PERKEMBANGAN PERBANKAN SYARIAH DI
INDONESIA
(A.faradilla, sem.7 Prodi Ekonomi
Syariah,
STAIN Watampone, tahun 2017)
Abstrak
Perkembangan perbankan syariah di
Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan
suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa
perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah. Tulisan
ini mencoba mereview bagaimana perjalanan dan perkembangan bank syariah di
Indonesia serta dibandingkan dengan beberapa. Negara muslim lainnya. Secara
umum, kebijakan pengembangan perbankan syariah di Indonesia belum mencapai
target yang ideal yang direncanakan. Berdasarkan Global Islamic Financial
Report (GIFR) tahun 2014, Indonesia menduduki urutan ketujuh turun tiga
peringkat yang sempat menempati urutan keempat pada tahun 2011. Terbitnya UU
No.10 tahun1998 memiliki tersendiri bagi dunia perbankan nasional dimana
pemerintah membuka lebar kegiatan usaha perbankan dengan berdasarkan kepada
prinsip syariah. Hal ini guna menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang
di masyrakat. Masyrakat diberikan kesempatan seluas luasnya untuk mendirikan
bank berdasarkan prinsip Syariah ini, termasuk juga kesempatan konversi dari
bank umum yang kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvesional menjadi pola
Syariah.[1]
Kata Kunci:
Global Islamic Financial Report;
dual banking system; bank syariah; keuangan syariah
A.
Pendahuluan
Upaya insentif pendirian bank islam (Disebut
oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah”) di Indonesia
dapat ditelusuri sejak 1988 yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan paket
kebijak oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di
Indonesia.[2]
Kita tidak
mampu memberikan informasi secara pasti kapan mulai tumbuhnya perbankan. Yang
pasti bahwa orang-orang Babiliona sekitar tahun 2000 sebelu masehi mereka telah
mempergunakan tempat-tempat ibadah mereka sebagaimana bank. Mereka mempunyimpan
harta-harta mereka di sana dan pemuka agama merekalah yang menjadi penanggung
jawab atas penyimpanan dan peminjaman harta mereka.
Sedangkan
peraturan perbankan telah lama berkembang telah lama berkembang secara luas
dipemerintahnya adidaya Romawi, meskipun kegiatan yang dilakukan bank-bank pada
masa itu hanya sebatas pada penukaran uang (money chager) dan peminjamannya.[3]
Perkembangan Syariah di Indonesia
yang pertama di dirikan pada tahun 1992 adalah bank Muamalat di Indonesia
(BMI). Walaupun perkembangan agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-
negara Muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia akan terus berkembang
bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank syariah, Maka pada
tahun 2005 jumblah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit,
yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu, jumblah
bank perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah
menjadi 88 buah.
Berdasarkan data Bank Indonesia,
prosperk perbankan syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik. Industri
perbankan syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat pertumbuhan
yang cukup tinggi. Jika pada posisi November 2004, volume usaha perbankan
syariah telah mencapai 14,0 triliun rupiah dengan tingkat pertumbuhan yang
terjadi pada 2004 sebesar 88,6 % volume usaha perbankan syariah di akhir tahun
2005 di perkirakan akan mencapai 24 triliun rupiah. Denga volume tersebut
diperkirakan industri perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar 11,8% dari
industri perbankan nasional di bandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004,
Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan
unit usaha syariah yang baru dan pembukaan jaringa kantor yang lebih luas. Dana
pihak ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumblah sekitar 20 triliun rupiah
dengan jumblah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir tahun 2005.[4]
Sementara itu,riset yang dilakukan
oleh Karim Businnes Consulting pada tahun 2005 menunjukan bahwa total aset bank
Syariah di Indonesia diperkirakan akan lebih besar daripada apa yang
diproyeksikan oleh Bank Indionesia. Dengan menggunakan KARIM Growth Model,
total asset bank Syariah di Indonesia diproyeksikan akan mencapai antara 1,92%
-2,31% dari industri perbankan nasional. Model ini dikembangkan dengan
memanfaatkan alrelevan information avaible dan mensimulasikan proyeksi
pertumbuhan aset masing-masing BUS/ UUS (Organik) dan proyeksi BUS/ UUS baru
(non organik) yang kemudian dilahirkan agregasi pertumbuhan.[5]
Perkembangan perbankan Syariah ini
tentunya juga harus didukung oleh sumber daya insani yang memadai, baik dari
segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun realitas yang ada menunjukan bahwa
masih banyak sumber daya insani yang selama ini terlibat diinstitusi syariah
yang tidak memiliki pengalaman akademis maupun praktis dalam islamic bangking.
Tentunya kondisi ini cukup segnifikan mempengaruhi produktivitas dan
profesionalisme perbankan syariah itu sendiri. Inilah yang memandang bahwa yang
memang harus mendapatkan perhatian dari kita semua, yakni mencetak sumber daya
insani yang mampu mengembalikan ekonomi syariah disemua lini karena sistem yang
baik tidak mungkin dapat berjalan bila tidak didukung oleh sumber daya insani
yang baik pula.
B.
Kondisi
Perbankan Syariah Nasional Terkini
Dalam cetak
biru pengembangan perbankan syariah, saat ini perbankan syariah nasional berada
pada fase keempat (2013-2015) yaitu pangsa yang signifikan dalam kondisi mulai
terbentuknyaintegrasi dengan sektor keuangan syariah lainnya. Namun dalam perkembangannya
perbankan syariah di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan
target yang diinginkan. Dalam statistik perbankan Indonesia per Desember 2014 terdapat
tidak kurang 12 Bank Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu bank
konvensional dengan total keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain itu,
Total aset bank umum syariah mencapai 272.343 (dalam miliar rupiah). Jumlah ini
masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total aset perbankan nasional
secara umum yang mencapai 5.615.150
(dalam miliar rupiah). Artinya pangsa pasar perbankan
syariah masih sangat kecil hanya 4,
85 %,
padahal target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir
tahun 2015. Hal ini tentunya entunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah
agar sesegera mungkin mencari strategi pengembangan perbankan syariah agar
sesegera mungkin mencari strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih
massif.
Untuk itu, Bank Indonesia dan stakeholders perbankan
syariah telah membuat cetak biru pengembangan perbankan syariah di Indonesia
demi kemajuan perbankan syariah secara nasional. Pada cetak biru pengembangan
perbankan syariah ini terdapat 6 (enam) pilar pengembangan perbankan syariah
yaitu:
Pilar I struktur perbankan syariah yang sehat terdiri
atas:
1. Terwujudnya
bank-bank syariah dengan standar operasi internasional, didukung oleh
permodalan yang memadai, berdaya saing serta kompetensi pada jenis pasar yang
di pilihnya.
2. Tercapainya
pangsa pasar perbankan syariah yang cukup signifikan pada akhir tahun 2015
(sekitar 15%).
3. Jumlah BUS
minimal 10% dari perbankan nasional dicapai pada tahun 2015.
4. Terwujudnya
aliansi strategis bank syariah dengan lembaga-lembaga keuangan syariah lain.
5. Terwujudnya
linkage program antara BUS, UUS dan BPRS dalam melayani sektor UMK, Usaha
Menengah dan Korporasi.
Pilar II Terpenuhinya prinsip kehati-hatian dan
Kepatuhan syariah yang terdiri atas:
1. Perbankan
syariah memiliki undang-undang tersendiri (UU Bank Syariah).
2. Berlakunya
ketentuan perpajakan yang fair bagi transaksi perbankan syariah.
3. Tersusunnya
standar keuangan syariah untuk mendukung pengembangan produk yang
selaras
antara aspek syariah dan kehatihatian.
4. mentasinya
nilai-nilai syariah secara mikro dalam bentuk ketentuan Good Corporate
Governance (GCG) dan terbentuk market discipline.
5. Diterapkannya
kebijakan exit dan entry yang efisien.
6. Dibuatnya
peraturan yang spesifik sesuai dengan karakteristik operasional bank syariah.
Pilar III sistem pengawasan yg independen
dan efektif yang dapat diwujudkan dengan cara sebagai berikut:
1.
Terwujudnya sistem pengaturan dan
pengawasan berbasis risiko yang dapat mendorong ke arah terbentuknya self- regulatory
system, dengan dukungan IT dan SDM yg memadai.
2.
Tercukupinya kebutuhan SDM pengawas
bank syariah yang memiliki tingkat keahlian yang tinggi dan dalam jumlah yang
proporsional dengan kebutuhan pengawasan.
3.
Terwujudnya kerjasama antara
otoritas pengawasan perbankan syariah nasional dengan otoritas pengawasan
negara lain dalam rangka cross border supervision.
4.
Terwujudnya mekanisme dan
harmonisasi pengawasan prinsip syariah dalam industri perbankan syariah dan
lembaga keuangan syariah non-bank.
5.
Menyempurnakan organisasi Direktorat
Perbankan Syariah dan satuan kerja lainnya termasuk KBI sesuai dengan kebutuhan
pengawasan bank syariah.
6.
Terjaganya tingkat kepercayaan
masyarakat yang tinggi dalam hal penerapan prinsip syariah dalam setiap
transaksi.
Pilar IV industri Perbankan syariah
yg kuat. Hal ini akan tercapai dengan cara sebagai berikut:
1.
Diterapkannya GCG dalam operasional
perbankan syariah semakin efisien operasional perbankan syariah.
2.
capainya porsi pembiayaan berbasis
bagi hasil secara signifikan.
3.
Tersedianya SDM bank syariah yang
memiliki kualifikasi keahlian internasional dan dalam jumlah yang memadai.
4.
Perbankan syariah memiliki IT yang
memadai.
5.
Perbankan syariah memiliki Internal
Control yang memadai untuk memastikan pemenuhan prinsip kehati-hatian dan
kepatuhan syariah.
Pilar V infrastruktur pendukung yang mencukupi.
Sasaran strategis akan terwujud jika didukung dengan:
1.
Terwujudnya pasar keuangan syariah
yang efisien dan merefleksikan prinsip-prinsip syariah dalam instrumen dan
jenis transaksinya.
2.
Telah
berdiri/berkembang/berfungsinya institusi infrastruktur perbankan syariah,
seperti lembaga rating, asosiasi perbankan syariah, lembaga sertifikasi,
lembaga arbitrase, lembaga peradilan muamalah, lembaga pendidikan,lembaga riset,
lembaga amil zakat & wakaf dan DSN.
3.
Semakin meningkatnya kerjasama dg
lembaga keuangan Internasional (IFSB, IIFM, IDB, AAOIFI dll) dalam rangka
peningkatan standar pengawasan dan standar industri perbankan syariah.
4.
Semakin meningkatnya kerjasama dengan
lembaga domestik dalam mendukung perkembangan industri perbankan syariah.
Pilar VI
perlindungan nasabah. Perlindungan nasabah merupakan amanat undang-undang bank
Indonesia, juga undang-undang perlindungan konsumen. Perlindungan nasabah
merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan perbankan syariah di
Indonesia. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran strategis
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Tercapainya tingkat pemahaman
masyarakat yang tepat mengenai fungsi, peran dan positioning bank syariah dalam
masyarakat, produk-produk bank syariah melalui proses sosialisasi yang efektif.
2.
Tercapainya tingkat pemahaman
nasabah terkait dengan hak dankewajiban nasabah serta mekanisme penyelesaian
apabila terdapat perselisihan melalui proses sosialisasi yang efektif.
3.
Terbentuknya Lembaga Mediasi yang memiliki
kemampuan untuk melayani pengaduan nasabah/bank syariah.
Secara
porsi, pilar-pilar pengembangan perbankan syariah di atas sudah sangat baik,
akan tetapi strategi pengembangan perbankan syariah juga harus selalu
disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di tingkat nasional dan
internasional. Hal ini sangat penting dilakukan agar formulasi strategi
pengembangan harus berdasarkan kondisi yang ada serta pemanfaatan setiap
potensi yang dimiliki menuju kondisi ideal perbankan syariah. Sehingga
formulasi yang disusun diharapkan mengantarkan perbankan syariah nasional
menuju industri yang kuat.
C.
Praktik
Perbankan Di Zaman Rasulullah Saw Dan Sahabat R.A
Secara umum
bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu meneriman
simpanan uang meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam
sejarah perekonomian umat islam pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang
sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi ummat islam sejak zamaan
Rasulullah Saw. Praktik- praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan
uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan
pengiriman uang, telah lazim di lakukan sejak zaman Rasulullah Saw. Dengan
demikian fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposito,
menyalurkan dana dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak
terpisah dari kehidupan ummat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah Saw.
Rasulullah
Saw dikenal dengan julukan al-Amin dipercaya oleh masyrakat Mekkah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terkhir sebelum hijrah ke Madinah, ia
meminta Ali bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada
pemiliknya[6]
Dalam konsep
ini pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan titipan Seorang sahabat
Rasulullah Saw, Zubair bin al-awwam r.a, memilih tidak menerima titipan harta.
Ia suka menerimanya dalam bentuk pinjam. Tindakan Zubair ini menimbulkan
implikasi yang berbeda yakni pertama, dengan mengambil uang itu sebagai
pinjaman, ia mempinyai hak untuk memanfaatkanya.kedua kerena bentuknya pinjaman
ia berkewajiban untuk mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat yang lain
disebutkan ibnu Abbas r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Kufah dan
Abdullah bin Zubair r.a. melakukan pengiriman uang dari Mekkah ke adiknya
Mis’ab bin Zubair r.a. yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal
luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negari Syam dengan Yaman,
yang paling tidak berlangsung dua kali dalam setahun. Bahkan, pada masa
pemerintahannya, Khalifa Umar bin al- Khattab r.a. menggunakan cek untuk
membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini,
mereka mengambil ngandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir.[7]
Di samping
itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudrabah,
muzara’ah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Ansar.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah melaksanakan
fungis perbankan dizaman Rasulullah Saw. Meskipun individu tersebut tidak
melaksanakan seluruh fungsi perbankan, ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima
titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada
yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal
kerja.
D.
Perbankan
Syariah Modern
Oleh karena
bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram,
disejumblah negara Islam negara islam dan penduduk mayoritas muslim mulai
timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non- ribawi Hal ini
terjadi terutama setelah bangsa-bangsa Muslim memperoleh kemerdekaannya dari para
penjajah bangsa Eropa. Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga
tanpa bunga pertama kali untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali
dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak
sukses Eksperimen dilakukan dipakistan pada akhir tahun 1950-an dimana suatu
lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan dipedesaan negara itu.
Namun
demikian, eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif
dimasa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 196, dengan berdirinya MitGharn
Local Saving bank. Bank ini mendapat sambutan yang cukup hangat di Mesir,
terutama dari kalangan petani dan masyrakat pedesaan. Jumblah deposan bank ini
meningkat luar biasa dari 17,560 di tahun pertama (1963/1964) menjadi 251, 152 pada
1966/1967. Jumblah tabungan pun meningkta drastis dari LE 40,944 diakhir tahun
pertama (1963/1964) menjadi LE 1,828,375 diakhir periode 1966/1967. Namun
sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami
kemunduran sehingga operasionalnya diambil oleh National Bank of Eghyp dan bank
sentral Mesir pada tahun 1967, akhirnya konsep nir-bunga ini kembali
dibangkitkan pada masa rezim sadat melalui pendirian Nasser Social Bank. Tujuan
bank ini adalah untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang
telah dipraktikan oleh Mit Ghamr. Kesusksesan Mit Gharm ini memberi inspirasi
bagi ummat Muslim di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa
prinsip-prinsip islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern.
Ketika OKI akhirnya terbentuk, serangkaian
konferensi internasional muali dilangsungkan dimana salah satu egenda
ekonominya adalah pendiri bank Islam. Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank (IBD) pada
bulan oktober 1975 yang beranggotakan 22 negara islam pendiri. Bank ini
membantu mereka untuk mendrikan bank islam dinegaranya masing-masing, dan
memainkan peran penting dalam penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan
islam. Kini bank yang berpusat di Jeddah- Arab saudi itu telah memiliki labih
dari 43 negara anggota. Pada perkembangan selanjutnya diera 1970-an usaha-usaha
untuk mendirikan bank islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa negara
seperti Pakistan, Iran dan Sudan bahkan mengubah seluruh sistem keuangaan di
negara tersebut beroprasi tanpa menggunakan bunga. Dinegara Islam lainnya
seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroprasi berdampingan dengan
bank-bank konvesional.
Kini
perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar ke
banyak negara bahkan ke negara-negara Arab. The Islamic Bank International of
Denmark tercatat sebagai Bank Syariah pertama yang beroptasi di Eropa, yakni
pada tahun 1983 di Denmark.[8]
Kini bank-bank besar dinegara-negara
barat, seperti Citibank, ANZ bank Chase Manhattan Bank dan Jardine Fleming
telah pula membuak mereka islamic window agar dapat memberikan jasa-jasa
perbankan yang sesuai dengan syariat islam. Profesi Jihbiz yaitu seorang
individu melakukan ketiga fungsi perbankan. Lalu kegiatan tersebut diadopsi
oleh masyrakat Eropa abad pertengahan, dan pengelolaannya dilakukan oleh
institusi, tetapi kegiatannya mulai dilakukan dengan basis bunga. Oleh karena
kemunduran peredaban ummat Muslim secara penjajahan bangsa-bangsa barat
terhadap negara- negara Muslim, Evaluasi praktik perbankan yang sesuai syariah
sempat terhentu beberapa abad. Baru pada abad ke 20 ketika bangsa muslim mulai
merdeka, terbentuklah bank syariah modern disejumblah negara dan Insya Allah
akan terus mengalami perkembangan.
E. Peluang Dan Tantangan Pengembangan
Perbankan Syariah
Sebagai negara dengan penduduk
muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat
pengembangan keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan „impian yang
mustahil‟ karena potensi Indonesia untuk menjadi global player
keuangan syariah sangat besar, diantaranya: (i) jumlah
penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah;
(ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang
solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi
investment
grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor
keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber
daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi
industri keuangan syariah. Selain itu, keunggulan struktur pengembangan
keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai
lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan
fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)
–Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen.
Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga
peluang terjadinya perbedaan sangat besar.
Potensi
lainnya dari sisi regulasi terutama setelah lahirnya UU No 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Dengan pengesahan ini, industri perbankan syariah di
Indonesia diharapkan dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat lebih
besar. Kepastian hukum dan jaminan keamanan juga akan lebih nyata bagi para
investor dan para pelaku usaha perbankan syariah.[9]
Tentunya ini
adalah peluang yang sangat besar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Hal-hal
yang membuka peluang besar pangsa perbankan syariah sesuai UU tersebut adalah:
1.
Bank Umum Syariah dan Bank
Perkreditan Rakyat tidak dapat dikonversi menjadi Bank Konvensional, sementara
Bank Konvensional dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7).
2.
Penggabungan (merger) atau peleburan
(akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank non-Syariah wajib menjadi Bank
Syariah (Pasal 17 ayat 2).
3.
Bank Umum Konvensional yang memiliki
Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila UUS
mencapai asset paling sedikit 50% dari total nilai asset bank induknya; atau 15
tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah (Pasal 68 ayat 1).
UU Perbankan
Syariah di samping memberikan peluang usaha yang lebih beragam bagi bank
syariah dan kemungkinan untuk percepatan pertumbuhan perbankan syariah ke
depan, juga memiliki tantangan persaingan yang lebih tajam. Tantangan tersebuat
antara lain:
1.
Bagi pelaku bank syariah nasional
dengan lahirnya UU Perbankan Syariah adalah adanya mbebasan pemilikan bank umum
syariah oleh badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing secara kemitraan secara langsung (Pasal 9) maupun melalui bursa
efek merupakan tantangan yang sangat besar bagi warganegara dan badan hukum
Indonesia dalam kepemilikan bank syariah ke depan.
2. Ketentuan
tentang pembebasan penggunaan tenaga kerja asing (Pasal 33 ayat (1) dapat merupakan tantangan besar bagi warganegara
Indonesia sebagai pengelola dan atau pekerja di perbankan Syariah.
3. Tantangan
lainnya adalah prinsip syariah yang menjadi dasar produk/jasa perbankan syariah
dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia oleh Komite Perbankan Syariah
berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (Pasal 26). Hal ini dapat membatasi
produk/jasa yang dapat dilakukan perbankan syariah di Indonesia. Suatu
produk/jasa perbankan syariah yang dapat dilakukan perbankan syariah di dunia
internasional bisa saja tidak dapat dilakukan di Indonesia.
Tantangan lain bagi industri
perbankan syariah yang mungkin dihadapi pasca regulasi
baru ini adalah tantangan orientasi
dan keberpihakan lembaga, etika (syariah) atau bisnis, akan selalu muncul di
depan. Penyatuan persepsi, oleh karenanya, masih menjadi gangguan dan
perkembangannya. Tantangan kemajuan zaman terkait dengan kejahatan teknologi,
dan kejahatan yang menggunakan bank sebagai alat dan sarana persembunyian dan
keamanan, serta tantangan berupa maraknya jenis-jenis dan instrumen transaksi
sebagai akibat dari mengglobalnya prinsip perbankan syariah.
Tantangan
lain bersifat teknis operasional ang meliputi; belum adanya standar mutu bagi lembaga
pendidikan pelatihan, pengajar dan lulusan, diversifikasi dan luasnya range
kualifikasi sumber daya manusia dengan bank syariah, perlu ada investor di
bidang pendidikan perbankan atau keuangan syariah, dan sosialisasi terhadap
masyarakat akan pilihan alternatif program pendidikan atau karir dibidang
perbankan syariah. Selain itu, cakupan pasar perbankan syariah saat ini masih
terbatas., Sampai akhir tahun 2012, pelayanan perbankan syariah hanya tersedia
13% jumlah kantor dari seluruh kantor bank umum yang ada di Indonesia.
Keterbatasan cakupan operasional
pada gilirannya akan menjadi kendala yang cukup signifikan bagi para pengguna
jasa perbankan syariah dan mengurangi nilai kenyamanan penggunaan jasa perbankan.
Tantangan yang telah teridentifikasi
di atas berguna untuk meingkatkan pelayanan bank syariah yakni dengan
menciptanya iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru, terutama
bank-bank konvensional yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas
ataumendorong aliansi strategis antara bank syariah dengan lembaga-lembaga
keuangan lainnya guna mencapai skala ekonomis operasional. Selanjutnya, dengan
penyederhanaan proses administrasi bagi masuknya para pemain baru dapat
dilakukan dengan tidak mengurangi prinsip kehati-hatian dalam kegiatan
operasional perbankan. Tersedianya informasi pasar/permintaan jasa perbankan
syariah dan tersedianya sumber daya insani yang kompeten dan profesional dalam
jumlah yang mencukupi oleh industri perbankan syariah.[10]
F. KESIMPULAN
Bank Syariah sebagai suatu bentuk
bank yang beroprasi dengan sistem bagi hasil secara internal memiliki kekuatan
dan kelemahan. Sedangkan dalam kancah bisnis yang penuh persaingan, BPR Syariah
menghadapi beberapa peluang dan tantangan. Kekuatan dan peluang dapat
dioptimalkan, kelemahan dan ancaman dapat diminimalkan jika dalam pengelolaan
bank Syariah dilakukan secara profesional dan kredibel. Syarat ini diperlukan
agar operasional bank syariah dapat efesien.
Efesiensi sebuah bank syariah akan
turut dinikmati pula oleh nasabahnya yang notabennya memang menuntun efesiensi.
Pada gilirannya, efesiensi memungkinkan lembaga keuangan yang bersangkutan
untuk bertahan dan berkembang, sehingga menambahkan kredibilitasnya lebih
lanjut. Bank Syariah yang tidak kredibel atau tidak profesional niscaya tidak
akan langgeng, konon pula berkembang.
DAFTAR RUJUKAN
Adiwarman A.Karim, Bank Islam, (Jakarta Pt. Raja Grafindo
Persada, 2006)
Bank Indonesia, Statistik
Perbankan Indonesia, September 2012
Erik Trolle-Schultz,
How the First Islamic Bank Was Established in Europe, (Londen 1986)
Halim Alamsyah “Perkembangan
dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA
2015” www.bi.go.id
Kadim Sadr, Money and Monetary Policies in Erly Islam (Silver
Spiring : Nur Copr, 1989)
Muhammad Rowwas
Qol’ahji,Ekonomi Syriah,(Ed.1V; Jakarta Timur: Iec Azzahra,20000)
Muhammad,Bank Syariah,(
Yongyakarta:Ekonisia,2002)
Sudin Haron, Prinsip dan Operasi perbankan Syariah Islam,
(Kuala Lumpur: Berita publishing Sdn Bhd, 1996)
Zainul
Arifin,Dasar-dasar manajemen bank syariah,(Cet.7; Tanggerang: Pustaka Alvabet,2009
)
[1] Muhammad,Bank Syariah,( Cet.3;
Yongyakarta:Ekonisia,2002) h. 21
[2] Zainul Arifin,Dasar-dasar
manajemen bank syariah,(Cet.7; Tanggerang: Pustaka Alvabet,2009 ) h.7
[3] Muhammad Rowwas Qol’ahji,Ekonomi
Syriah,(Ed.1V; Jakarta Timur: Iec Azzahra,20000) h. 226
[5]
Ibid h. 26-27
[6] Sudin Haron, Prinsip dan Operasi perbankan Syariah Islam,
(Kuala Lumpur: Berita publishing Sdn Bhd, 1996), h.5
[7] Kadim Sadr, Money and Monetary Policies in Erly Islam (Silver Spiring : Nur
Copr, 1989), h.207
[8] Erik Trolle-Schultz, How the
First Islamic Bank Was Established in Europe, (Londen 1986) h. 43-53.
[9] Halim Alamsyah “Perkembangan dan
Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015”
www.bi.go.id
[10]
(Economic:
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, h. 42)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar