Rabu, 25 Januari 2017

PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA


PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

(A.faradilla, sem.7 Prodi Ekonomi Syariah,
 STAIN Watampone, tahun 2017)

Abstrak
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Tulisan ini mencoba mereview bagaimana perjalanan dan perkembangan bank syariah di Indonesia serta dibandingkan dengan beberapa. Negara muslim lainnya. Secara umum, kebijakan pengembangan perbankan syariah di Indonesia belum mencapai target yang ideal yang direncanakan. Berdasarkan Global Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2014, Indonesia menduduki urutan ketujuh turun tiga peringkat yang sempat menempati urutan keempat pada tahun 2011. Terbitnya UU No.10 tahun1998 memiliki tersendiri bagi dunia perbankan nasional dimana pemerintah membuka lebar kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan kepada prinsip syariah. Hal ini guna menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di masyrakat. Masyrakat diberikan kesempatan seluas luasnya untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip Syariah ini, termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvesional menjadi pola Syariah.[1]
Kata Kunci:
Global Islamic Financial Report; dual banking system; bank syariah; keuangan syariah


A.    Pendahuluan
Upaya insentif pendirian bank islam (Disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak 1988 yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan paket kebijak oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia.[2]
          Kita tidak mampu memberikan informasi secara pasti kapan mulai tumbuhnya perbankan. Yang pasti bahwa orang-orang Babiliona sekitar tahun 2000 sebelu masehi mereka telah mempergunakan tempat-tempat ibadah mereka sebagaimana bank. Mereka mempunyimpan harta-harta mereka di sana dan pemuka agama merekalah yang menjadi penanggung jawab atas penyimpanan dan peminjaman harta mereka.
            Sedangkan peraturan perbankan telah lama berkembang telah lama berkembang secara luas dipemerintahnya adidaya Romawi, meskipun kegiatan yang dilakukan bank-bank pada masa itu hanya sebatas pada penukaran uang (money chager) dan peminjamannya.[3]
Perkembangan Syariah di Indonesia yang pertama di dirikan pada tahun 1992 adalah bank Muamalat di Indonesia (BMI). Walaupun perkembangan agak terlambat bila dibandingkan dengan negara- negara Muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank syariah, Maka pada tahun 2005 jumblah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu, jumblah bank perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.
Berdasarkan data Bank Indonesia, prosperk perbankan syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Industri perbankan syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada posisi November 2004, volume usaha perbankan syariah telah mencapai 14,0 triliun rupiah dengan tingkat pertumbuhan yang terjadi pada 2004 sebesar 88,6 % volume usaha perbankan syariah di akhir tahun 2005 di perkirakan akan mencapai 24 triliun rupiah. Denga volume tersebut diperkirakan industri perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar 11,8% dari industri perbankan nasional di bandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004, Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit usaha syariah yang baru dan pembukaan jaringa kantor yang lebih luas. Dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumblah sekitar 20 triliun rupiah dengan jumblah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir tahun 2005.[4]
Sementara itu,riset yang dilakukan oleh Karim Businnes Consulting pada tahun 2005 menunjukan bahwa total aset bank Syariah di Indonesia diperkirakan akan lebih besar daripada apa yang diproyeksikan oleh Bank Indionesia. Dengan menggunakan KARIM Growth Model, total asset bank Syariah di Indonesia diproyeksikan akan mencapai antara 1,92% -2,31% dari industri perbankan nasional. Model ini dikembangkan dengan memanfaatkan alrelevan information avaible dan mensimulasikan proyeksi pertumbuhan aset masing-masing BUS/ UUS (Organik) dan proyeksi BUS/ UUS baru (non organik) yang kemudian dilahirkan agregasi pertumbuhan.[5]
Perkembangan perbankan Syariah ini tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun realitas yang ada menunjukan bahwa masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat diinstitusi syariah yang tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam islamic bangking. Tentunya kondisi ini cukup segnifikan mempengaruhi produktivitas dan profesionalisme perbankan syariah itu sendiri. Inilah yang memandang bahwa yang memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya insani yang mampu mengembalikan ekonomi syariah disemua lini karena sistem yang baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani yang baik pula.
B.     Kondisi Perbankan Syariah Nasional Terkini
Dalam cetak biru pengembangan perbankan syariah, saat ini perbankan syariah nasional berada pada fase keempat (2013-2015) yaitu pangsa yang signifikan dalam kondisi mulai terbentuknyaintegrasi dengan sektor keuangan syariah lainnya. Namun dalam perkembangannya perbankan syariah di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Dalam statistik perbankan Indonesia per Desember 2014 terdapat tidak kurang 12 Bank Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu bank konvensional dengan total keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain itu, Total aset bank umum syariah mencapai 272.343 (dalam miliar rupiah). Jumlah ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total aset perbankan nasional secara umum yang mencapai 5.615.150
