Rabu, 25 Januari 2017

Manajemen Kinerja Lembaga Pengelolaan Amil Zakat di Indonesia



Manajemen Kinerja Lembaga Pengelolaan Amil Zakat di Indonesia”
Sulvita Sri Devi (01.133.125)
Jurusan Syariah, Prodi Ekonomi Syariah Semester VII, Kelompok 5
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone.
Email: Vithaitha22@gmail.com


ABSTRAK
Penulis dalam penyajian karya tulis ilmiah ini mengemukakan tentang hal-hal yang berkaitan OPZ. Tentunya perlu kita ketahui bahwa Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ) di Indonesia terdiri dari Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan amil zakat didirikan oleh pemerintah , sedangkan lembaga amil zakat didirikan oleh masyarakat. Tentunya dalam OPZ sangat memerlukan manajemen kinerja yang memiliki profesionalisme untuk melakukan aktivitas dalam Menghimpun/mengumpulkan, sampai dengan Pendistribusian Zakat, sehingga sangat membutuhkan manajemen kinerja yang baik guna memberikan pelayanan kepada para Muzakki karena sistem Zakat di Indonesia yang masih sukarela. Dalam hal pelayanan tentunya OPZ memerlukan kepercayaan dari Masyarakat dalam hal pengelolaan zakat sehingga OPZ sangat membutuhkan Akuntabilitas dimana yang dimaksud akuntabilitas yaitu sistem akuntansi yang mengelola keuangan dari sebuah OPZ yang kemudian di perlihatkan kepada Masyarakat umum secara transparansi agar meningkatkan kepercayaan publik.
Kata Kunci: Zakat, Manajemen Kinerja, Akuntabilitas, Transparansi, dan Kepercayaan publik.

PENDAHULUAN

Berdasarkan SURVEY IPB & BAZNAS Potensi Zakat Indonesia 2011 210 Triliun + dana zakat yang di ikelola BAZ/LAZ 10% (21 Triliun +) dana zakat  terpendam di masyarakat 189 Triliun +, dan berdasarkan SURVEY IPB & BAZNAS Potensi Zakat Indonesia 2012, terdapat  Rp. 212 Triliun +. Dana Zakat Dikelola BAZ/LAZ, 12% (25,44 Triliun +). dana zakat terpendam di masyarakat 186,56 triliun +.[1]
Riset yang dilakukan BAZNAS dan FEM IPB (2011) dari 345 responden didapatkan 27,2 % responden membayarkan zakatnya melalui Lembaga Amil Zakat, dan 72,8 % responden membayarkan zakatnya langsung kepada mustahik. Alasan utama  seseorang  membayar zakat di Lembaga Amil Zakat adalah transparansi, profesionalitas, akses, kenyamanan, kemudahan, lingkungan, dan kepuasan. Adapun alasan seseorang membayar zakat langsung kepada mustahik yankni kemudahan, lingkungann dan kepuasan.
Berdasarkan Riset BAZNAS dan FEM IPB (2011) tersebut, salah satu alasan  utama seseorang membayar zakat di Lembaga Amil Zakat adalah karena adanya faktor kepuasan, dalam arti kepuasan atas kinerja lembaga amil zakat. Sementara, kinerja Lembaga Amil  Zakat  dapat diukur dengan mengukur kualitas pelayanan yang diberikan oleh lembaga kepada customer atau bias disebut dengan service quality  (serqual). [2]
Sungguh, negara Indonesia yang begitu luas dengan jumlah penduduk begitu banyak dan potensi zakat begitu besar membutuhkan banyak eksekutif zakat dan OPZ yang benar-benar berkualitas. [3] Namun dalam sistem pembayaran zakat yang masih secara sukarela, faktor kepercayaan wajib zakat kepada amil zakat menjadi faktor yang sangat krusial, Sehingga untuk tetap meningkatkan suatu pelayanan diupayakan untuk memperbaiki manajemen kinerja Lembaga Pengelolaan Zakat atau OPZ dengan memberikan penilaian terhadap kinerja Lembaga Pengelolaan zakat berdasarkan pada transparansi,akuntabilitas , dan Kepercayaan publik.
Berdasarkan latar belakang diatas tentunya penulis memiliki pertanyaan terkait dengan hal tersebut:
1. Bagaimana Manajemen Kinerja Lembaga Pengelolaan Zakat serta penilaian terhadap kinerja?
2. Bagaimana bentuk transparansi, akuntabilitas , dan Kepercayaan publik pada Lembaga Pengelolaan Zakat di Indonesia?
 
PEMBAHASAN

1. Manajemen Kinerja Lembaga Pengelolaan Zakat
Manajemen kinerja adalah manajemen tentang menciptakan hubungan dan memastikan komunikasi yang efektif. Manajemen kinerja memfokuskan pada apa yang diperlukan oleh organisasi manajer dan pekerja untuk berhasil. Manajemen kinerja adalah tentang bagaimana kinerja dikelola untuk memperoleh sukses. Kinerja berasal dari pengertian performance. Adapula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung. Manajemen Kinerja terdapat beberapa pandangan para pakar tentang pengertian Manajemen Kinerja. Bacal (1999:4) memandang manajemen kinerja sebagai proses komunikasi  yang dilakukan secara terus-menerus dalam kemitraan antara karyawan dengan atasan langsungnya. [4]Berdasarkan menurut Amstrong (2009: 9) lebih menekankan kedudukan manajemen kinerja sebagai proses sistematis untuk memperbaiki kinerja, bukan hanya sebagai sarana untuk mendapatkan hasil lebih baik. [5]
Dari pengertian lain menurut Denisi, 2000 Manajemen Kinerja adalah suatu rentang dari praktik organisasi terikat kinerja atau dari target orang atau kelompok dengan tujuan akhir memperbaiki kinerja organisasional. [6]
Jadi Manajemen kinerja pada dasarnya adalah proses kinerja untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu zakat perlu dikelola dengan mekanisme manajemen yang tersusun secara sistematis dan  rapi. Organisasi/ lembaga pengelolaan zakat perlu managemen yang bagus layaknya suatu badan usaha yang bergerak dalam  bisnis. Namun, tetap saja berbeda konteksnya bagi penyalur  zakat  karena  organisasi ini tidak berhak untuk bergerak dalam  usaha yang  menanggung profit. Dengan demikian, sistem manajerial dalam lembaga penyaluran  zakat berbeda dengan badan usaha pada umumnya. Sistem manajemen itu dapat dilihat secara umum melalui struktur organisasi pengelola zakat.
Lembaga Pengelolaan Zakat berdasarkan UU RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat Bab III pasal 6 dan pasal 7 menyatakan bahwa lembaga pengelolaan zakat diindonesia terdiri dari dua macam, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Badan amil zakat didirikan oleh pemerintah , sedangkan lembaga amil zakat didirikan oleh masyarakat. Dalam buku petunjuk teknis pengelolaan zakat yang dikeluarkan oleh institut Manajemen Zakat (2001)dikemukakan susunan organisasi lembaga pengelolaan zakat seperti lembaga pengelolaan zakat seperti Badan Amil Zakat sebagai berikut.
1. Susunan Organisasi Badan Amil Zakat, adapun susunannya yaitu:
a. Badan amil zakat terdiri atas Dewan Pertimbangan, Komisi, Pengawas dan Pelaksanaan.
b. Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekertaris dan anggota.
c.  Komisi pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekertaris dan anggota.
d. Badan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi unsur ketua, sekertaris, bagian keuangan, bagian pengumpulan, bagian pendistribusian dan pendayagunaan.
e. Anggota pengurus amil zakat terdiri atas unsur masyarakat dan unsur pemerintah. Unsur masyarakat terdiri atas unsur ulama, kaum cendekia tokoh masyarakat, tenaga profesional dan lembaga pendidikan yang terkait.
2. Fungsi dan Tugas Pokok Pengurus Badan Amil Zakat (BAZ).
a. Dewan Pertimbangan.
1. Fungsinya yaitu memberikan pertimbangan, fatwa, saran, dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas dalam dalam pengelolaan Badan Amil Zakat, meliputi aspek syariah dan aspek manajerial.
2. Tugas pokoknya, yaitu: (a) memberikan garis-garis kebijakan Badan Amil Zakat. (b) Mengesahkan rencana kerja dari Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas. (c) Mengeluarkan fatwa syariah baik diminta maupun tidak berkaitan dengan hukum zakat yang wajib diikuti oleh pengurus Badan Amil Zakat. (d) Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksanaan dan Komisi Pengawas baik diminta maupun tidak. (e) Memberikan persetujuan atas laporan tahunan hasil kerja Badan Pelaksana dan Komisi Pengawas.
b. Komisi Pengawas
1.  Fungsinya sebagai Pengawas internal lembaga atas laporan kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana.
2.  Tugas pokoknya, yaitu (a) Mengawasi  pelaksanaan  rencana kerja yang telah di sahkan. (b) Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah di tetapkan dewan pertimbangan.(c) Mengawasi operasional kegiatan yang di laksanakan badan pelaksana,yang mencangkup pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan. (d) Melakukan pemeriksaan operasional dan pemeriksaan syariah..
c. Badan Pelaksana
1.    Fungsi sebagai pelaksana pengelolaan zakat.
2. Tugas pokok (a). Membuat rencana kerja. (b) Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan  yang telah di tetapkan . (c) Penyusunan laporan tahunan. (d) Menyampaikan laporan bertanggung jawab kepada pemerintah. (e) Bertindak dan bertnaggung  jawab  untuk dan atas nama Badan Amil Zakat ke dalam maupun ke luar. [7]
Dengan mencermati struktur tersebut , ini berarti lembaga pengelola zakat sudah seperti layaknya badan usaha yang memiliki struktur organisasi yang rapi. Lembaga pengelola jika benar-benar menjalankan sistematika tersebut maka lembaga zakat adalah lembaga yang mengarah pada profesionalisme kerja. Profesionalisme itu sangatlah bagus sebagai sarana untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat untuk menaruh zakatnya ini. Zakat yang dapat dihimpun dari masyarakatpun kemudian akan bisa terkelola dan tersalurkan secara lebih tepat sasaran dalam upaya penciptaan kemaslahatan umat.
Zakat  memerlukan pengelolaan yang baik, karena zakat merupakan sumber dana potensial, yang dapat dimanfaatkan sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. [8] Hal lain yang menonjol yang dikemukakan dalam buku fiqh zakat tersebut adalah bahwa zakat itu harus dikelola oleh amil (lembaga) yang profesional, amanah, bertanggung jawab, memiliki pengetahuan yang memadai tentang zakat, dan memiliki waktu yang cukup untuk mengelolanya (misalnya untuk melakukan sosialisasi, pendataan muzakki dan mustahiq, dan penyaluran yang tepat sasaran, serta pelaporan yang transparan). [9] Dan juga berdasarkan menurut Adnan (2001), setidaknya ada dua penyebab rendahnya tingkat kontekbilitas dana zakat di Indonesia. Pertama, masih rendahnya penge pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang zakat. Hala ini terjadi karena lemahnya proses sosialisasi serta proses pendidikan agama yang kurang menekankan akan pentingnya zakat dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, terletak pada aspek kelembagaan zakat. Aspek kelembagaan zakat. Aspek kelembagaan zakat ini bersumber dari variabel dan profesionalisme organisasi pengelola zakat. [10]
Unsur-unsur manajemen Lembaga Zakat dlm mengelola zakat: (a) organisasi, (b) koordinasi, (c) aparatur, (d) perencanaan, (e) motivasi, (f) budgetting, (g) penetapan prosedur, tranparansi dan akuntabilitas. [11]
Unsur-unsur manajemen Lembaga Zakat dalam mengelola zakat :
(1)Organisasi,  sebagai suatu wadah atau tempat manajemen itu akan berperan aktif . organisasi tanpa manajemen yang baik akan mengakibatkan rutinitas organisasi tidak dapat bertahan lama. Organisasi dibutuhkan dalam pengelolaan zakat agar supaya dalam kegiatan, pengorganisasian , pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan , dan pendistribusian, serta pendayagunaan zakat dapat terorganisir secara efektif sesuai dengan struktur organisasi yang memiliki tugas masing-masing.
(2)Koordinasi,  merupakan suatu “pengaturan/ penataan” beragam elemen kedalam suatu pengoperasian yang terpadu dan harmonis. Kesuksesan koordinasi akanmenciptakan keharmonisan dan keselarasan seluruh kegiatan untuk mencapai tujuan yang diharapkan, sehingga beban tiap bagian menjadi serasi, selaras dan seimbang. Sebagai satu tujuan manajemen koordinasi merupakan fungsi pengikat, penyeimbang dan penyelaras semua aktifitas dan usaha, maka dapat disimpulkan bahwa setiap fungsi manajemen pasti memerlukan fungsi koordinasi. Kebutuhan akan organisasi tidak dapat dihindari karena setiap organisasi pasti mempunyai unit-unit atau satuan-satuan organisasi yang mempunyai fungsi berrbeda-beda tetapi mempunyai hubungan yang saling ketergantungan. Bertambah banyaknya berbagai LAZ dan BAZ bisa berdampak tidak baik, yakni lemahnya pengawasan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga zakat, untuk itu dibbutuhkan koordinasi yang terintegratif agar menjaga profesionalisme dan akuntabilitasnya.
(3)Aparatur,  adalah orang-orang serta lembaga yang mempunyai peranan strategis dalam menyelenggarakan tugas-tugas umum. Berdasarkan pembahasan tadi terdapat struktur organisasi dalam OPZ yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing itulah para aparatur yang terdapat didalam OPZ.
(4)Perencanaan, adalah proses dasar manajemen untuk menentukan tujuan dan langkah-langkah yang harus dilakukan agar tujuan dan langkah-langkah yang harus dilakukan agar tujuan dapat tercapai. Perencanaan memberikan informasi untuk mengkoordinasikan pekerjaan secara akurat dan efektif. Suatu rencana yang baik harus berdasaekan sasaran, bersifat sederhana, mempunyai standar, fleksibel, seimbang, dan menggunakan sumber-sumber yang tersedia dulu. Berdasar undang-undang Republik Indonesia No 38 tahun1999 tentang pengelolaan zakat, pengelolaan zakat adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat. rencana kerja disusun berdasarkan kondisi lapangan dan kemampuan sumber daya lembaga . dengan dimilikinya rencana kerja , maka aktivitas Organisasi Pengelolaan Zakat akan terarah. Hal tersebut merupakan perencanaan yang ditujukan kepada para segenap pengurus agar menjadi pedoman dan arah dari setiap kebijakan atau keputusan yang diambil sehingga lembaga zakat yang dibentuk memiliki arah dan sasaran yang jelas.
(5)Motivasi, menurut Jerald Greebberg dan Robert A.baron (2003:190) berpendapat bahwa motivasi merupakan serangkaian proses yang membangkitkan (arouse), mengarahkan (direst), dan menjaga (maintain) perilaku manusia menuju pada pencapaian tujuan. Membangkitkan berkaitan dengan dorongan atau energi dibelakang tindakan. Motivasi juga berkepentingan dengan pilihan yang dilakukan orang dan arah perilaku mereka. Sedangkan perilaku menjaga atau memelihara berapa lama orang akan terus berusaha untuk mencapai tujuan. [12] karena motivasi dan pola berzakat masyarakat muslim sangat mempengaruhi peningkatan zakat. Alasn berzakat adalah mengikuti ajaran agama karena zakat wajib sifatnya. Masayarakat berzakat pada pengelola zakat karena kepercayaan kepada OPZ. Semakin tinggi tingkatan sosial masyarakat, yang merupakan donatur potensial, maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan yang harus di pengelola zakat agar bisa mendapatkan dana zakat dari masyarakat.
(6)Budgetting atau penganggaran menunjukkan suatu proses sejak tahap persiapan yang diperlukan sebelum dimulainya penyususnan rencana, pengumpulan berbagai data dan informasi yang diperlukan, pembagian tugas perencanaan, penyusunan rencanaannya sendiri, inplementasi dari rencana tersebut sampai pada  akhirnya tahap pengawasan dan evaluasi dari hasil rencana tersebut. Hasil dari penganggaran (Budgetting) adalah anggaran (budget). Anggaran adalah alat bantu bagi manajemen dalam melaksanakan fungsinya dan merupakan pedoman dalam usaha bagi pencapaian dimasa yang akan datang, sebagai rencana dan sasaran tertentu, anggaran membadingkan hasil yang dicapai dengan rencana yang merupakan dasar pengendalian dan pengkoordinasian kegiatan dari seluruh bagian-bagian yang ada dalam suatu pemerintah. Dengan adanya suatu rencana maka seluruh kegiatan yang ada saling menunjang dan secara bersama menuju sasaran yang telah ditetapkan.
(7) Penetapan Prosedur dalam OPZ dapat menjaga konsistensi dalam menjaga prosedur kerja, dalam internal organisasi penetapan prosedur kerja memberikan manfaat dalam mengetahui peran dan posisi masing-masing. Meminimalisir kesalahan dalam melakukan pengumpulan,penghimpunan, penyaluran dan pendayagunaan zakat, serta membantu dalam melakukan pengevaluasian setiap proses operasional organisasi.
Akuntabilitas keuangan di OPZ sebgai organisasi non-profit yang menerima dari donor (muzakki), yang mengelola dan mendistribusikan dana mereka ke mustahiq (8kelompok orang yang memiliki hak dalam menerima dana zakat), OPZ harus memberikan laporan keuangan secara teratur sebgai bentuk tanggung jawab mereka untuk masyarakat, terutama untuk muzakki. [13] Adapun 8 kelompok orang dalam menerima dana zakat  dan juga perluasan sasaran sakat secara kontenporer, yaitu dapat dilihat dari tabel dibawah ini: 

Perluasan Sasaran Zakat
Konvensional
Kontenporer
·         Fakir
·         Miskin
·         Ibnu Sabil
·         Gharim
·         Amil zakat
·         Muallaf
·         Memerdekakan budak
·         Fii sabilillah
·         Fakir, miskin, yatim
·         Operasional Zakat
·         Membebaskan tawanan
·         Memerdekakan negara islam yang terjajahh.
·         Mahasiswa/Beasiswa belajar
·         Pembangunan RS, Masjid, Sarana Umat lainnya.
·         Dakwa kepada non Muslim.
·         Pemberdayaan ekonomi fakir miskin
·         Pembelian senjata perang
·         Dll.
Sumber: Manajemen zakat 2016.
Akuntabilitan, Menurut NCG (National Commite on Govermance) (dalam Sri Fadilah, 2012) prinsip akuntabilitas adalah prinsip bahwa pengelola berkewajiaban untuk membina sistem akuntansi yang efektif dalam rangka untuk menghasilkan laporan keuangan yang sangat dipercaya. Selain itu akuntabilitas juga mengandung unsur kejelasan funsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya.[14] menurut KNKG (2006) , transparansi merupakan kondisi dimana lembaga menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan . sedangkan menurut NCG (National Commite on Govermance) (dalam Sri Fadilah, 2012), para pengelola wajib menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan dalam penyampaian informasi. Keterbukaan  dalam menyampaikan informasi yang disampaikan harus lengkap, benar dan tepat waktu kepada semua pihak pemangku kepentingan. [15] kepercayaan publik merupakan hasil dari kombinasi manajemen antara profesional dan transparansi. Dan yang terahir  transparansi, Dengan transparannya pengelolaan zakat dalam organisasi, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja akan tetapi juga akan melibatkan pihak ekstern seperti para muzakkimaupun masyarakat secara luas. Dan dengan transparansi rasa kecurigaan dan ketidak percayaan masyarakat akan dapat di minimalisasi.

2. Akuntabilitas, Transparansi & Kepercayaan Publik
OPZ merupakan organisasi Nirlaba, berdasarkan Antonhy and Young (1998: 49) dalam laughlin (1990) mendefinisikan organisasi nirlaba sebagai “organisasi yang tujuannya adalah sesuatu diluar menerima keuntungan untuk para pemiliknya. Biasanya tujuannya adalah pemberi pelayanan”. Ini jelas berbeda dengan organisasi yang mencari keuntungan dan berjuang untuk keuntungan para pemiliknya (pemegang saham) yang telah memberi modal ekuitas yang selalu berharap untuk mendapatkan deviden sebagai pengembalian modal mereka. dalam hal praktik pertanggung jawaban keuangan, ada hubungan yang sangat jelas dan formal antara pemilik sebagai principal, dan manajemen sebagai agent, karena dalam konteks ini, pertanggung jawaban bersifat kontraktual. Sebaikya, sebagaimana dikemukakan Anthony dan Young (1988,59), “organisasi mirlaba tidak dapat mendapatkan modal ekuitas dari pada investor luar; kecuali modal ekuitasmereka didonasikan. Sebagai akibatnya, hubbungan pertanggung jawaban antara organisasi dan individu-individu yang mendonasikan harta benda mereka sangat kurang normal dan kurang terstruktur dibanding organisasi bisnis; bersifat komunal, meminam istilah Laughlin (1990).
Sebagai organisasi nirlaba, organisasi pengelolaan zakat juga memiliki karakteristik seperti organisasi nirlaba lainnya, yaitu:
a. Terikat dengan aturan dan prinsip-prinsip syariah Islam.
b. Sumber dana utama adalah zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf.
c. biasanya memiliki Dewan Syariah dalam struktur Organisasinya. [16]
Dalam konteks pengelolaan keuangan organisasi pengelolaan zakat kita harus melihat secara seksama terutama dalam mendefinisikan “pemilik” keuangan yang diamanahkan kepada organisasi pengelola zakat, memahami bahwa orang-orang yang telah mempercayakan amanahnya (muzakki)tersebut adalah anggota masyarakat muslim yang dengan ikhlas memberikan sumber dana kepada organisasi pengelola zakat atau OPZ untuk disalurkan kepada mustahik yang membutuhkan. Tentu saja harapan mereka, pada umumnya tsk tertulis dan implisit, tidak terikat dengn pengembalian materi atas dana-dana mereka seperti yang terjadi pada organisasi-organisasi bisnis. Akan tetapi mereka memperhatikan bagaimana pengelolaa pertanggungjawaban keuangan tersebut secara tepat sebagai mana dengan tuntutan dalam syariah. [17]
Akuntabilitas menjamin bagi masyarakat bagi masyarakat bahwa memiliki bahwa mereka memiliki kesempatan untuk mengetahui siapa dan bagaimana keputusan dibuat serta apa alasan yang mendasarinya. Pada saat yang sama, transparansi merujuk pada sikap terbuka seseorang kepada masyarakat agar mreka mendapatkan informasi yang  benar, jujur dan adil, seraya tetap mencermati hak-hak dasar dan kerahasiaan perusahaan selaku unsur  yang bekerja.
Dalam konteks ini, transparansi menjadi kontrol publik terhadap OPZ sehiningga transparansi dikaitkan dengan tingkat akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin. [18]
Dalam  sistem pembayaran zakat secara sukarela, faktor kepercayaan wajib zakat zakat kepada amil zakat menjadi faktor yang sangat krusial. Pengalaman lembaga-lembaga yang sukses menghimpun dana zakat secara sukarela umumnya membina hubungan secara personal. Dari kepercayaan publik umumnya membina hubungan secara personal. Dari kepercayaan publik yang sangat tinggi kepada lembaga. Lembaga-lembaga ini umumnya membina hubungan dengan donor, bahkan membina secara personal. Dari kepercayaan yang tinggi ini, lembaga-lembaga ini bahkan mampu menghimpun dana non  zakat dari donor dalam jumlah yang lebih besar dari zakat yang dibayarkan itu sendiri.
Kepercayaan publik dibangun diatas bukti-bukti yang profesional dan amanah. Kepercayaan tidak timbul atas janji-janji kosong atau tindakan-tindakan artifisial. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap OPZ merupakan hasil dari kombinasi manajemen profesional dan transparansi. Manajemen zakat yang modern dan profesional akan menghasilkan bahwa zakat dikelola secara efisien, tepat sasaran dan berdampak tinggi bagi penerima zakat dan masyarakat luas. Di sisi lain, hal ini dibuktikan dengan  transparansi operasional, keuangan dengan kegiatan, akuntabilitas OPZ terbentuk dan kepercayaan publik diraih.

Fading
“Spider”
III
Benefical
“Bee”
IV
Unreliable
“Mouse”
I
Prospective
“Buterfly”
II
Sumber: Indonesia Zakat dan Development Report 2009.

Gambar diatas mengilustrasikan kinerja OPZ terkait pengelolaan zakat dan transparansi serta hubungan dengan kepercayaan publik. OPZ deikuadran I (Unreliable) adalah OPZ yang mengelola zakat dengan pendekatan  tradisional tidak profesional. OPZ seperti ini umumnya akan besikap tidak transparan karena khawatir terbongkar keburukannya, OPZ seperti ini tidak mendapatkan kepercayaan publik.
OPZ deikuadran II (Prospective), mengelola zakat secara  profesional namun tidak berlaku transparan sehingga tidak mendapat dukungan publik memadai. Lembaga ini hanya membutuhkan peningkatan transparansi agar meraih kepercayaan publik dan akan segera bergeser ke kuadran ke IV. OPZ di kuadran ke III (fading), belum mengelola zakat secara profesional, namun karena uatu hal lain, memiliki akuntabilitas tinggi, jika hal ini terus berlangsung dalam waktu lama, kepercayaan publik memudar dan OPZ akan bergeser ke kuadran I. OPZ terbaik adalah OPZ yang berada di kuadran IV (benefical). OPZ seperti ini mengelola zakat secara profesional modern dan bersikap transparan. Dengan demikian akuntabilitas lembaga adalah tinggi. Dengan akuntabilitas ini, meraih kepercayaan publik adalah  suatu hal yang niscaya tinggal soal waktu belaka.

II. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan tersebut manajemen kinerja sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Namun, sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja tetapi termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung, tentunya berdasarkan manajemen yang berlaku pada Lembanga Pengelolaan Zakat atau Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). , yang terdiri dari Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Yang masing-masing memiliki aparat yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang pada dasarnya untuk mencapai tujuan Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). itu sendiri. Sehingga Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). diupayakan mampu menjalankan tugasnya dalam hal Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan zakat. Dalam manajemen Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). tentunya terdapat unsur-unsur yang masing-masing unsurnya saling berhubungan satu sama lainnya sehingga dalam manajemen kinerja lembaga pengelolaan zakat harus memperhatikan unsur-unsur tersebut agar supaya masyarakat lebih meningkatkan kepercayaannya kepada Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ).
Berasarkan pembahasan kedua dapat disimpulkan bahwa transparansi dan akuntabilitas merupakan hal yang kerap di tuntut oleh masyarakat dari sebuah lembaga publik. Masyarakat merasa perlu mengetahui aliran dana dan kinerja lembaga tersebut. Apakah sumber daya yang mereka serahkan telah digunakan secara benar atau tidak. Sebagai lembaga umat, Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). harus memiliki keduanya, yang merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada donatur. Berdasarkan pembahasan diatas manajemen kinerja Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). Dalam akuntabilitas dan transparansi sangat dibutuhkan untuk kepercayaan publik karena kepercayaan publik dibangun diatas bukti-bukti yang profesional dan amanah. Kepercayaan tidak timbul atas janji-janji kosong atau tindakan-tindakan artifisial. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ). merupakan hasil dari kombinasi manajemen profesional dan transparansi. Manajemen zakat yang modern dan profesional akan menghasilkan bahwa zakat dikelola secara efisien, tepat sasaran dan berdampak tinggi bagi penerima zakat dan masyarakat luas. Di sisi lain, hal ini dibuktikan dengan  transparansi operasional, keuangan dengan kegiatan, akuntabilitas Organisasi Pengelolaan Zakat (OPZ) terbentuk dan kepercayaan publik diraih.

  
REFERENSI

Gustian Djuanda dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006.
Hafidhuddin Didin dkk, The Power Of Zakat Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara  UIN-Malang Press: Malang, 2008.
Hafidhuddin Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern Gema Insani Press: Jakarta, 2002.
Huda Nurul dkk, Zakat Persfektif Makro-Mikro Kencana: Jakarta, 2015.
Indonesia Zakat dan Development Report 2009.
Indri Yuliafitri dan Nur Khoiriyah Asma, Jurnal Ekonomi Islam Vol.2, 2016
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia PT. Refika Aditama: Bandung, 2011.
Rifqi Muhammad, Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol.7, 2006.
Syafaruddin,  Manajemen zakat 2016.
Wibowoi, Manajemen Kinerja, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2014.


 



[1] Syafaruddin,  Manajemen zakat 2016.
[2] Nurul Huda dkk, Zakat Persfektif Makro-MIkro(Kencana: Jakarta, 2015) h.187.
[3] Didin Hafidhuddin dkk, The Power Of Zakat Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat Asia Tenggara  (UIN-Malang Press: Malang, 2008) h.110.
[4] Wibowoi, Manajemen Kinerja (PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2014) h.8.
[5] Ibid, h.9.
[6] Ibid.
[7] Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern (Gema Insani Press: Jakarta, 2002) h.130.
[8] Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (PT. Refika Aditama: Bandung, 2011) h.51.
[9] Didin Hafidhuddin dkk, The Power,... h.97.
[10] Rifqi Muhammad, Jurnal Akuntansi dan Investasi Vol.7, 2006.
[11] Syafaruddin,  Manajemen,...
[12] Wibowoi, Manajemen,... h.322.
[13] Rifqi Muhammad, Jurnal ,...
[14] Indri Yuliafitri dan Asma Nur Khoiriyah, Jurnal Ekonomi Islam Vol.2, 2016.
[15] Indri Yuliafitri dan Asma Nur Khoiriyah, Jurnal Ekonomi,...
[16] Gustian Djuanda dkk, Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2006) h.10.
[17] Rifqi Muhammad, Jurnal...
[18] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar