Implementasi Mudharabah pada Pembiayaan di Bank Syariah
Oleh
:
Muh.
Alwi
01133131
Jurusan Syariah Prodi Ekis Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Watampone
Abstrak
Penelitian ini membahas
implementasi mudharabah pada
bank syariah. Tujuan penelitian menganalisis solusi mengatasi kendala
implementasi mudharabah pada
pembiayaan bank syariah. Data penelitian adalah hasil penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan pembiayaan mudharabah,
dilakukan melalui dokumentasi. Data diolah dengan pendekatan kualitatif
deskriptif eksploratif. Penelitian ini merupakan kepustakaan (library
research) yang pengkajiannya dilakukan secara eksploratif. Bank syariah
lebih ideal apabila menyalurkan pembiayaan dengan skema bagi hasil kepada
nasabahnya sehingga bank syariah akan berbagi risiko (sharing risk)
dengan para nasabah penerima pembiayaan, bukan transfer risk sebagaimana
yang terjadi pada pembiayaan berbasiS jual beli. Namun dalam implementasi mudharabah yang merupakan akad
bagi hasil pada pembiayaan di bank syariah, ada agency problem dan moral
hazard. Dua perjanjian yang dapat dilakukan untuk mengatasi agency
problem : (1) Mudharib diminta
untuk memberikan kontribusi modal. (2) Mudharib
diminta untuk berbagi dalam kerugian sampai batas tertentu. Untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya moral
hazard, maka diterapkan batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan
kepada mudharib yaitu
menerapkan batasan agar porsi modal dari pihak mudharib lebih besar dan/mengenakan jaminan, menerapkan
syarat agar mudharib melakukan
bisnis yang risiko operasinya lebih rendah, melakukan bisnis dengan arus kas
yang transparan.
Pendahuluan
Dalam
UU No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan disebutkan bahwa kegiatan usaha bank syariah adalah menyediakan
pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia[1]
Pembiayaan berdasar prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang dibiayai untuk imbalan atau bagi hasil[2]
Hampir seluruh model teoritis bank Islam didasarkan
pada mudharabah atau musyarakah atau pada kedua-duanya,
tetapi hingga saat ini praktik nyata pada bank Islam jauh dari model tersebut[3]
Perbankan Islam harus didasarkan pada Profit and Loss Sharing (PLS),
bukan berdasarkan bunga[4]
Para teoritisi berpendapat bahwa bank
Islam akan menyediakan sumber-sumber pembiayaannya yang luas kepada para
peminjam dengan prinsip berbagi risiko, tidak seperti pembiayaan berbasis bunga
dimana
peminjamnya
menanggung semua risiko[5]
PLS pada bank syariah didasarkan pada dua konsep hukum yaitu mudharabah dan musyarakah[6]
Pembiayaan mudharabah
merupakan salah satu tonggak ekonomi syariah yang mewakili prinsip
Islam untuk mewujudkan keadilan masyarakat melalui sistem bagi hasil[7]
Pembiayaan mudharabah adalah
bentuk kerjasama dimana bank akan menyediakan modal dan nasabah menyediakan
keahlian. Keduanya akan menyetujui rasio bagi hasil. Nasabah akan secara
pribadi bertanggungjawab untuk menjalankan bisnis, proyek, atau kontrak tanpa
pengaruh dari bank. Semua bentuk kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh bank
dan kehilangan tenaga kerja akan ditanggung oleh nasabah[8]
Berdasarkan pengertian
diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pembiayaan mudharabah merupakan dana
yang diberikan kepada nasabah untuk melakukan atau melaksanakan suatu usaha
tertentu berdasarkan prinsip syariah dimana kerugian ditanggung bersama dan
keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati.
Seharusnya dalam kondisi ideal perekonomian, akad mudharabah dan musyarakah dengan skema PLS
adalah yang sebaiknya paling banyak diimplementasikan oleh perbankan syariah
karena skema PLS ini membagi risiko antara bank dan nasabah[9]
Musyarakah adalah
kerjasama bagi hasil dan bagi kerugian[10]
Dalam perjanjian pembiayaan musyarakah
bank dan nasabahnya akan bersama-sama menyumbangkan modal dan
keahlian mereka dalam suatu proyek. Keuntungan dan kerugian akan dibagi
berdasarkan bagian modal yang diberikan[11]
Dalam
praktiknya, pada penyaluran pembiayaan bank syariah di Indonesia, penyaluran pembiayaan
dengan PLS yaitu musyarakah sebesar
25% dan mudharabah sebesar 7%
sedangkan pembiayaan berakad jual beli (murabahah)
menempati porsi terbesar yaitu 59% dari keseluruhan pembiayaan di bank syariah[12]
Dari berbagai
pengertian diatas, maka penulis dapat menimpulkan bahwa pembiayaan musyarakah
adalah suatu kerjasama antara pihak bank dan nasabah, dimana masing-masing
memiliki dana, dan dana tersebut dikelola oleh nasabah untuk melaksanakan suatu
usaha tertentu berdasarkan prinsip syariah dimana keuntungan dan kerugian
berdasarkan proporsi modal yang dimilki dan disepakati.
Tampak jelas bahwa
pembiayaan bank syariah berbasis bagi hasil masih minim dibandingkan dengan
pembiayaan berbasis jual beli. Sementara masyarakat lebih mengenal bank syariah
sebagai bank yang berbasis bagi hasil sebagai solusi atas bank berbasis bunga.
Oleh karena itu perlu
dikaji implementasi pembiayaan mudharabah
pada bank syariah, apa yang menjadi kendala dalam implementasinya
serta bagaimana solusi mengatasi kendala dalam implementasi mudharabah di bank syariah.
Metodologi Tujuan
Tujuan penelitian
adalah menganalisis alternatif solusi dalam mengatasi kendala implementasi mudharabah pada produk
pembiayaan bank syariah. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan
pertimbangan dalam mengatasi kendala pembiayaan berbasis mudharabah pada bank syariah.
Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah
hasil-hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pembiayaan mudharabah. Data primer berupa jurnal
dan prosiding seminar. Data sekunder berupa buku teks, statistik perbankan
syariah dan informasi dalam website yang membahas pembiayaan mudharabah.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui dokumentasi. Metode dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data
berupa jurnal dan prosiding yang berkaitan dengan pembiayaan mudharabah.
Analisis Data
Data diolah dengan pendekatan kualitatif
deskriptif eksploratif. Penelitian ini merupakan kepustakaan (library
research) yang pengkajiannya dilakukan secara eksploratif.
Hasil dan Pembahasan Implementasi
Pembiayaan Mudharabah di
Bank Syariah
Islam memosisikan kegiatan ekonomi sebagai salah
satu aspek penting untuk mendapatkan kemuliaan (falah), dan karenanya
kegiatan ekonomi-sebagaimana kegiatan lainnya-perlu dituntun dan dikontrol agar
berjalan seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan[13]
Diantara inovasi keuangan yang ada pada perbankan syariah adalah produk
pembiayaan dengan skema mudharabah.
Namun Bank Indonesia menyebutkan bahwa produk utama perbankan syariah yang
umumnya ditawarkan menggunakan skema debt based financing (murabahah dan
ijarah)[14]
Hingga Desember 2014 produk pembiayaan perbankan syariah yang paling besar
proporsinya adalah produk murabahah
(59% total pembiayaan), sedangkan ijarah 6%[15]
Bagi perbankan, produk-produk tersebut juga menjadi produk favorit bank,
dikarenakan skema transaksinya yang mudah diterapkan dan tidak berisiko tinggi Murabahah dianggap sebagai
salah satu produk yang banyak dikritisi akademisi karena dalam skema ini, tidak
terjadi sharing risiko antara bank dengan nasabah. Risiko sepenuhnya
ditanggung oleh nasabah, sedangkan bank syariah relatif aman dari risiko[16]
Para teoritikus perbankan Islam mengemukakan
aktivitas investasi dalam bank Islam didasarkan pada dua konsep yang legal,
yaitu mudharabah dan musyarakah, sebagai alternatif dalam
menerapkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing/PLS). Teori ini
menyatakan, bahwa bank Islam akan memberikan sumber pembiayaan (finansial) yang
luas kepada peminjam (debitur) berdasarkan atas bagi risiko (baik menyangkut
keuntungan maupun kerugian), yang berbeda dengan pembiayaan (finansial) sistem
bunga pada dunia perbankan konvensional yang semua risikonya ditanggung oleh
pihak peminjam (debitur)[17]
Konsep bagi hasil,
dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat
mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan.