(dalam miliar rupiah). Artinya pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil hanya 4,
85 %, padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal ini tentunya entunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah agar sesegera mungkin mencari strategi pengembangan perbankan syariah agar sesegera mungkin mencari strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih massif.
Untuk itu, Bank Indonesia dan stakeholders perbankan syariah telah membuat cetak biru pengembangan perbankan syariah di Indonesia demi kemajuan perbankan syariah secara nasional. Pada cetak biru pengembangan perbankan syariah ini terdapat 6 (enam) pilar pengembangan perbankan syariah yaitu:
Pilar I struktur perbankan syariah yang sehat terdiri atas:
1.      Terwujudnya bank-bank syariah dengan standar operasi internasional, didukung oleh permodalan yang memadai, berdaya saing serta kompetensi pada jenis pasar yang di pilihnya.
2.      Tercapainya pangsa pasar perbankan syariah yang cukup signifikan pada akhir tahun 2015 (sekitar 15%).
3.      Jumlah BUS minimal 10% dari perbankan nasional dicapai pada tahun 2015.
4.      Terwujudnya aliansi strategis bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan syariah lain.
5.      Terwujudnya linkage program antara BUS, UUS dan BPRS dalam melayani sektor UMK, Usaha Menengah dan Korporasi.
Pilar II Terpenuhinya prinsip kehati-hatian dan Kepatuhan syariah yang terdiri atas:
1.      Perbankan syariah memiliki undang-undang tersendiri (UU Bank Syariah).
2.      Berlakunya ketentuan perpajakan yang fair bagi transaksi perbankan syariah.
3.      Tersusunnya standar keuangan syariah untuk mendukung pengembangan produk yang
selaras antara aspek syariah dan kehatihatian.
4.      mentasinya nilai-nilai syariah secara mikro dalam bentuk ketentuan Good Corporate Governance (GCG) dan terbentuk market discipline.
5.      Diterapkannya kebijakan exit dan entry yang efisien.
6.      Dibuatnya peraturan yang spesifik sesuai dengan karakteristik operasional bank syariah.
Pilar III sistem pengawasan yg independen dan efektif yang dapat diwujudkan dengan cara sebagai berikut:
1.      Terwujudnya sistem pengaturan dan pengawasan berbasis risiko yang dapat mendorong ke arah terbentuknya self- regulatory system, dengan dukungan IT dan SDM yg memadai.
2.      Tercukupinya kebutuhan SDM pengawas bank syariah yang memiliki tingkat keahlian yang tinggi dan dalam jumlah yang proporsional dengan kebutuhan pengawasan.
3.      Terwujudnya kerjasama antara otoritas pengawasan perbankan syariah nasional dengan otoritas pengawasan negara lain dalam rangka cross border supervision.
4.      Terwujudnya mekanisme dan harmonisasi pengawasan prinsip syariah dalam industri perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah non-bank.
5.      Menyempurnakan organisasi Direktorat Perbankan Syariah dan satuan kerja lainnya termasuk KBI sesuai dengan kebutuhan pengawasan bank syariah.
6.      Terjaganya tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap transaksi.
Pilar IV industri Perbankan syariah yg kuat. Hal ini akan tercapai dengan cara sebagai berikut:
1.      Diterapkannya GCG dalam operasional perbankan syariah semakin efisien operasional perbankan syariah.
2.      capainya porsi pembiayaan berbasis bagi hasil secara signifikan.
3.      Tersedianya SDM bank syariah yang memiliki kualifikasi keahlian internasional dan dalam jumlah yang memadai.
4.      Perbankan syariah memiliki IT yang memadai.
5.      Perbankan syariah memiliki Internal Control yang memadai untuk memastikan pemenuhan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan syariah.
Pilar V infrastruktur pendukung yang mencukupi. Sasaran strategis akan terwujud jika didukung dengan:
1.                Terwujudnya pasar keuangan syariah yang efisien dan merefleksikan prinsip-prinsip syariah dalam instrumen dan jenis transaksinya.
2.                Telah berdiri/berkembang/berfungsinya institusi infrastruktur perbankan syariah, seperti lembaga rating, asosiasi perbankan syariah, lembaga sertifikasi, lembaga arbitrase, lembaga peradilan muamalah, lembaga pendidikan,lembaga riset, lembaga amil zakat & wakaf dan DSN.
3.                Semakin meningkatnya kerjasama dg lembaga keuangan Internasional (IFSB, IIFM, IDB, AAOIFI dll) dalam rangka peningkatan standar pengawasan dan standar industri perbankan syariah.
4.                Semakin meningkatnya kerjasama dengan lembaga domestik dalam mendukung perkembangan industri perbankan syariah.
Pilar VI perlindungan nasabah. Perlindungan nasabah merupakan amanat undang-undang bank Indonesia, juga undang-undang perlindungan konsumen. Perlindungan nasabah merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran strategis diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Tercapainya tingkat pemahaman masyarakat yang tepat mengenai fungsi, peran dan positioning bank syariah dalam masyarakat, produk-produk bank syariah melalui proses sosialisasi yang efektif.
2.      Tercapainya tingkat pemahaman nasabah terkait dengan hak dankewajiban nasabah serta mekanisme penyelesaian apabila terdapat perselisihan melalui proses sosialisasi yang efektif.
3.       Terbentuknya Lembaga Mediasi yang memiliki kemampuan untuk melayani pengaduan nasabah/bank syariah.
Secara porsi, pilar-pilar pengembangan perbankan syariah di atas sudah sangat baik, akan tetapi strategi pengembangan perbankan syariah juga harus selalu disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di tingkat nasional dan internasional. Hal ini sangat penting dilakukan agar formulasi strategi pengembangan harus berdasarkan kondisi yang ada serta pemanfaatan setiap potensi yang dimiliki menuju kondisi ideal perbankan syariah. Sehingga formulasi yang disusun diharapkan mengantarkan perbankan syariah nasional menuju industri yang kuat.
C.    Praktik Perbankan Di Zaman Rasulullah Saw Dan Sahabat R.A
Secara umum bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu meneriman simpanan uang meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian umat islam pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi ummat islam sejak zamaan Rasulullah Saw. Praktik- praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim di lakukan sejak zaman Rasulullah Saw. Dengan demikian fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposito, menyalurkan dana dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan ummat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw dikenal dengan julukan al-Amin dipercaya oleh masyrakat Mekkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terkhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya[6]
Dalam konsep ini pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan titipan Seorang sahabat Rasulullah Saw, Zubair bin al-awwam r.a, memilih tidak menerima titipan harta. Ia suka menerimanya dalam bentuk pinjam. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempinyai hak untuk memanfaatkanya.kedua kerena bentuknya pinjaman ia berkewajiban untuk mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a. melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya Mis’ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negari Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, pada masa pemerintahannya, Khalifa Umar bin al- Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini, mereka mengambil ngandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir.[7]
Di samping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudrabah, muzara’ah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah melaksanakan fungis perbankan dizaman Rasulullah Saw. Meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan, ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
D.    Perbankan Syariah Modern
Oleh karena bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram, disejumblah negara Islam negara islam dan penduduk mayoritas muslim mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non- ribawi Hal ini terjadi terutama setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya dari para penjajah bangsa Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga tanpa bunga pertama kali untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses Eksperimen dilakukan dipakistan pada akhir tahun 1950-an dimana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan dipedesaan negara itu.
Namun demikian, eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif dimasa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 196, dengan berdirinya MitGharn Local Saving bank. Bank ini mendapat sambutan yang cukup hangat di Mesir, terutama dari kalangan petani dan masyrakat pedesaan. Jumblah deposan bank ini meningkat luar biasa dari 17,560 di tahun pertama (1963/1964) menjadi 251, 152 pada 1966/1967. Jumblah tabungan pun meningkta drastis dari LE 40,944 diakhir tahun pertama (1963/1964) menjadi LE 1,828,375 diakhir periode 1966/1967. Namun sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran sehingga operasionalnya diambil oleh National Bank of Eghyp dan bank sentral Mesir pada tahun 1967, akhirnya konsep nir-bunga ini kembali dibangkitkan pada masa rezim sadat melalui pendirian Nasser Social Bank. Tujuan bank ini adalah untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang telah dipraktikan oleh Mit Ghamr. Kesusksesan Mit Gharm ini memberi inspirasi bagi ummat Muslim di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern.
 Ketika OKI akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi internasional muali dilangsungkan dimana salah satu egenda ekonominya adalah pendiri bank Islam. Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank (IBD) pada bulan oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara islam pendiri. Bank ini membantu mereka untuk mendrikan bank islam dinegaranya masing-masing, dan memainkan peran penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan islam. Kini bank yang berpusat di Jeddah- Arab saudi itu telah memiliki labih dari 43 negara anggota. Pada perkembangan selanjutnya diera 1970-an usaha-usaha untuk mendirikan bank islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara seperti Pakistan, Iran dan Sudan bahkan mengubah seluruh sistem keuangaan di negara tersebut beroprasi tanpa menggunakan bunga. Dinegara Islam lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroprasi berdampingan dengan bank-bank konvesional.
Kini perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke banyak negara bahkan ke negara-negara Arab. The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai Bank Syariah pertama yang beroptasi di Eropa, yakni pada tahun 1983 di Denmark.[8]
Kini bank-bank besar dinegara-negara barat, seperti Citibank, ANZ bank Chase Manhattan Bank dan Jardine Fleming telah pula membuak mereka islamic window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan syariat islam. Profesi Jihbiz yaitu seorang individu melakukan ketiga fungsi perbankan. Lalu kegiatan tersebut diadopsi oleh masyrakat Eropa abad pertengahan, dan pengelolaannya dilakukan oleh institusi, tetapi kegiatannya mulai dilakukan dengan basis bunga. Oleh karena kemunduran peredaban ummat Muslim secara penjajahan bangsa-bangsa barat terhadap negara- negara Muslim, Evaluasi praktik perbankan yang sesuai syariah sempat terhentu beberapa abad. Baru pada abad ke 20 ketika bangsa muslim mulai merdeka, terbentuklah bank syariah modern disejumblah negara dan Insya Allah akan terus mengalami perkembangan.
E.     Peluang Dan Tantangan Pengembangan Perbankan Syariah
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan „impian yang mustahil‟ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player
keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi
investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah. Selain itu, keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) –Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar.
Potensi lainnya dari sisi regulasi terutama setelah lahirnya UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dengan pengesahan ini, industri perbankan syariah di Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat lebih besar. Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga akan lebih nyata bagi para investor dan para pelaku usaha perbankan syariah.[9]
Tentunya ini adalah peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Hal-hal yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah:
1.      Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7).
2.      Penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank non-Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2).
3.      Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1).
UU Perbankan Syariah di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi bank syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan tersebuat antara lain:
1.      Bagi pelaku bank syariah nasional dengan lahirnya UU Perbankan Syariah adalah adanya mbebasan pemilikan bank umum syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa efek merupakan tantangan yang sangat besar bagi warganegara dan badan hukum Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan.
2.      Ketentuan tentang pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat (1) dapat  merupakan tantangan besar bagi warganegara Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah.
3.      Tantangan lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Tantangan lain bagi industri perbankan syariah yang mungkin dihadapi pasca regulasi
baru ini adalah tantangan orientasi dan keberpihakan lembaga, etika (syariah) atau bisnis, akan selalu muncul di depan. Penyatuan persepsi, oleh karenanya, masih menjadi gangguan dan perkembangannya. Tantangan kemajuan zaman terkait dengan kejahatan teknologi, dan kejahatan yang menggunakan bank sebagai alat dan sarana persembunyian dan keamanan, serta tantangan berupa maraknya jenis-jenis dan instrumen transaksi sebagai akibat dari mengglobalnya prinsip perbankan syariah.
Tantangan lain bersifat teknis operasional ang meliputi; belum adanya standar mutu bagi lembaga pendidikan pelatihan, pengajar dan lulusan, diversifikasi dan luasnya range kualifikasi sumber daya manusia dengan bank syariah, perlu ada investor di bidang pendidikan perbankan atau keuangan syariah, dan sosialisasi terhadap masyarakat akan pilihan alternatif program pendidikan atau karir dibidang perbankan syariah. Selain itu, cakupan pasar perbankan syariah saat ini masih terbatas., Sampai akhir tahun 2012, pelayanan perbankan syariah hanya tersedia 13% jumlah kantor dari seluruh kantor bank umum yang ada di Indonesia.
Keterbatasan cakupan operasional pada gilirannya akan menjadi kendala yang cukup signifikan bagi para pengguna jasa perbankan syariah dan mengurangi nilai kenyamanan penggunaan jasa perbankan.
Tantangan yang telah teridentifikasi di atas berguna untuk meingkatkan pelayanan bank syariah yakni dengan menciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, terutama bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas ataumendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional. Selanjutnya, dengan penyederhanaan proses administrasi bagi masuknya para pemain baru dapat dilakukan dengan tidak mengurangi prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional perbankan. Tersedianya informasi pasar/permintaan jasa perbankan syariah dan tersedianya sumber daya insani yang kompeten dan profesional dalam jumlah yang mencukupi oleh industri perbankan syariah.[10]



F.     KESIMPULAN
Bank Syariah sebagai suatu bentuk bank yang beroprasi dengan sistem bagi hasil secara internal memiliki kekuatan dan kelemahan. Sedangkan dalam kancah bisnis yang penuh persaingan, BPR Syariah menghadapi beberapa peluang dan tantangan. Kekuatan dan peluang dapat dioptimalkan, kelemahan dan ancaman dapat diminimalkan jika dalam pengelolaan bank Syariah dilakukan secara profesional dan kredibel. Syarat ini diperlukan agar operasional bank syariah dapat efesien.
Efesiensi sebuah bank syariah akan turut dinikmati pula oleh nasabahnya yang notabennya memang menuntun efesiensi. Pada gilirannya, efesiensi memungkinkan lembaga keuangan yang bersangkutan untuk bertahan dan berkembang, sehingga menambahkan kredibilitasnya lebih lanjut. Bank Syariah yang tidak kredibel atau tidak profesional niscaya tidak akan langgeng, konon pula berkembang.













DAFTAR RUJUKAN
Adiwarman A.Karim, Bank Islam, (Jakarta Pt. Raja Grafindo Persada, 2006)
Bank Indonesia, Statistik Perbankan Indonesia, September 2012
Erik Trolle-Schultz, How the First Islamic Bank Was Established in Europe, (Londen 1986)
Halim Alamsyah “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015” www.bi.go.id
Kadim Sadr, Money and Monetary Policies in Erly Islam (Silver Spiring : Nur Copr, 1989)
Muhammad Rowwas Qol’ahji,Ekonomi Syriah,(Ed.1V; Jakarta Timur: Iec Azzahra,20000)
Muhammad,Bank Syariah,( Yongyakarta:Ekonisia,2002)
Sudin Haron, Prinsip dan Operasi perbankan Syariah Islam, (Kuala Lumpur: Berita publishing Sdn Bhd, 1996)
Zainul Arifin,Dasar-dasar manajemen bank syariah,(Cet.7; Tanggerang: Pustaka Alvabet,2009 )








           











[1] Muhammad,Bank Syariah,( Cet.3; Yongyakarta:Ekonisia,2002) h. 21
[2] Zainul Arifin,Dasar-dasar manajemen bank syariah,(Cet.7; Tanggerang: Pustaka Alvabet,2009 ) h.7
[3] Muhammad Rowwas Qol’ahji,Ekonomi Syriah,(Ed.1V; Jakarta Timur: Iec Azzahra,20000) h. 226
[4] Adiwarman A.Karim, Bank Islam, (Jakarta Pt. Raja Grafindo Persada, 2006)  h.25
[5] Ibid h. 26-27
[6] Sudin Haron, Prinsip dan Operasi perbankan Syariah Islam, (Kuala Lumpur: Berita publishing Sdn Bhd, 1996), h.5
[7] Kadim Sadr, Money and Monetary Policies in Erly Islam (Silver Spiring : Nur Copr, 1989), h.207
[8] Erik Trolle-Schultz, How the First Islamic Bank Was Established in Europe, (Londen 1986) h. 43-53.
[9] Halim Alamsyah “Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015” www.bi.go.id

[10] (Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, h. 42)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar