Rabu, 25 Januari 2017

Meningkatkan Kepercayaan Muzakki dan Kredibilitas Lembaga Pengelolaan Zakat



MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MUZAKKI DAN
KREDIBILITAS LEMBAGA PENGELOLAAN ZAKAT

SUSILA SANTI (01133144)
Jurusan Syariah, Prodi Ekonomi Syariah Semester VII, Kelompok 5
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Watampone.
Email:Susilasanti13@gmail.com

ABSTRAK
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang menggantikan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, diharapkan dapat memberikan kepastian dan tanggung jawab baru kepada pemerintah dalam mengelola badan amil zakat (BAZNAS) dan mampu mengkoordinasikan kepentingan stake holders. Lembaga pengelola zakat merupakan lembaga non-profit yang bertujuan untuk membantu umat Islam menyalurkan zakat, infaq dan sedekah kepada yang berhak. Aktivitas tersebut melibatkan beberapa pihak yang saling berkaitan yakni pemberi zakat (muzaki), pengelola (amil), dan penerima zakat (mustahiq).
Jurnal ini membahas mengenai Meningkatkan Kepercayaan Muzakki dan Kredibilitas Lembaga Pengelola Zakat. Namun sebelum melangkah lebih jauh ke kredibilitas lembaga pengelola zakat, terlebih dahulu akan diuraikan secara garis besarnya dimanat mengenai : (1)perilaku muzakki dalam membayar zakat, (2), lembaga pengelola zakat, (3) membangun manajemen lembaga pengelolaan dana ZIS yang ideal, (4) akuntabilitas pengelola zakat, (5) prinsip-prinsip manajemen lembaga pengelola zakat yang akuntabel, (6) fatwa-fatwa tentang zakat di Indonesia.
Kata Kunci : zakat, infak, sedekah, lembaga amil zakat, muzaki, mustahiq.

PENDAHULUAN
Rendahnya zakat yang berhasil di himpun bisa jadi mencerminkan belum optimalnya kinerja dari Lembaga Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Di Indonesia sendiri, Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbeda dengan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh negara. LAZ merupakan organisasi yang tumbuh atas dasar inspirasi masyarakat sehingga pergerakannya lebih cenderung pada usaha swasta atau swadaya. Sehingga yang menjadi pekerja Amil Zakat paling besar diantara usaha-usaha lainnya yaitu penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Pendayagunaan merupakan usaha Amil Zakat dalam mengelola dan mendistribusikan zakat sehingga selain mencari cara agar tersalurkannya dana zakat kepada orang-orang yang menjadi haknya, zakat juga menjadi nilai dan kekuatan lebih tinggidalam kehidupan umat.
Sementara pengumpulan zakat merupakan usaha Amil dalam menghimpun zakat dari para muzakki (yang menunaikan zakat), hal ini menjadi usaha penting bagi LAZ, selain agar terhimpunnya dana zakat yang besar, juga sebagai tolak ukur besar kecilnya penghasilan juga pemasukan yang diterima amilin. Besar kecilnya dana zakat yang bisa dihimpun tentu bergantung dari kepercayaan para muzakki dalam menitipkan ibadah zakatnya pada lembaga tersebut dan tumbuh tidaknya kepercayaan muzakki terhadap lembaga tersebut tentu bergantung pada bagus atau tidaknya kinerja serta sesuai tidaknya penyauluran zakat terhadap para mustahik itu dengan yang disyaratkan Islam.