Secara definitif, aktivitas bagi hasil adalah sebuah
usaha yang dibangun berdasarkan kesepakatan antara pemodal dan pengusaha untuk
memberikan pembagian hasil berdasarkan persentase tertentu dari hasil usaha[18]
Kesepakatan ini dilakukan secara adil dan
transparan. Adil artinya setiap pihak mendapatkan bagi hasil sesuai dengan
kontribusi yang diberikannya, baik modal, keterampilan maupun tenaga, sementara
transparan diartikan bahwa pemodal dan pengusaha saling mengetahui jumlah bagi
hasil yang diperolehnya dan perkembangan
usaha itu sendiri.
Mudharabah adalah
suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga
kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya
dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedangkan kerugian ditanggung
oleh pemilik modal[19]
Seharusnya, dalam kondisi ideal perekonomian, akad mudharabah dan musyarakah
dengan skema profit loss sharing adalah yang sebaiknya paling
banyak diimplementasikan oleh perbankan syariah karena skema profit loss
sharing ini membagi risiko antara bank dan nasabah Sehingga ketika
perekonomian sedang menurun, potensi terjadinya kredit macet secara sistemik
dapat dihindari atau diminimalisir. Skema profitloss sharing juga
dianggap lebih unggul karena banyak digunakan untuk sektor produktif. Al
mudharabah biasanya diterapkan pada produk pembiayaan dan pendanaan[20]
Dari penjelasan diatas rendahnya pembiayaan
dengan skema bagi hasil pada bank syariah menunjukkan bank syariah masih belum
mampu menempatkan diri pada posisi yang siap melakukan sharing risk dengan
nasabahnya. Dominasi pembiayaan skema jual beli (murabahah) pada sisi
yang lain menunjukkan bahwa bank syariah masih pada posisi yang hanya siap
melakukan transfer risk ke pihak nasabahnya. Oleh karena itu agar bank syariah
dapat meningkatkan pembiayaan skema bagi hasil perlu diatasi kendala yang
berkaitan dengan implementasi pembiayaan skema bagi hasil pada bank syariah.
Kendala Pembiayaan Mudharabah
Bank enggan berpartisipasi pada instumen Profit
Loss Sharing (PLS) karena beberapa alasan, diantaranya adalah risiko intheren
pada bank, tambahan biaya monitoring, kurangnya transparansi dan
keengganan para deposan untuk mengambil risiko[21]
Pada penerapan skema mudharabah di produk
pembiayaan, diantara problemnya pada operasional perbankan Islam adalah sebagai
berikut:
standar
moral, ketidakefektifan model pembiayaan bagi hasil, berkaitan dengan para
pengusaha, segi biaya, segi teknis, kurang menariknya sitem bagi hasil dalam
aktivitas bisnis, serta permasalahan efisiensi[22]
Sedangkan musyarakah bukan
sesuatu yang umum dalam portofolio bank Islam, karena bank umumnya berfungsi
sebagai lembaga intermediasi bukan untuk berpartisipasi dalam bisnis sebagai
mitra bisnis atau mendasarkan pembiayaan berbasis ekuitas[23]
Salman Ahmed Shaikh (2011) mengemukakan bahwa
intermediasi keuangan dapat dilakukan melalui equity financing[24]
Hal ini dapat
meringankan dari sisi keuangan dan menjadi pembeda atas utang berbasis
pembiayaan komersial, serta ada sedikit ruang untuk menunjukkan perbedaan atas
pembayaran utang yang jumlahnya telah ditetapkan di depan.
Agency
problem dan moral hazard menjadi tantangan dalam menerapkan Islamic
equity financing. Masalah agency dalam kontrak mudharabah dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, misalnya : penggunaan biaya proyek yang berlebihan, penahanan
keuntungan yang akan dibagikan kepada pemilik modal, dan berbagau kecurangan
yang dapat mengurangi laba atau aset perusahaan (Muhammad, 2005). Dengan melakukan
simulasi, penelitian Shaikh menganalisis agency problem dalam mudharabah dan dampaknya terhadap
imbalan secara ekonomi diantara para pihak yang bermitra. Berdasarkan penelaanya,
Shaikh menyajikan dua kemungkinan perjanjian yang dapat membuat model pembiayaan
mudharabah lebih
diterima dan secara luas digunakan dalam intermediasi keuangan yaitu dengan dua
perjanjian yang dapat dilakukan : a) Mudharib
diminta untuk memberikan kontribusi modal. b) Mudharib diminta untuk berbagi
dalam kerugian sampai batas tertentu Kedua perjanjian tersebut akan dapat
meminimalisir masalah adverse selection, moral hazard dan principal-agent
conflict. Kesimpulan penelitian Shaikh adalah bahwa dengan adanya
perjanjian, maka equity financing dapat digunakan secara lebih luas. Namun
menurut Shaikh masih terjadi ironi dimana nilai-nilai Islam seperti keadilan (justice),
persamaan (equality), kebenaran (truth), kepercayaan (trust),
kebaikan (kindness), kejujuran (honesty) dan pertanggungjawaban (responsibilty)
yang sering disebut dalam literatur dan seminar-seminar ekonomi Islam, dalam
kenyataan, kurangnya nilai-nilai tersebut dalam praktik adalah alasan utama
mengapa mode partisipatif tetap tidak dapat digunakan. [25]
Peluang Pembiayaan Mudharabah
Disamping kendala, ada
juga peluang untuk mengembangkan pembiayaan skema mudharabah di Indonesia yaitu kerjasama antara bank
syariah dengan Baitul Mal wa Tamwil
(BMT). Hasil penelitian Zaenuri (2014) pada kemitraan yang
telah terbangun dan belum terbangun antara BMT dan bank syariah di Jawa Tengah
menunjukkan bahwa pola kerjasama antara BMT dengan bank syariah cukup
bervariasi dengan akad yang dipakai bervariasi pula[26]
Bentuk model yang
dipakai pada dasarnya hasil negosiasi kedua belah pihak dengan memperhatikan
kepentingan masing-masing.
Model executing adalah
yang paling banyak dipakai dimana bank syariah memberi pembiayaan kepada BMT
dan BMT menyalurkan dana tersebut atas nama BMT sendiri dengan segala untung
dan risikonya. Hanya sedikit yang memakai pola channeling dimana BMT
hanya menjadi penyalur pembayaran bank kepada para nasabah kredit mikro
perbankan. Dari segi kemitraan ideal BMT dan bank syariah, diketahui bahwa
harapan BMT mengenai kerjasama kemitraan dengan bank syariah antara lain adalah
model kerjasama dan kemitraan yang paling dibutuhkan oleh BMT adalah yang
dirasa lebih syariah, misalnya memakai mudharabah
bukan murabahah.
Kesesuaian syariah ini diindikasikan dengan keadilan porsi bagi hasil yang
mendekati teori ideal. Penentuan bagi hasil hendaknya ditentukan berdasarkan
proyeksi usaha dan pengalaman masa lalu.
Hasil penelitian
tersebut juga mengungkapkan alasan kemitraan BMT dengan bank syariah adalah menambah
modal kerja dan memenuhi kebutuhan pembiayaan dan likuiditas untuk para
anggotanya, kebutuhan untuk membangun sarana prasarana fisik, membangun sinergi
dan jejaring organisasi serta kelembagaan sehingga akses menjadi lebih mudah
dalam pengembangan serta keinginan untuk meningkatkan kualitas SDM.
Pilihan kerjasama BMT
dengan bank syariah didorong oleh alasan-alasan:
(a) memiliki kesamaan prinsip dalam pembiayaan (b)
memiliki kesamaan komitmen perjuangan ekonomi syariah (c) dapat menjadi mitra
pendamping dalam memajukan dan mengembangkan BMT. Peluang pengembangan
pembiayaan mudharabah pada bank syariah masih terbuka mengingat di
Indonesia juga banyak tumbuh UMKM yang masih membutuhkan campur tangan pihak
luar dalam hal permodalan khususnya, untuk pengembangan usahanya. Pola
pembiayaan mudharabah antara bank syariah dengan UMKM tentu akan sangat
membantu industri kecil akan berkembang[27]
Mengatasi Kendala dalam Implementasi
Pembiayaan Mudharabah
Berdasarkan hasil
penelitian Muhammad (2005) bahwa untuk mengatasi kendala dalam pembiayaan
mudharabah, maka dapat dilakukan halhal sebagai berikut:
(1) Jika shahibul mal/pemilik proyek/principal
sebelum melakukan kontrak pembiayaan mudharabah dengan mudharib/pelaku
proyek/agent melakukan penyeleksian atau screening atribut proyek
yaitu sistem informasi akuntansi, tingkat return bisnis, tingkat risiko
minimal, biaya pemantauan rendah, adanya kepastian hasil yang diharapkan,
aturan (klausul) pengawasan, jangka waktu kontrak, jaminan yang dimiliki, tingkat
kesehatan proyek, dan prospek proyek.; maka proyek tersebut akan mengandung
masalah agency rendah.
(2) Jika shahibul mal/pemilik proyek/principal
sebelum melakukan kontrak pembiayaan mudharabah dengan mudharib/pelaku
proyek/agent melakukan penyeleksian atau screening secara ketat
terhadap atribut-atribut mudharib yaitu : kefamiliaran terhadap pasar,
mampu mengoreksi risiko, kelangsungan usaha/proyek yang dimilki, kemampuan
mengartikulasi bahasa proyek, lama usia proyek, track record,
rekomendasi pihak lain, proyek milik sendiri, berasal dari keluarga pebisnis,
memiliki laporan keuangan, memiliki keahlian di bidang usahanya, memiliki
komitmen terhadap janji, serta ada hubungan historis dengan shahibul mal maka
diharapkan masalah agency dalam kontrak mudharabah yang dijalani
bank syariah terjadi secara minimal.
(3) Kepatuhan shahibul mal terhadap ketentuan
syariah dalam kontrak mudharabah dapat digunakan untuk meminimalkan
masalah agency dalam pembiayaan mudharabah di bank syariah.
(4) Semakin ketat dalam menerapkan incentive
compatible constraints yang baik dapat digunakan untuk memperkecil
terjadinya masalah agency dalam kontrak mudharabah di bank
syariah. Sebelas variabel incentive compatible constraints yaitu : screening
atribut mudharabah, screening atribut proyek, kepatuhan shahibul
mal atas syariah, proporsi nisbah untuk nasabah, hadiah yang diberikan
kepada mudharib, denda yang dikenakan kepada mudharib, barang
jaminan yang diberikan kepada nasabah, bisnis dengan risiko rendah, pelaksanaan
audit, batas minimum profit margin, dan pengawasan rutin
Sementara Karim mmenjelaskan,
bahwa untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko asimetrik informasi (moral
hazard), maka bank syariah menerapkan batasan-batasan tertentu ketika
menyalurkan pembiayaan kepada mudharib:
1. menerapkan batasan agar porsi modal
dari pihak mudharib-nya lebih
besar dan /mengenakan jaminan.
2. Menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang
risiko operasinya lebh rendah.
3. Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis
dengan arus kas yang transparan.
4. menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang
biaya tidak terkontrolnya rendah. Batasan atau syarat tersebut di atas
merupakan bagian dari proses monitoring dan supervisi bank syariah atas
pembiayaan mudharabah yang
disalurkan. Dengan demikian pembiayaan dengan skema mudharabah dapat diimplementasikan dengan risiko yang
dapat diminimalisir oleh pihak bank syariah apabila bank syariah secara ketat
menerapkan batasan-batasan kepada calon mudharibnya[28]
Kesimpulan
Bank syariah akan lebih
ideal apabila menyalurkan pembiayaan dengan skema bagi hasil kepada nasabahnya
sehingga bank syariah akan berbagi risiko (sharing risk) dengan para
nasabah penerima pembiayaan, bukan transfer risk sebagaimana yang terjadi
pada pembiayaan berbasia jual beli. Ada agency problem dan moral
hazard yang melekat pada pembiayaan berbasis agi hasil. akan tetapi ada dua
perjanjian yang dapat dilakukan untuk mengatasi agency problem : (1) Mudharib diminta untuk memberikan
kontribusi modal. (2) Mudharib diminta
untuk berbagi dalam kerugian sampai batas tertentu. Untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya moral hazard, maka bank syariah menerapkan
batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib yaitu menerapkan batasan
agar porsi modal dari pihak mudharib-nya
lebih besar dan /mengenakan jaminan, menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang
risiko operasinya lebh rendah, menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
DAFTAR
PUSTAKA
UU No 10 Tahun 1998
.... pasal 6 huruf m
Mohammad Omar Farooq, “Partnership
Equity...”, hlm.70
Abdullah Saeed, Menyoal
Bank Syariah : Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj.
Arif Maftuhin (Jakarta : Paramadina, 2004) hlm.181
Erni Susana dan Annisa
Prasetyanti, “Pelaksanaan dan Sistem Bagi Hasil Pembiayaan Al Mudharabah Pada
Bank Syariah”, Jurnal Keuangan dan Perbankan Islam, Volume 15, No. 3,
September 2011, hlm. 468
Direktorat
Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kajian Model Bisnis Bank Syariah,
2012, hlm. 53
Muhammad, 2006, Teknik dan Strategi: Pembuatan Kontrak
dalam Praktik Perbankan Syariah tanggal 20-21 Mei 2006 Yogyakarta: BASYARNAS
Mohd. Ma’sum Billah, Penerapan
Manajemen Aset Islami; Alih Bahasa Erman Rajagukguk dan Akhmad Safik
(Selangor, Sweet and Maxwell Asia, 2010), hlm. 30-31
Bank Indonesia,
Statisitk Perbankan Syariah per Desember 2014
Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas
kerjasama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, Ed. 1 Cet. 3. (Jakarta :
Rajawali Press, 2011), hlm. 16
Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia, “Kajian Model.....”. hlm. 62
Bank Indonesia,
Statistik Perbankan Syariah per Desember 2014
Direktorat Perbankan
Syariah Bank Indonesia, “Kajian Model...”. hlm. 62
Abdullah Saeed,
“Menyoal Bank...”, hlm 76.
Umi Karomah Yaumiddin
(Ed). Usaha Bagi Hasil : Antara Teori dan Praktik, Cetakan Pertama
(Bantul : Kreasi Wacana, April 2010), hlm 3
Jusmaliani, dalam Umi
Karomah Yaumiddin (Ed), “Usaha Bagi...” hlm 3
H.R Daeng Naja, 2005,Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers
Hand Book), PT Citra Aditya Bakti, Bandung
Irawan Febianto dan
Rahmatina A. Kasri, “Why do....”, hlm. 5
Muhammad, Konstruksi
Mudharabah dalam Bisnis Syariah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik
Ekonomi Modern, Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta : BPFE, 2005),
hlm. 108-112
ohammad
Omar Farooq, Partnership, Equity...., hlm. 82
Salman Ahmed Shaikh. A
Critical Analysis of Mudarabah & New Approach to Equity Financing in
Islamic Finance, Journal of Islamic Banking and Finance, Vol. 28,
No. 3, 2011
Kasmir, 2004,Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal 3.
Wahab Zaenuri, Persepsi
Kelembagaan dan Model Kemitraan antara Bank Syariah dan BMT di Jawa Tengah,
dalam Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum Riset Keuangan Syariah 2014, Otoritas
Jasa Keuangan-Institut Pertanian Bogor, 14-16 Oktober 2014,hal 63-114
Adiwarman A. Karim. “Incentive
Compatible Constraints for Islamic Banking Some Leasons From Bank Muamalat”.
Conference Papers. Fourth International Conference on Islamic Economics
and BankingLoughborough University, UK, August 13-15, 2000
Muhammad Syafii
Antonio, “Bank Syariah...”, hlm. 96
[1] UU No 10 Tahun 1998 .... pasal 6 huruf m
[2] Ibid, pasal 1 angka 12
[3] Mohammad Omar Farooq, “Partnership
Equity...”, hlm.70
[4] Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah :
Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin
(Jakarta : Paramadina, 2004) hlm.181
[5] Ibid, hlm 76.
[6] Erni Susana dan Annisa Prasetyanti,
“Pelaksanaan dan Sistem Bagi Hasil Pembiayaan Al Mudharabah Pada Bank Syariah”,
Jurnal Keuangan dan Perbankan Islam, Volume 15, No. 3, September 2011,
hlm. 468
[7] Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Kajian
Model Bisnis Bank Syariah, 2012, hlm. 53
[8] Muhammad, 2006, Teknik dan Strategi: Pembuatan Kontrak dalam Praktik Perbankan
Syariah tanggal 20-21 Mei 2006 Yogyakarta: BASYARNAS
[9] Mohd. Ma’sum Billah, Penerapan Manajemen
Aset Islami; Alih Bahasa Erman Rajagukguk dan Akhmad Safik (Selangor, Sweet
and Maxwell Asia, 2010), hlm. 30-31
[10] Ibid, hlm. 31
[11] Bank Indonesia, Statisitk Perbankan Syariah
per Desember 2014
[12] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerjasama dengan Bank
Indonesia, Ekonomi Islam, Ed. 1 Cet. 3. (Jakarta : Rajawali Press,
2011), hlm. 16
[13] Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, “Kajian
Model.....”. hlm. 62
[14] Bank Indonesia, Statistik Perbankan Syariah
per Desember 2014
[15] Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia,
“Kajian Model...”. hlm. 62
[16] Abdullah Saeed, “Menyoal Bank...”, hlm 76.
[17] Umi Karomah Yaumiddin (Ed). Usaha Bagi
Hasil : Antara Teori dan Praktik, Cetakan Pertama (Bantul : Kreasi Wacana,
April 2010), hlm 3
[18] Jusmaliani, dalam Umi Karomah Yaumiddin (Ed),
“Usaha Bagi...” hlm 3
[19] Ibid, hlm 12
[20] H.R Daeng Naja, 2005,Hukum Kredit dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book), PT Citra
Aditya Bakti, Bandung
[21] Irawan Febianto dan Rahmatina A. Kasri, “Why
do....”, hlm. 5
[22] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam
Bisnis Syariah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta : BPFE, 2005), hlm. 108-112
[23] ohammad Omar Farooq, Partnership,
Equity...., hlm. 82
[24] Salman Ahmed Shaikh. A Critical Analysis of
Mudarabah & New Approach to Equity Financing in Islamic Finance, Journal
of Islamic Banking and Finance, Vol. 28, No. 3, 2011
[25] Kasmir, 2004,Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 3.
[26] Wahab Zaenuri, Persepsi
Kelembagaan dan Model Kemitraan antara Bank Syariah dan BMT di Jawa Tengah,
dalam Kumpulan Hasil Riset Terbaik Forum Riset Keuangan Syariah 2014, Otoritas
Jasa Keuangan-Institut Pertanian Bogor, 14-16 Oktober 2014,hal 63-114
[27] Adiwarman A. Karim. “Incentive Compatible
Constraints for Islamic Banking Some Leasons From Bank Muamalat”. Conference
Papers. Fourth International Conference on Islamic Economics and
BankingLoughborough University, UK, August 13-15, 2000
[28] Muhammad Syafii Antonio, “Bank Syariah...”,
hlm. 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar