para alumninya akan disalurkan untuk bekerja pada institusi-institusi zakat seperti BAZNAS, BAZDA, maupun LAZ-LAZ yang telah ada.[23]
Standardisasi dari kualitatif SDM yang akan duduk di lembaga zakat disesuaikan dengan persyaratan yang diajukan para ahli fikih, yaitu seorang muslim, yang mempunyai kapabilitas dalam bertugas, dan mengetahui perannya dalam lembaga tersebut serta dapat dipercaya. Hal ini pun menjadi klasifikasi SDM dalam fikih politik syar’i terhadap persyaratan umum setiap orang yang mengemban suatu tugas. Persyaratan ini dikumpulkan dalam dua syarat; mampu dan amanah.
Keistimewaan dari SDM yang memiliki skill atau capable dalam bekerja adalah berkemampuan dalam menciptakan inovasi dan terobosan. Demikian pula dengan SDM yang amanah, senantiasa menjaga kepercayaan bila sudah terkait dalam masalah keuangan.[24]
4. Memperbaiki dan menyempurnakan perangkat peraturan tentang zakat di Indonesia.
Hal ini terkait dengan usaha untuk merevisi Undang-Undang nomor 38/1999. Hal ini sangat penting mengingat Undang-undang tersebut merupakan landasan legal formal bagi pengelolaan zakat secara nasional, termasuk melakukan revisi Keppres tentang BAZNAS.[25]
5. Membangun database mustahik dan muzakki secara nasional.
Indikator seseorang apakah terkategorikan sebagai mustahik ataupun muzakki juga harus diatur secara jelas, tepat, dan sesuai dengan kondisi yang ada.[26]
6.      Menciptakan standarisasi mekanisme kerja BAZ dan LAZ
Adanya standarisasi menkanisme kerja ini merupakan suatu upaya atau parameter untuk mengetahui kinerja kedua lembaga tersebut (LAZ dan BAZ). Kedua lembaga tersebut selama ini belum ada standar baku dalam praktiknya. Untuk itu, hal ini telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak agar masyarakat memiliki ukuran yang jelas di dalam mengontrol pengelolaan zakat di tanah air. Kemudia standardisasi tersebut juga dimaksudkan sebagai indikator transparansi dan akuntabilitas institusi zakat.[27]
7.      Memperkuat sinergi antar lembaga zakat
Penguatan sinergi ini diharapkan dapat lebih meningkatkan pengumpulan dan pendayagunaan zakat bagi kepentingan mustahik. Sinergi antara BAZNAS dan FOZ harus lebih ditingkatkan. Demikian pula dengan ormas-ormas islam lainnya.
Di negara Indonesia dengan populasi muslim hampir 200 juta orang yang tersebar di 33 provinsi dan ratusan daerah tingkat II, menyimpan potensi zakat yang dahsyat. Karena para eksekutif zakat dan organisasi pengelola zakat harus ditingkatkan kapasitas dan kapabilitasnya, harus ditumbuhkembangkan potensi dan kompetensinya. Potensi zakat yang begitu dahsyat hanya mampu direngkuh oleh eksekutif zakat dan organisasi pengelola zakat yang benar-benar amanah dan profesional secara kultural, pemikiran maupun praktikal. Untuk mencapai tujuan itu, FOZ, BAZNAS dan Direktorat Pemberdayaan Zakat, Departemen Agama terus mengembangkan dialog dengan pakar zakat negara serumpun yang bergabung dalam DZAT (Dewan Zakat Asia Tenggara) untuk menyusun standarisasi mutu organisasi pengelola zakat Asia Tenggara.
Ketika sebuah OPZ mendapatkan sertifikasi mutu sebagai OPZ berstandar Asia Tenggara dari pusat dan kemudian dipublikasikan kepada masyarakat, maka semoga OPZ tersebut semakin trustable institution di benak masyarakat. Kalau kemudian OPZ-OPZ yang mendapatkan sertifikasi mutu dari DZAT tersebut melakukan sinergi fungsional baik terkait dengan program penghimpunan dana, maka hal tersebut akan membuat keberadaan para eksekutif zakat dan OPZ semakin terasa manfaatnya bagi ummat.
Karena itulah FOZ dituntut untuk bisa memfungsikan peran strategis, yakni bersama dengan BAZNAS, Direktor Pemberdaan Zakat Depag dan DZAT menyusun sistem sertifikasi manajemen mutu OPZ berstandar Asia Tenggara dan menyususn sistem sertifikasi kompetensi untuk para eksekutif zakat dan kemudian secara bertahap menerapkannya bagi OPZ dan para eksekutif zakat nagara serumpun.[28]
8.      Membangun sistem zakat nasional yang mandiri dan profesional.
Ini adalah ultimate goal yang harus menjadi target kita bersama. Sistem yang diharapkan adalah sistem yang dibangun di atas enam landasan. Secara sederhana, langkah-langkah tersebut dapat disajikan sebagai berikut.[29]


 



PENUTUP

Zakat merupakan suatu ibadah yang berdimensi sosial, dan sebagai tiang ekonomi dalam perekonomian. Zakat saat ini memiliki prospek yang sangat bagus dan menentukan, untuk peningkatan kesejahteraan umat, peningkatan sumber daya dan menjaga kemampuan ekonomi serta daya beli masyakarat. Hal ini dapat tercapai apabila zakat tersebut dikelola dengan baik sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, yang kemudian diamandemen dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Perwujudan prospek zakat dalam perekonomian tersebut harus pula didukung dengan manajemen organisasi pengelolaan zakat yang baik.
Meskipun zakat memiliki potensi dan peluang yans cukup baik di Indonesia, namun masih saja ada tantangan-tantangan dalam pengelolaannya, dan tantangan-tantangan ini bersumber dari tiga segi kelembagaan, yaitu dari masalah regulasi yang dapat berupa kurangnya koordinasi antara regulator dan OPZ, serta belum diterapkannya sistem wajib zakat di Indonesia. Sebenarnya masih banyak lagi tantangan yang bersumber dari sisi regulator.  Selanjutnya yaitu masalah yang bersumber dari OPZ, tantangan ini dapat berupa masalah dalam hal transparansi, akuntabilitas, SDM, sistem akuntansi perzakatan, serta sinergi antar OPZ yang tidak berjalan dengan baik. Serta tantangan dari sisi muzakki dan mistahik dapat berupa rendahnya kepercayaan terhadap OPZ dan regulator, rendahnya kesadaran muzakki, serta rendahnya pengetahuan muzakki akan fikih zakat.
Terkait dengan masalah dan atau tantangan-tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan zakat di Indonesia, sekiranya perlu diterapkan solusi-solusi baik untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dalam regulator, OPZ, maupun masalah-masalah yang ada pada sis muzakki dan mustahik. Solusi ini diharapkan mampu untuk mengoptimalkan pengelolaan dan peran serta fungsi zakat demi terciptanya kesejahteraan umat kedepannya.



DAFTAR REFERENSI

Dean Endahwati, Yosi, Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS) Vol. 4.
Hafidhuddin, Didin, dkk, The Power of Zakat, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani, 2002.
Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infak, dan Sedekah, Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Huda, Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro, Jakarta: Kencana, 2015.
Kurnia, Hikmat dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, Jakarta: Qultum Media, 2008.
Mufraini, Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: Kencana, 2004.
Nana Mirtanti, Indonesia Zakat dan Development Report, Jakarta: 2009.
Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Zikrul Hakim, 2005.
www.republika.co.id, Strategi Pengembangan Organisasi Pengelola Zakat.           
Zumrotun, Siti, Peluang, Tantangan, dan Strategi  Zakat Vol.16, No. 1, 2016.




[1]Kurnia, Hikmat dan Ade Hidayat, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008), h. 2
[2]Zumrotun, Siti, Peluang, Tantangan, dan Strategi  Zakat Vol.16, No. 1, 2016, Diakses pada Tanggal 10 Desember  2016
[3] Nana Mirtanti, Indonesia Zakat dan Development Report 2009, (Jakarta: 2009), h. 13
[4] Mufraini, Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Kencana, 2004) h. 137
[5] Huda, Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro- Makro, (Jakarta: Kencana, 2015) h. 27
[6] Ibid, h. 28
[7] www.republika.co.id, Strategi Pengembangan Organisasi Pengelola Zakat, Diakses pada tanggal 13 Desember 2016
[8] www.republika.co.id...
[9] Huda, Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro- Makro… h. 48
[10] Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Jakarta: Gema Insani, 2002),  h.127.
[11] Dean Endahwati, Yosi, Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS) Vol. 4 diakses pada tanggal 13 Desember 2016
[12] Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005) h. 123
[13] Dean Endahwati, Yosi, Akuntabilitas Pengelolaan Zakat…
[14] Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis tentang Zakat, Infak, dan Sedekah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h. 18
[15]  Zumrotun, Siti, Peluang, Tantangan, dan Strategi  Zakat
[16] Huda, Nurul, dkk, Zakat Perspektif Mikro- Makro… h. 173
[17] Ibid, h. 52
[18] Ibid, h. 53
[19] Ibid, h. 55
[20] Hafidhuddin, Didin, dkk, The Power of Zakat (Malang: UIN-Malang Press, 2008) h. 102
[21] Ibid.
[22] Ibid. h. 103
[23] Ibid, h. 104
[24] Qaradhawi, Yusuf, Spektrum Zakat … h. 124
[25] Hafidhuddin, Didin, dkk, The Power of Zakat… h. 104
[26] Ibid, h. 105
[27] Ibid.
[28] Ibid.
[29] Ibid, h. 106

Tidak ada komentar:

Posting Komentar