Perilaku muzakki dalam membayar zakat merupakan bagian dari perilaku yang tampak dari individu. Faktor penentu dari perilaku indivudu ini yaitu besarnya intense individu untuk menampilkan atau atau tidak menampilkan perilaku terebut intensi dapat digunakan untuk meramalkan seberapa kuat keinginan individu untuk menampilkan perilaku tersebut dan seberapa banyak usaha yang direncanakan atau dilakukan untuk menampilkan perilaku tertentu.[1]
  Dalam pelaksanaan pembayaran zakat, infak dan sedekah (ZIS), agama Islam memberikan kebebasan kepada masing−masing individu, apakah akan langsung memberikan kepada kaum dhuafa (mustahik), dititipkan kepada orang atau lembaga pengelola zakat.[2] Dalam hal penyaluran dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) ini, pemerintah telah mengatur dalam UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Di dalam UU tersebut dijelaskan tentang adanya Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ), sebagai pengelola ZIS. Hal itulah membuat banyak lembaga yang mengatasnamakan sebagai pengelola ZIS terus tumbuh dimana−mana.[3]
Banyaknya lembaga amil zakat (LAZ) yang muncul sebagai pengelola dana ZIS semakin membuat masyarakat muslim Indonesia kebingungan untuk menyalurkan dana ZIS mereka. Ditambah, banyaknya LAZ yang berada dalam lingkup kerja yang berbeda−beda, baik secara nasional maupun dalam satu wilayah saja. Jika diperhatikan hampir disetiap kota di Indonesia ada lembaga amil zakat, baik itu sebagai kantor pusat atau kantor cabang.[4]
Pengelolaan dana ZIS tersebut sangat diperlukan untuk program penyaluran atau pemberdayaan masyarakat dari dana ZIS tersebut, dan tidak hanya sekedar menyantuni saja. Karena jika program penyaluran dana ZIS tersebut hanya sekedar bagi−bagi saja, hal itu akan menjadikan para mustahik (dhuafa) menjadi manusia−manusia yang hanya mau menerima saja.[5]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis akan membahas mengenai meningkatkan kepercayaan muzaakki dan kredibilitas lembaga pengelolaan zakat yang berkaitan dengan Negara Indonesia. Masalah ini diangkat, karena masyarakat muslim di Indonesia kebingungan untuk menyalurkan dana ZIS mereka dan masih belum percaya dengan lembaga amil zakat karena dinilai kurang transparan. Sehingga dalam sistem pengelolaan dana zakat harus bersifat akuntabel, transparan dan memberikan informasi yang berkualitas
.
PEMBAHASAN
Perilaku Muzakki Dalam Membayar Zakat
Kesadaran pelaksanaan zakat masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya seperti shalat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariat Islam menyebabkan pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu. Hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar pelaksanaan ibadah zakat menjadi lebih efektif dan efisien. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemasyarakatan ibadah zakat yang dituntunkan oleh syariat Islam perlu ditingkatkan.[6]
 Zakat adalah kewajiban setiap muslim yang mampu menunaikannya, dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak  menerimanya sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan hadis Nabi saw.  Akan tetapi, dalam kenyataannya kaum muslimin masih banyak  yang belum menunaikan tuntunan agama ini, padahal zakat  merupakan sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat Islam.[7]
Pembayaran zakat mempunyai aspek Habl min Allâh, yaitu hubungan manusia dengan Allah swt. di mana zakat sebagai sarana beribadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan aspek Habl min al-Nâs, yaitu hubungan manusia dengan manusia, di mana zakat dapat berperan untuk mempersempit jurang perbedaan dan ketimpangan serta kesenjangan sosial sehingga zakat dapat membersihkan manusia dari sifat loba, rakus, dan bakhil sehingga menjadi pribadi-pribadi yang bersih, jujur, penuh toleransi, dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.[8]
Kepemilikan harta benda oleh aghniyâ’ (orang-orang kaya) pada hakikatnya adalah titipan (amanah) dari Allah swt., sedangkan hak milik mutlak hanya ada Allah swt. Oleh karena itu, harta kekayaan menurut Islam memiliki fungsi sosial, yaitu tidak saja untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat  muslim dan agama.[9]
Menunaikan zakat merupakan kewajiban umat Islam yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Zakat sebagai kewajiban bagi umat Islam yang jika dijalankan dengan semestinya, akan memberi dampak sangat kongkret dalam proses pertumbuhan ekonomi masyarakat. Zakat, selain berfungsi sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, juga berfungsi sebagai sarana penciptaan kerukunan hidup antara golongan kaya dan miskin. Selain itu, mengeluarkan zakat dapat mencegah monopoli harta kekayaan oleh orang-orang kaya. Selain sebagai kewajiban umat Islam, zakat merupakan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat Islam.Oleh karena itu, apabila dikelolah dengan baik dan benar, zakat dapat dijadikan sebagai salah satu potensi ekonomi umat yang dapat dijadikan sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat Islam, terutama untuk menanggulangi kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial. Untuk maksud ini, perlu ada pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan bersama masyarakat dan Pemerintah.[10]
Zakat dapat ditunaikan melalui lembaga-lembaga zakat yang dibentuk oleh Pemerintah maupun masyarakat. Saat ini, dengan dibentuknya Badan Amil Zakat, atau lembaga zakat lainnya, semakin memudahkan umat Islam menunaikan zakatnya. Selama ini umat Islam membayar zakat melalui lembaga-lembaga yang dipercayainya dapat menyalurkan zakat mereka kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Masyarakat muslim, selain menunaikan zakat pada BAZ juga menunaikannya di lembaga-lembaga lain.[11]
Dalam usaha pengelolaan zakat, Peraturan Daerah diharapkan dapat mengatur kewenangan BAZ dalam mengelolah zakat secara efektif dan efisien. Badan Amil Zakat sebagai lembaga pengumpul zakat akan mendistribusikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya sehingga zakat benar-benar memiliki fungsi sosial-ekonomi untuk membantu masyarakat muslim miskin sehingga dapat keluar dari keterpurukan ekonomi dan beban hidup keluarga.[12]
Pengelolaan zakat hingga kini belum memberikan hasil yang optimal. Pengumpulan maupun pemberdayaan dana zakat masih belum mampu memberikan pengaruh besar bagi terwujudnya kesejahteraan umat Islam, padahal pengelolaan zakat telah ditopang oleh perangkat hukum, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.[13]
Permasalahan yang sering mucul di tengah masyarakat kita yaitu kepada siapa zakat harus diberikan. Lebih utama disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahik, atau sebaliknya melalui amil zakat. Jika disalurkan kepada mustahik, memang ada perasaan tenang karena menyaksikan secara langsung zakatnya tersebut telah disalurkan kepada mereka yang dianggap berhak menerimanya. Tapi terkadang penyaluran langsung yang dilakukan oleh uzakki tidak mengenai sasaran yang tepat. Terkadang orang sudah merasa menyalurkan zakat kepada mustahik, padahal yang menerima bukan mustahik yang sesungguhnya, hanya karena kedekatan emosi maka ia memberikan zakat kepadanya. Misalnya disalurkan kepada kerabatnya sendiri, yang menurut anggapannya sudah termasuk kategori mustahik, padahal jika dibandingkan dengan orang yang berada di lingkungan sekitarnya, pasti banyak orang-orang yang lebih berhak untuk menerimanya sebab lebih fakir, lebih miskin, dan lebih menderita disbanding dengan kerabatnya tersebut.
Disisi lain tingkat kepercayaan masyarakat pada badan atau institusi pemerintah dan pengelola zakat masih rendah. Hal ini disebabkan oleh belum adanya standar profesionalisme baku yang menjadi tolak ukur bagi badan atau lembaga pemerintah dan pengelola zakat di Indonesia, sehingga efektivitas penerapan ketentuan Undang-undang tersebut masih bersifat setengah hati dalam menjalankannya.[14]
Lembaga Pengelola Zakat
Amil Zakat dalam dalam kitab-kitab dan perundang-undangan  Amil adalah berasal dari kata bahasa Arab ‘amila ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil adalah orang yang bekerja. Dalam konteks zakat, menurut Qardhawi yang dimaksudkan amil zakat dipahami sebagai pihak yang bekerja dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat.[15]
Jika yang mengelola adalah lembaga, maka semua pihak yang terkait dengannya adalah amil, baik itu direkturnya, para pegawai dibidang manajemen, keuangan, pendistribusian, pengumpulan, keamanan dan lain-lain. Mereka ini mendapatkan gaji dari bagian amil zakat tersebut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang pegelola zakat atau amil zakat yaitu:
1.    Hendaknya dia seorang muslim.
Karena zakat ini urusan kaum muslim, maka lslam menjadi syarat bagi urusan mereka.
2.    Akil balig dan terpercaya
Persyaratan ini disepakati oleh ulama karena orang yang sudah balig dapat membedakan antara yang baik dan yang salah.
3.    Jujur.
Karena diberikan amanat oleh kaum muslim,  janganlah petugas zakat itu orang kasik dan tidak dapat dipercaya. Ataupun berbuat sewenag-wenang terhadap hak fakir miskin yang hanya mengikut hawa nafsux.
4.    Memahami hukum-hukum zakat.
Para ulama mensyaratkan petugas zakat itu paham terhadap hukum zakat, apabila ia deserahi urusan umum. 
5.    Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas.
Petugas zakat hendaklah memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu. Selain itu Amil juga harus memiliki kejujuran, kekuatan dan kemampuan untuk bekerja dan cerdas.
6.    Amil disyaratkan laki-laki.
Sebagian ulama mensyaratkan amil zakat itu harus laki-laki. Mereka tidak membolehkan wanita dipekerjakan sebaagai amil zakat, karena pekerjaan itu urusan sedekah. Pendapat ini mengemukakan alasan kecuali perkataan Nabi SAW berikut: “tidak akan berhasil suatu kaum bila urusan mereka disdrahkan kepada perempuan”.
Sesungguhnya dalam masalah persyaratan amil zakat tidak ada dalil khusus yang melarang wanita bekerja sebagai amil zakat. Memang kaidah umum yang mengharuskan wanita malu dan menjauhkan dari berkerumun dan bergaul dengan laki-laki tanpa ada kepentingan. Namun semua ini tidak mutlak melarang perempuan menjadi amil zakat. Oleh karena itu pekerjaan sebagai amil zakat lebih baik dilakukan oleh lelaki, kecuali dalam hal-hal tertentu seperti wanita ditugaskan memberikan bantuan zakat kepada janda atau wanita yang lemah yaitu pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan oleh wanita daripada lelaki.[16]
7.    Sebagian ulama mensyaratkan amil itu orang yang merdeka bukan seorang hamba.
Mereka mengemukakan suatu hadits riwayat Ahmad dan Bukhari. Rasulullah bersabda: “dengarkan oleh kalian dan taatilah. Walaupun yang memerintahkan kamu seorang budak yang rambutnya keriting seperti kismis.” Oleh budak pun dapat diselesaikan, karenanya ia sama dengan orang yang merdeka.[17]
Secara defenitif, Lembaga pengelola zakat (LPZ) merupakan sebuah institusi yang bertugas dalam pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah, baik yang dibentuk oleh pemerintah seperti BAZ, maupun yang dibentuk oleh masyarakat dan dilindungi oleh pemerintah seperti LAZ. Bahwa ”Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkoordinasian dalam pegumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.”
Untuk dapat mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya untuk kepentingan mustahik maka pada tahun 1999 dibentuk Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Zakat yaitu UU No. 38 Tahun 1999. UU ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Sebelumnya pada tahun 1997 juga keluar Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang memberi wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah (ZIS). Diberlakukannya beragam peraturan tersebut telah mendorong lahirnya berbagai Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) di Indonesia. Kemunculan lembaga-lembaga itu diharapkan mampu merealisasikan potensi zakat di Indonesia.[18]spengelola zakat yang dibentuk oleh Pemerintah secara perlahan tapi pasti dapat terus meningkatkan pengumpulan dana zakat yang cukup signifikan. Pada tahun 2007 dana zakat yang terkumpul di BAZNAS mencapai Rp. 450 miliar, 2008 meningkat menjadi Rp. 920 miliar, dan pada 2009 tumbuh menjadi Rp. 1,2 triliun. Untuk tahun 2010, dana zakat yang berhasil dikumpulkan BAZNAS mencapai Rp. 1,5 triliun. Meskipun angka yang berhasil dicapai oleh BAZNAS belum sebanding dengan potensi zakat yang ada di tengah-tengah masyarakat yang diprediksi bisa mencapai Rp. 19 triliun (PIRAC), atau Rp. 100 triliun (Asian Development Bank). Akan tetapi, apa yang telah dicapai oleh BAZNAS sesungguhnya merupakan prestasi yang luar biasa dalam menghimpun zakat.[19]
Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat yang bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahatan umat Islam. Adapun institusi yang mengurusi zakat yang lain adalah Badan Amil Zakat (BAZ).
Badan Amil Zakat (BAZ) yaitu organisasi pengelola zakat yang di bentuk oleh pemerintah terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Lembaga pengelola zakat pada hakikatnya termasuk kategori lembaga publik karena mengelola dana publik. Sudah menjadi kewajiban lembaga publik untuk mempertanggung jawabkan dana-dana yang dikelolanya kepada publik secara transparan. Oleh karena itu lembaga pengelola zakat harus mampu meningkatkan kualitas program dan pelayanan yang lebih terfokus dan berdampak luas.
Membangun Manajemen Lembaga Pengelolaan Dana ZIS yang Ideal
Sejarah perjalanan profesi Amil Zakat telah ditorehkan berabad abad silam dan telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran Amil zakat telah digagas sejak 13 abad yang lalu saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya Islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua.[20] Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktikkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktik pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infaq, dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus menguat. Hingga saat ini pertumbuhan Lembaga Amil Zakat dari tahun ke tahun terus berkembang dan cukup membanggakan.[21]
Dari pertumbuhan ini dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat, infaq, dan sedekah. Salah satu yang tampak jelas adalah adanya transparansi dan akuntabilitas dana-dana publik yang diamanahkan kepada lembaga zakat. Lahirnya lembaga amil zakat juga menyemangati masyarakat untuk membayar zakat melalui lembaga. Dari sisi kompetensi, Amil zakat dituntut untuk profesional, amanah dan memahami fikih serta manajemen zakat. Memilih amil yang profesional pun dilakukan oleh lembaga pengelola zakat dengan sangat ketat melalui proses perekrutan dengan berbagai tahapan. Mulai dari wawancara, tes Psikologi, tes pemahaman tentang fikih dan menajemen zakat serta kompetensi yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Sementara itu paradigma kalau zakat itu wajib, sehingga sosialisasinya seadanya juga sudah berubah. Promosi lembaga zakat kini sudah merambah multi media. Lembaga zakat bahkan telah bermitra dengan berbagai perusahaan untuk sinergi dalam program-program pemberdayaan yang akan digagas serta berkreasi bagaimana membuat program yang menyentuh aspek sosial yang sesungguhnya. Dengan program pemberdayaan yang menarik, kepercayaan dari donatur pun akan tumbuh. Kuatnya para pegiat zakat ini terlihat dari semangat dan kreatifitas menggagas program-program pemberdayaan yang memberi dampak yang berkelanjutan bagi kaum dhuafa.[22]
Secara manajemen, lembaga pengelola zakat telah melakukan berbagai perubahan. Seperti DSNI Amanah misalnya, transaksi pembayaran zakat sudah dilakukan dengan sistem komputerisasi. Semua donatur yang membayar zakat terdata dengan rapi. Begitu pula mustahik yang menerima manfaat. Dari sisi transparansi keuangan, DSNI Amanah telah melakukan Audit bersama akuntan publik dengan hasil yang wajar secara meterial. Agar kemudahan komunikasi terjalin harmonis dengan masyarakat. DSNI Amanah membuat media komunikasi berupa bulletin dan News Letter. DSNI Amanah juga telah menyediakan website Bagi umat Islam, zakat merupakan salah satu rukun Islam dan perintah untuk menunaikan zakat sama tingkatannya dengan perintah untuk melaksanakan shalat. Akan tetapi kenyataannya umat Islam lebih banyak terkonsentrasi pada masalah shalat dan hal yang terkait dengannya. Padahal shalat dan zakat adalah dua pilar yang saling melengkapi. Jika shalat termasuk ibadah jismiyah maka zakat adalah ibadah maliyah, yaitu ibadah dari harta yang dimiliki. Jika shalat menyucikan fikiran dan hati maka zakat menyucikan harta dan menumbuhkannnya.[23] Perkembangan lembaga pengelola zakat di tanah air kita telah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan, meski terdapat kendala dan kekurangan yang perlu diperbaiki di masa yang akan datang. Kemajuan tersebut melahirkan kebutuhan terhadap piranti yang dimiliki oleh setiap lembaga pengelola zakat yang dituntut agar bekerja secara profesional, amanah, transparan, dan akuntabel.[24]
Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah (1) meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada di masyarakat bahwa sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan kemampuan akan tetapi adalah tentang kesadaran ibadah zakat yang kurang terutama dari umat Islam sendiri. (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.[25] Zakat adalah merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajat kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada fakir miskin di daerah asal zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif maupun produktif (investasi).[26]
Oleh karena itu, penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya akan mengurangi derajat kejahatan di tengah masyarakat.
Akuntabilitas Pengelolaan Zakat
Teori asimetri informasi (information asymetry) berbicara mengenai ketidakpercayaan masyarakat terhadap organisasi sektor publik lebih disebabkan oleh kesenjangan informasi antara pihak manajemen yang memiliki akses langsung terhadap informasi dengan pihak konstituen atau masyarakat yang berada di luar manajemen. Pada tataran ini, konsep mengenai akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang sangat penting terkait dengan pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan, melaporkan dan mengungkap segala aktifitas kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna dan seberapa mudah informasi tersebut diakses oleh masyarakat.[27]
Adanya regulasi mengenai pengelolaan keuangan Organisasi Pengelola Zakat, seperti yang termaktub dalam undang-undang Zakat No.38 Tahun 1999 Bab VIII pasal 21 Ayat 1 yang dikuatkan oleh KMA Depag RI No. 581 Tahun 1999 mengenai pelaksanaan teknis atas ketersediaan audit laporan keuangan lembaga, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tetang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penhasilan, Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat dan juga aturan yang dikeluarkan oleh PSAK (Penyusunan Standar Akuntansi Keuangan) No.45 tentang akuntansi Organisasi nirlaba, seharusnya dengan adanya aturan-aturan tesebut, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) diharapkan bisa lebih baik, sehingga kepercayaan masyarakat muzakki kepada organisasi pengelola zakat dapat meningkat.[28]
Dengan demikian, LAZ yang akuntabel adalah lembaga yang mampu membuat laporan tahunan yang memuat semua informasi relevan yang dibutuhkan dan laporan tersebut dapat secara langsung tersedia dan aksesibel bagi para pengguna potensial. Jika informasi pengelolaan LAZ tersedia dan aksesibel, maka hal ini akan memudahkan stakeholders mendapatkannya dan melakukan pengawasan. Jika kondisinya demikian, maka pihak manajemen LAZ akan tertuntut untuk lebih akuntabel.[29]
Prinsip-prinsip Manajemen Lembaga Pengelola Zakat yang Akuntabel
Bicara zakat, yang terpenting dan tidak boleh dilupakan adalah peran para amil zakat selaku pengemban amanah pengelolaan dana-dana itu. Jika amil zakat baik, maka tujuh asnaf mustahik lainnya insya Allah akan menjadi baik. Tapi jika amil zakat-nya tidak baik, maka jangan diharap tujuh asnaf mustahik yang lain akan menjadi baik. Itulah nilai strategisnya amil zakat. Dengan kata lain, hal terpenting dari zakat adalah bagaimana mengelolanya (manajemennya).[30] Baiknya manajemen suatu organisasi pengelolaa zakat harus dapat di ukur, untuk itulah akan dirumuskan dalam tiga kata kunci. Yaitu:[31]
Amanah
Sifat Amanah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sistem yang dibangun. Sebagaimana hancurnya perekonomian kita yang lebih besar disebabkan karena rendahnya moral (moral hazard) dan tidak amanahnya para pelaku ekonomi. Sebaik apapun sistem yang ada, akan hancur juga jika moral pelakunya rendah. Terlebih dana yang dikelola oleh OPZ adalah dana umat. Dana yang dikelola itu secara esensi adalah milik mustahik. Dan muzakki setelah memberikan dananya kepada OPZ tidak ada keinginan sedikitpun untuk mengambil dananya lagi. Kondisi ini menuntut dimilikinya sifat amanah dari para amil zakat.
Profesional
Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya. Hanya dengan profesionalitas yang tinggilah dana-dana yang dikelola akan menjadi efektif dan efisien.
Transparan
Dengan transparannya pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja tetapi juga akan melibatkan pihak ekstern seperti para muzakki maupun masyarakat secara luas. Dan dengan transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat diminimalisasi.
Oleh karena itu, diterapkannya tiga prinsip di atas insya Allah akan membuat OPZ, baik BAZ maupun LAZ, dipercaya oleh masyarakat luas.
Fatwa-Fatwa Tentang Zakat di Indonesia
Tujuan dilaksanakannya pengelolaan zakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penunaian dan pelayanan ibadah zakat. untuk meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial atau menghapuskan derajad kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada mustadz’afiin (fakir miskin) didaerah dimana zakat itu dipungut.[32] Jika dikelola dengan baik maka hal ini akan terjadi aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari kelompok konsumtif maupun produktif (investasi). Penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada gilirannya akan mengurangi tingkat kejahatan ditengah masyarakat.[33]
Dalam upaya meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat, perlu peranan pemerintah dalam setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata untuk mengetahui potensi-potensi atau peluang untuk melakukan maka perlu adanya perhatian dan pembinaan yang memadai guna memupuk nilai kepercayaannya, terhadap mustahiqpun juga demikian. Pembinaan dengan cara misalnya tidak memberi ikan tetapi perlu member pancingnya dengan kata lain mustahiq perlu diberikan pendidikan pembinaan penggunaan uang yang diberikan tidak seketika tetapi berkelanjutan dengan jalan memanfatkan uang yang diberikan digunakan sebagai modal usaha misalnya program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan sejauh mana mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, sehingga status mustahiq berubah menjadi muzakki.[34]
Pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan serta pengawasan terhadap kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai ditingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kecamatan. Dan pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat baik berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.[35]
Terkait dengan peran pemerintah dan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh umat manusia maka dalam pengumpulan zakat, diperlukan pemimpin yang kuat yang bisa melindungi, menggerakkan, dan sekaligus dicontoh. Masyarakat yang dipimpin oleh orang yang lemah, maka tidak akan maju., untuk menggerakkan zakat, memerlukan pemimpin yang kuat. Dalam sejarahnya Umar bin Khotob, dikenal sebagai pemimpin yang kuat, termasuk dalam memungut dan membagikan zakat kepada yang berhak.[36]
Peran pemerintah dalam pengelolaan zakat pertama, pemerintah berperan sebagai pelaksana tunggal dalam pengelolaan zakat, baik dalam pemungutan maupun pembagian zakat. Kedua, pemerintah berperan sebagai pemberi sanksi (‘uqubat) terhadap mereka yang enggan melaksanakan zakat. Kedua Pemerintah sebagai Pengelola Zakat. Zakat memerlukan manajemen yang dilakukan dengan cepat, tetapi terbuka dalam arti bisa dikontrol oleh masyarakat. Siapapun dalam hatinya memerlukan kepuasan. Sekalipun zakat adalah ibadah yang telah dikeluarkan secara ikhlas, tetapi pembayar zakat akan menuntut agar harta yang dikeluarkan itu benar-benar disalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya. Dalam hal ini amil memegang kunci yg sangat sentral dalam mendayagunakan dana zakat dalam menyalurkan ke mustahik guna mencapai rakyat yang sejahtera.[37] "Posisi amil itu sebagai jembatan antara pemberi zakat dan mustahik, amil juga harus bisa mendiagnosis keperluan yang dibutuhkan oleh calon mustahik," Misalnya, mustahik membutuhkan modal usaha, jadi amil memberikan bantuan dalam bentuk uang guna membangun usaha mustahik,peran amil di sini sangat penting dalam pengelolaan dan penyaluran zakat, serta amil itu sendiri harus mampu mendiagnosis keperluan yang dibutuhkan mustahik,".[38]

PENUTUP
Zakat merupakan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat Islam. Oleh karena itu, apabila dikelolah dengan baik dan benar, zakat dapat dijadikan sebagai salah satu potensi ekonomi umat yang dapat dijadikan sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat Islam, terutama untuk menanggulangi kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial.
Tujuan dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah (1) meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Dengan demikian, konsep mengenai akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang sangat penting terkait dengan pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan, melaporkan dan mengungkap segala aktifitas kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna dan seberapa mudah informasi tersebut diakses oleh masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Dzajuli & Prof. H. Ahmad, “Lembaga-lembaga Perekonomian Umat”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hafidhuddin & Didin, “Zakat Dalam Perekonomian Modern”, Jakarta : Gema Insani, 2002.
Hafidhuddin, Didin, “Zakat dalam Perekonomian Modern”, cet. 1; Jakarta: Gema Insani, 2002.
Hikmat Kurnia, A Hidayat, “Panduan Pintar Zakat”, Jakarta: QultumMedia, 2008.
Huda Nurul dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro, Jakarta :Prenadamedia Group, 2015.
Karim, Adiwarman A, “Ekonomi Mikro Islam”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Qadir, Abdurrahman, “Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Soekarni, M., Septia, Y., Usman, T. S., & Thoha, M. (2008). Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Edisi Khusus
Suparman Usman, Hukum Islam: “Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, cet. 2; Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002.
Yusuf al-Qardawi, “Norma dan Etika Ekonomi Islam”, Jakarta: Gema Insani, 1997.


[1] Nurul Huda dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro (Jakarta :Prenadamedia Group, 2015), h. 128.
[2]Soekarni, M., Septia, Y., Usman, T. S., & Thoha, M. (2008). Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Edisi Khusus, h. 2.

[3] Ibid.
[4] Hafidhuddin & Didin, “Zakat Dalam Perekonomian Modern”, (Jakarta : Gema Insani, 2002), h. 21.
[5] Ibid, h. 22.
[6]Ibid, h. 128.
[7] Yusuf al-Qardawi, “Norma dan Etika Ekonomi Islam”, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 63.
[8] Ibid.
[9] Ibid, h. 64.
[10] Qadir, Abdurrahman, “Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 28.
[11] Ibid.
[12] Hafidhuddin, Didin, “Zakat dalam Perekonomian Modern”, cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 33.
[13] Ibid, h. 34.
[14] Ibid, h. 129.
[15] Didin Hafidhuddin, dkk, The Power Of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat (Cet.I; UIN-Malang Press: Malang, 2008), h. 6

[16] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab (Cet.III; PT.Remaja Rosdakarya:Bandung, 1997), h.11
[17] Ibid
[18] Muchaddam Fahham, Paradigma Pengelolaan Zakat Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 14
[19] Ibid
[20] Dzajuli & Prof. H. Ahmad, “Lembaga-lembaga Perekonomian Umat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 10.
[21] Ibid.
[22] Ibid, h. 12.
[23] Hikmat Kurnia, A Hidayat, “Panduan Pintar Zakat”, (Jakart: QultumMedia, 2008), h. 22.
[24] Ibid.
[25] Hafidhuddin & Didin, “Zakat…, h. 27.
[26] Ibid.
[27] Karim, Adiwarman A, “Ekonomi Mikro Islam”, (Jakart: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 34.
[28] Ibid, h. 37.
[29] Ibid.
[30] Suparman Usman, Hukum Islam: “Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”, cet. 2 (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002), h. 12
[31] Ibid, h. 13.
[32] Hikmat Kurnia, A Hidayat, “Panduan…, h. 16.
[33] Ibid.
[34] Ibid, h. 17-18.
[35] Yusuf al-Qardawi, “Norma..., h. 28.
[36] Ibid.
[37] Ibid, h. 29.
[38] Ibid, h. 29-30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar