MENINGKATKAN
KEPERCAYAAN MUZAKKI DAN
KREDIBILITAS LEMBAGA PENGELOLAAN ZAKAT
SUSILA SANTI (01133144)
Jurusan Syariah, Prodi
Ekonomi Syariah Semester VII, Kelompok 5
Sekolah Tinggi Agama
Islam Negri (STAIN) Watampone.
Email:Susilasanti13@gmail.com
ABSTRAK
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang menggantikan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999, diharapkan dapat memberikan kepastian dan tanggung jawab baru
kepada pemerintah dalam mengelola badan amil zakat (BAZNAS) dan mampu
mengkoordinasikan kepentingan stake holders. Lembaga pengelola zakat
merupakan lembaga non-profit yang bertujuan untuk membantu umat Islam
menyalurkan zakat, infaq dan sedekah kepada yang berhak. Aktivitas tersebut
melibatkan beberapa pihak yang saling berkaitan yakni pemberi zakat (muzaki),
pengelola (amil), dan penerima zakat (mustahiq).
Jurnal ini membahas mengenai Meningkatkan
Kepercayaan Muzakki dan Kredibilitas Lembaga Pengelola Zakat. Namun sebelum
melangkah lebih jauh ke kredibilitas lembaga pengelola zakat, terlebih dahulu
akan diuraikan secara garis besarnya dimanat mengenai : (1)perilaku
muzakki dalam membayar zakat, (2), lembaga pengelola zakat, (3) membangun manajemen lembaga
pengelolaan dana ZIS yang ideal, (4) akuntabilitas pengelola zakat, (5) prinsip-prinsip manajemen lembaga pengelola zakat yang
akuntabel, (6) fatwa-fatwa tentang zakat di Indonesia.
Kata
Kunci : zakat,
infak, sedekah, lembaga amil zakat, muzaki, mustahiq.
PENDAHULUAN
Rendahnya zakat yang
berhasil di himpun bisa jadi mencerminkan belum optimalnya kinerja dari Lembaga
Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Di Indonesia sendiri,
Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbeda dengan Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh
negara. LAZ merupakan organisasi yang tumbuh atas dasar inspirasi masyarakat
sehingga pergerakannya lebih cenderung pada usaha swasta atau swadaya. Sehingga
yang menjadi pekerja Amil Zakat paling besar diantara usaha-usaha lainnya yaitu
penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Pendayagunaan merupakan usaha Amil Zakat
dalam mengelola dan mendistribusikan zakat sehingga selain mencari cara agar
tersalurkannya dana zakat kepada orang-orang yang menjadi haknya, zakat juga
menjadi nilai dan kekuatan lebih tinggidalam kehidupan umat.
Sementara pengumpulan
zakat merupakan usaha Amil dalam menghimpun zakat dari para muzakki (yang
menunaikan zakat), hal ini menjadi usaha penting bagi LAZ, selain agar
terhimpunnya dana zakat yang besar, juga sebagai tolak ukur besar kecilnya
penghasilan juga pemasukan yang diterima amilin. Besar kecilnya dana zakat yang
bisa dihimpun tentu bergantung dari kepercayaan para muzakki dalam menitipkan
ibadah zakatnya pada lembaga tersebut dan tumbuh tidaknya kepercayaan muzakki
terhadap lembaga tersebut tentu bergantung pada bagus atau tidaknya kinerja
serta sesuai tidaknya penyauluran zakat terhadap para mustahik itu dengan yang
disyaratkan Islam.
Perilaku muzakki
dalam membayar zakat merupakan bagian dari perilaku yang tampak dari individu.
Faktor penentu dari perilaku indivudu ini yaitu besarnya intense individu untuk
menampilkan atau atau tidak menampilkan perilaku terebut intensi dapat
digunakan untuk meramalkan seberapa kuat keinginan individu untuk menampilkan
perilaku tersebut dan seberapa banyak usaha yang direncanakan atau dilakukan
untuk menampilkan perilaku tertentu.[1]
Dalam pelaksanaan pembayaran zakat, infak dan
sedekah (ZIS), agama Islam memberikan kebebasan kepada masing−masing individu,
apakah akan langsung memberikan kepada kaum dhuafa (mustahik), dititipkan
kepada orang atau lembaga pengelola zakat.[2]
Dalam hal penyaluran dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) ini, pemerintah telah
mengatur dalam UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Di dalam UU
tersebut dijelaskan tentang adanya Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil
Zakat (LAZ), sebagai pengelola ZIS. Hal itulah membuat banyak lembaga yang
mengatasnamakan sebagai pengelola ZIS terus tumbuh dimana−mana.[3]
Banyaknya lembaga amil
zakat (LAZ) yang muncul sebagai pengelola dana ZIS semakin membuat masyarakat
muslim Indonesia kebingungan untuk menyalurkan dana ZIS mereka. Ditambah,
banyaknya LAZ yang berada dalam lingkup kerja yang berbeda−beda, baik secara
nasional maupun dalam satu wilayah saja. Jika diperhatikan hampir disetiap kota
di Indonesia ada lembaga amil zakat, baik itu sebagai kantor pusat atau kantor
cabang.[4]
Pengelolaan dana ZIS
tersebut sangat diperlukan untuk program penyaluran atau pemberdayaan
masyarakat dari dana ZIS tersebut, dan tidak hanya sekedar menyantuni saja.
Karena jika program penyaluran dana ZIS tersebut hanya sekedar bagi−bagi saja,
hal itu akan menjadikan para mustahik (dhuafa) menjadi manusia−manusia yang
hanya mau menerima saja.[5]
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka penulis akan membahas mengenai meningkatkan
kepercayaan muzaakki dan kredibilitas lembaga pengelolaan zakat yang berkaitan
dengan Negara Indonesia. Masalah ini diangkat, karena masyarakat muslim di
Indonesia kebingungan untuk menyalurkan dana ZIS mereka dan masih belum percaya
dengan lembaga amil zakat karena dinilai kurang transparan. Sehingga dalam sistem
pengelolaan dana zakat harus bersifat akuntabel, transparan dan memberikan
informasi yang berkualitas
.
PEMBAHASAN
Perilaku Muzakki Dalam
Membayar Zakat
Kesadaran pelaksanaan
zakat masih belum diikuti dengan tingkat pemahaman yang memadai tentang ibadah
yang satu ini, khususnya jika diperbandingkan dengan ibadah wajib lainnya
seperti shalat dan puasa. Kurangnya pemahaman tentang jenis harta yang wajib zakat
dan mekanisme pembayaran yang dituntunkan oleh syariat Islam menyebabkan
pelaksanaan ibadah zakat menjadi sangat tergantung pada masing-masing individu.
Hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan institusi zakat, yang seharusnya
memegang peranan penting dalam pembudayaan ibadah zakat secara kolektif agar
pelaksanaan ibadah zakat menjadi lebih efektif dan efisien. Berdasarkan kondisi
tersebut maka pemasyarakatan ibadah zakat yang dituntunkan oleh syariat Islam
perlu ditingkatkan.[6]
Zakat adalah kewajiban setiap muslim yang
mampu menunaikannya, dan diperuntukkan bagi mereka yang berhak menerimanya sesuai dengan tuntunan Al-Quran
dan hadis Nabi saw. Akan tetapi, dalam
kenyataannya kaum muslimin masih banyak
yang belum menunaikan tuntunan agama ini, padahal zakat merupakan sumber dana potensial yang dapat
dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat Islam.[7]
Pembayaran zakat
mempunyai aspek Habl min Allâh, yaitu hubungan manusia dengan Allah swt. di
mana zakat sebagai sarana beribadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan
aspek Habl min al-Nâs, yaitu hubungan manusia dengan manusia, di mana zakat
dapat berperan untuk mempersempit jurang perbedaan dan ketimpangan serta
kesenjangan sosial sehingga zakat dapat membersihkan manusia dari sifat loba,
rakus, dan bakhil sehingga menjadi pribadi-pribadi yang bersih, jujur, penuh
toleransi, dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.[8]
Kepemilikan harta benda
oleh aghniyâ’ (orang-orang kaya) pada hakikatnya adalah titipan (amanah) dari
Allah swt., sedangkan hak milik mutlak hanya ada Allah swt. Oleh karena itu,
harta kekayaan menurut Islam memiliki fungsi sosial, yaitu tidak saja untuk
kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat muslim dan agama.[9]
Menunaikan zakat
merupakan kewajiban umat Islam yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan
sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Zakat sebagai kewajiban bagi umat Islam yang jika dijalankan dengan semestinya,
akan memberi dampak sangat kongkret dalam proses pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Zakat, selain berfungsi sebagai sarana mendekatkan diri kepada
Allah, juga berfungsi sebagai sarana penciptaan kerukunan hidup antara golongan
kaya dan miskin. Selain itu, mengeluarkan zakat dapat mencegah monopoli harta kekayaan
oleh orang-orang kaya. Selain sebagai kewajiban umat Islam, zakat merupakan
pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat
Islam.Oleh karena itu, apabila dikelolah dengan baik dan benar, zakat dapat
dijadikan sebagai salah satu potensi ekonomi umat yang dapat dijadikan sumber
dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat Islam, terutama untuk
menanggulangi kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial. Untuk maksud
ini, perlu ada pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang
dilakukan bersama masyarakat dan Pemerintah.[10]
Zakat dapat ditunaikan
melalui lembaga-lembaga zakat yang dibentuk oleh Pemerintah maupun masyarakat.
Saat ini, dengan dibentuknya Badan Amil Zakat, atau lembaga zakat lainnya, semakin
memudahkan umat Islam menunaikan zakatnya. Selama ini umat Islam membayar zakat
melalui lembaga-lembaga yang dipercayainya dapat menyalurkan zakat mereka
kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Masyarakat muslim, selain
menunaikan zakat pada BAZ juga menunaikannya di lembaga-lembaga lain.[11]
Dalam usaha pengelolaan
zakat, Peraturan Daerah diharapkan dapat mengatur kewenangan BAZ dalam
mengelolah zakat secara efektif dan efisien. Badan Amil Zakat sebagai lembaga
pengumpul zakat akan mendistribusikan zakat kepada orang yang berhak
menerimanya sehingga zakat benar-benar memiliki fungsi sosial-ekonomi untuk
membantu masyarakat muslim miskin sehingga dapat keluar dari keterpurukan
ekonomi dan beban hidup keluarga.[12]
Pengelolaan zakat
hingga kini belum memberikan hasil yang optimal. Pengumpulan maupun
pemberdayaan dana zakat masih belum mampu memberikan pengaruh besar bagi
terwujudnya kesejahteraan umat Islam, padahal pengelolaan zakat telah ditopang
oleh perangkat hukum, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat.[13]
Permasalahan yang
sering mucul di tengah masyarakat kita yaitu kepada siapa zakat harus
diberikan. Lebih utama disalurkan langsung oleh muzakki kepada mustahik, atau
sebaliknya melalui amil zakat. Jika disalurkan kepada mustahik, memang ada
perasaan tenang karena menyaksikan secara langsung zakatnya tersebut telah
disalurkan kepada mereka yang dianggap berhak menerimanya. Tapi terkadang
penyaluran langsung yang dilakukan oleh uzakki tidak mengenai sasaran yang
tepat. Terkadang orang sudah merasa menyalurkan zakat kepada mustahik, padahal
yang menerima bukan mustahik yang sesungguhnya, hanya karena kedekatan emosi
maka ia memberikan zakat kepadanya. Misalnya disalurkan kepada kerabatnya
sendiri, yang menurut anggapannya sudah termasuk kategori mustahik, padahal
jika dibandingkan dengan orang yang berada di lingkungan sekitarnya, pasti
banyak orang-orang yang lebih berhak untuk menerimanya sebab lebih fakir, lebih
miskin, dan lebih menderita disbanding dengan kerabatnya tersebut.
Disisi lain tingkat
kepercayaan masyarakat pada badan atau institusi pemerintah dan pengelola zakat
masih rendah. Hal ini disebabkan oleh belum adanya standar profesionalisme baku
yang menjadi tolak ukur bagi badan atau lembaga pemerintah dan pengelola zakat
di Indonesia, sehingga efektivitas penerapan ketentuan Undang-undang tersebut
masih bersifat setengah hati dalam menjalankannya.[14]
Lembaga Pengelola Zakat
Amil Zakat dalam dalam kitab-kitab dan
perundang-undangan Amil adalah berasal
dari kata bahasa Arab ‘amila ya’malu yang berarti bekerja. Berarti amil
adalah orang yang bekerja. Dalam konteks zakat, menurut Qardhawi yang
dimaksudkan amil zakat dipahami sebagai pihak yang bekerja dan terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam hal pengelolaan zakat.[15]
Jika yang mengelola adalah lembaga, maka semua
pihak yang terkait dengannya adalah amil, baik itu direkturnya, para pegawai
dibidang manajemen, keuangan, pendistribusian, pengumpulan, keamanan dan
lain-lain. Mereka ini mendapatkan gaji dari bagian amil zakat tersebut.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi
seorang pegelola zakat atau amil zakat yaitu:
1.
Hendaknya dia
seorang muslim.
Karena zakat ini urusan kaum muslim,
maka lslam menjadi syarat bagi urusan mereka.
2.
Akil balig dan
terpercaya
Persyaratan ini disepakati oleh
ulama karena orang yang sudah balig dapat membedakan antara yang baik dan yang
salah.
3.
Jujur.
Karena diberikan amanat oleh kaum
muslim, janganlah petugas zakat itu
orang kasik dan tidak dapat dipercaya. Ataupun berbuat sewenag-wenang terhadap
hak fakir miskin yang hanya mengikut hawa nafsux.
4.
Memahami
hukum-hukum zakat.
Para ulama mensyaratkan petugas
zakat itu paham terhadap hukum zakat, apabila ia deserahi urusan umum.
5.
Memiliki
kemampuan untuk melaksanakan tugas.
Petugas zakat hendaklah memenuhi
syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu. Selain
itu Amil juga harus memiliki kejujuran, kekuatan dan kemampuan untuk bekerja
dan cerdas.
6.
Amil
disyaratkan laki-laki.
Sebagian ulama mensyaratkan amil
zakat itu harus laki-laki. Mereka tidak membolehkan wanita dipekerjakan
sebaagai amil zakat, karena pekerjaan itu urusan sedekah. Pendapat ini
mengemukakan alasan kecuali perkataan Nabi SAW berikut: “tidak akan berhasil
suatu kaum bila urusan mereka disdrahkan kepada perempuan”.
Sesungguhnya dalam masalah
persyaratan amil zakat tidak ada dalil khusus yang melarang wanita bekerja
sebagai amil zakat. Memang kaidah umum yang mengharuskan wanita malu dan
menjauhkan dari berkerumun dan bergaul dengan laki-laki tanpa ada kepentingan.
Namun semua ini tidak mutlak melarang perempuan menjadi amil zakat. Oleh karena
itu pekerjaan sebagai amil zakat lebih baik dilakukan oleh lelaki, kecuali
dalam hal-hal tertentu seperti wanita ditugaskan memberikan bantuan zakat
kepada janda atau wanita yang lemah yaitu pekerjaan yang lebih sesuai dilakukan
oleh wanita daripada lelaki.[16]
7.
Sebagian ulama
mensyaratkan amil itu orang yang merdeka bukan seorang hamba.
Mereka mengemukakan suatu hadits
riwayat Ahmad dan Bukhari. Rasulullah bersabda: “dengarkan oleh kalian dan
taatilah. Walaupun yang memerintahkan kamu seorang budak yang rambutnya
keriting seperti kismis.” Oleh budak pun dapat diselesaikan, karenanya ia
sama dengan orang yang merdeka.[17]
Secara defenitif, Lembaga pengelola zakat (LPZ)
merupakan sebuah institusi yang bertugas dalam pengelolaan zakat, infaq, dan
shadaqah, baik yang dibentuk oleh pemerintah seperti BAZ, maupun yang dibentuk
oleh masyarakat dan dilindungi oleh pemerintah seperti LAZ. Bahwa ”Pengelolaan
zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengkoordinasian dalam
pegumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.”
Untuk dapat
mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya untuk kepentingan mustahik
maka pada tahun 1999 dibentuk Undang-Undang (UU) tentang Pengelolaan Zakat
yaitu UU No. 38 Tahun 1999. UU ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri Agama (KMA) Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan
Zakat dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000
tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.
Sebelumnya
pada tahun 1997 juga keluar Keputusan Menteri Sosial Nomor 19 Tahun 1998, yang
memberi wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan
sosial bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan
menyalurkan zakat, infak dan sedekah (ZIS). Diberlakukannya beragam peraturan tersebut telah
mendorong lahirnya berbagai Lembaga Pengelola Zakat (LPZ) di Indonesia. Kemunculan
lembaga-lembaga itu diharapkan mampu merealisasikan potensi zakat di Indonesia.[18]spengelola
zakat yang dibentuk oleh Pemerintah secara perlahan tapi pasti dapat terus
meningkatkan pengumpulan dana zakat yang cukup signifikan. Pada tahun 2007 dana
zakat yang terkumpul di BAZNAS mencapai Rp. 450 miliar, 2008 meningkat menjadi
Rp. 920 miliar, dan pada 2009 tumbuh menjadi Rp. 1,2 triliun. Untuk tahun 2010,
dana zakat yang berhasil dikumpulkan BAZNAS mencapai Rp. 1,5 triliun. Meskipun
angka yang berhasil dicapai oleh BAZNAS belum sebanding dengan potensi zakat
yang ada di tengah-tengah masyarakat yang
diprediksi bisa mencapai Rp. 19 triliun (PIRAC), atau Rp. 100 triliun (Asian
Development Bank). Akan tetapi, apa yang telah dicapai oleh BAZNAS sesungguhnya
merupakan prestasi yang luar biasa dalam menghimpun zakat.[19]
Lembaga Amil
Zakat (LAZ) adalah institusi pengelola zakat yang sepenuhnya dibentuk atas
prakarsa masyarakat yang bergerak dalam bidang dakwah, pendidikan, sosial dan
kemaslahatan umat Islam. Adapun institusi yang mengurusi zakat yang lain adalah
Badan Amil Zakat (BAZ).
Badan Amil
Zakat (BAZ) yaitu organisasi pengelola zakat yang di bentuk oleh pemerintah
terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan,
mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
Lembaga pengelola zakat pada
hakikatnya termasuk kategori lembaga publik karena mengelola dana publik. Sudah
menjadi kewajiban lembaga publik untuk mempertanggung jawabkan dana-dana yang
dikelolanya kepada publik secara transparan. Oleh karena itu lembaga pengelola
zakat harus mampu meningkatkan kualitas program dan pelayanan yang lebih
terfokus dan berdampak luas.
Membangun Manajemen
Lembaga Pengelolaan Dana ZIS yang Ideal
Sejarah perjalanan profesi
Amil Zakat telah ditorehkan berabad abad silam dan telah dicontohkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran Amil zakat telah
digagas sejak 13 abad yang lalu saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya Islam menerangi tanah air yang
membentang dari Aceh hingga Papua.[20]
Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan
akhirnya mempraktikkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa
berabad-abad tersebut, praktik pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat
sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara
individual, kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas
pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat,
infaq, dan sedekah. Dorongan untuk melembagakan pengelolaan zakat ini terus
menguat. Hingga saat ini pertumbuhan Lembaga Amil Zakat dari tahun ke tahun
terus berkembang dan cukup membanggakan.[21]
Dari pertumbuhan ini
dapat disimak lebih dalam bagaimana LAZ itu bergeliat mengelola dana zakat,
infaq, dan sedekah. Salah satu yang tampak jelas adalah adanya transparansi dan
akuntabilitas dana-dana publik yang diamanahkan kepada lembaga zakat. Lahirnya
lembaga amil zakat juga menyemangati masyarakat untuk membayar zakat melalui
lembaga. Dari sisi kompetensi, Amil zakat dituntut untuk profesional, amanah
dan memahami fikih serta manajemen zakat. Memilih amil yang profesional pun
dilakukan oleh lembaga pengelola zakat dengan sangat ketat melalui proses
perekrutan dengan berbagai tahapan. Mulai dari wawancara, tes Psikologi, tes
pemahaman tentang fikih dan menajemen zakat serta kompetensi yang berhubungan
dengan pekerjaan yang akan dilakukan. Sementara itu paradigma kalau zakat itu
wajib, sehingga sosialisasinya seadanya juga sudah berubah. Promosi lembaga
zakat kini sudah merambah multi media. Lembaga zakat bahkan telah bermitra
dengan berbagai perusahaan untuk sinergi dalam program-program pemberdayaan
yang akan digagas serta berkreasi bagaimana membuat program yang menyentuh
aspek sosial yang sesungguhnya. Dengan program pemberdayaan yang menarik,
kepercayaan dari donatur pun akan tumbuh. Kuatnya para pegiat zakat ini
terlihat dari semangat dan kreatifitas menggagas program-program pemberdayaan
yang memberi dampak yang berkelanjutan bagi kaum dhuafa.[22]
Secara manajemen,
lembaga pengelola zakat telah melakukan berbagai perubahan. Seperti DSNI Amanah
misalnya, transaksi pembayaran zakat sudah dilakukan dengan sistem
komputerisasi. Semua donatur yang membayar zakat terdata dengan rapi. Begitu
pula mustahik yang menerima manfaat. Dari sisi transparansi keuangan, DSNI
Amanah telah melakukan Audit bersama akuntan publik dengan hasil yang wajar
secara meterial. Agar kemudahan komunikasi terjalin harmonis dengan masyarakat.
DSNI Amanah membuat media komunikasi berupa bulletin dan News Letter. DSNI
Amanah juga telah menyediakan website Bagi umat Islam, zakat merupakan salah
satu rukun Islam dan perintah untuk menunaikan zakat sama tingkatannya dengan
perintah untuk melaksanakan shalat. Akan tetapi kenyataannya umat Islam lebih
banyak terkonsentrasi pada masalah shalat dan hal yang terkait dengannya.
Padahal shalat dan zakat adalah dua pilar yang saling melengkapi. Jika shalat
termasuk ibadah jismiyah maka zakat adalah ibadah maliyah, yaitu ibadah dari
harta yang dimiliki. Jika shalat menyucikan fikiran dan hati maka zakat
menyucikan harta dan menumbuhkannnya.[23]
Perkembangan lembaga pengelola zakat di tanah air kita telah menunjukkan
kemajuan yang cukup signifikan, meski terdapat kendala dan kekurangan yang
perlu diperbaiki di masa yang akan datang. Kemajuan tersebut melahirkan
kebutuhan terhadap piranti yang dimiliki oleh setiap lembaga pengelola zakat
yang dituntut agar bekerja secara profesional, amanah, transparan, dan
akuntabel.[24]
Tujuan besar
dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah (1) meningkatnya kesadaran masyarakat
dalam penunaian dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada
di masyarakat bahwa sebagian besar umat Islam yang kaya (mampu) belum
menunaikan ibadah zakatnya, jelas ini bukan persoalan kemampuan akan tetapi
adalah tentang kesadaran ibadah zakat yang kurang terutama dari umat Islam
sendiri. (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.[25]
Zakat adalah merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajat kemiskinan
masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat
itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada fakir
miskin di daerah asal zakat itu dipungut. Jelas hal ini akan terjadi aliran
dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari
kelompok konsumtif maupun produktif (investasi).[26]
Oleh karena itu,
penunaian zakat akan membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan
sosial dan pada gilirannya akan mengurangi derajat kejahatan di tengah
masyarakat.
Akuntabilitas Pengelolaan Zakat
Teori asimetri
informasi (information asymetry) berbicara mengenai ketidakpercayaan masyarakat
terhadap organisasi sektor publik lebih disebabkan oleh kesenjangan informasi
antara pihak manajemen yang memiliki akses langsung terhadap informasi dengan
pihak konstituen atau masyarakat yang berada di luar manajemen. Pada tataran
ini, konsep mengenai akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang
sangat penting terkait dengan pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan,
melaporkan dan mengungkap segala aktifitas kegiatan serta sejauh mana laporan
keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna
dan seberapa mudah informasi tersebut diakses oleh masyarakat.[27]
Adanya regulasi
mengenai pengelolaan keuangan Organisasi Pengelola Zakat, seperti yang
termaktub dalam undang-undang Zakat No.38 Tahun 1999 Bab VIII pasal 21 Ayat 1
yang dikuatkan oleh KMA Depag RI No. 581 Tahun 1999 mengenai pelaksanaan teknis
atas ketersediaan audit laporan keuangan lembaga, Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 tetang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penhasilan,
Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat dan juga aturan yang dikeluarkan oleh PSAK (Penyusunan
Standar Akuntansi Keuangan) No.45 tentang akuntansi Organisasi nirlaba, seharusnya
dengan adanya aturan-aturan tesebut, pengelolaan zakat yang dilakukan oleh
organisasi pengelola zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil
Zakat (LAZ) diharapkan bisa lebih baik, sehingga kepercayaan masyarakat muzakki
kepada organisasi pengelola zakat dapat meningkat.[28]
Dengan demikian, LAZ
yang akuntabel adalah lembaga yang mampu membuat laporan tahunan yang memuat
semua informasi relevan yang dibutuhkan dan laporan tersebut dapat secara
langsung tersedia dan aksesibel bagi para pengguna potensial. Jika informasi
pengelolaan LAZ tersedia dan aksesibel, maka hal ini akan memudahkan
stakeholders mendapatkannya dan melakukan pengawasan. Jika kondisinya demikian,
maka pihak manajemen LAZ akan tertuntut untuk lebih akuntabel.[29]
Prinsip-prinsip Manajemen Lembaga Pengelola Zakat yang
Akuntabel
Bicara zakat, yang terpenting dan tidak boleh
dilupakan adalah peran para amil zakat selaku pengemban amanah pengelolaan
dana-dana itu. Jika amil zakat baik, maka tujuh asnaf mustahik lainnya insya
Allah akan menjadi baik. Tapi jika amil zakat-nya tidak baik, maka jangan
diharap tujuh asnaf mustahik yang lain akan menjadi baik. Itulah nilai
strategisnya amil zakat. Dengan kata lain, hal terpenting dari zakat adalah
bagaimana mengelolanya (manajemennya).[30]
Baiknya manajemen suatu organisasi pengelolaa zakat harus dapat di ukur, untuk
itulah akan dirumuskan dalam tiga kata kunci. Yaitu:[31]
Amanah
Sifat Amanah merupakan syarat mutlak yang harus
dimiliki oleh setiap amil zakat. Tanpa adanya sifat ini, hancurlah semua sistem
yang dibangun. Sebagaimana hancurnya perekonomian kita yang lebih besar
disebabkan karena rendahnya moral (moral hazard) dan tidak amanahnya para
pelaku ekonomi. Sebaik apapun sistem yang ada, akan hancur juga jika moral
pelakunya rendah. Terlebih dana yang dikelola oleh OPZ adalah dana umat. Dana
yang dikelola itu secara esensi adalah milik mustahik. Dan muzakki setelah
memberikan dananya kepada OPZ tidak ada keinginan sedikitpun untuk mengambil
dananya lagi. Kondisi ini menuntut
dimilikinya sifat amanah dari para amil zakat.
Profesional
Sifat amanah belumlah cukup. Harus diimbangi dengan profesionalitas pengelolaannya.
Hanya dengan profesionalitas yang tinggilah dana-dana yang dikelola akan
menjadi efektif dan efisien.
Transparan
Dengan transparannya
pengelolaan zakat, maka kita menciptakan suatu sistem kontrol yang baik, karena
tidak hanya melibatkan pihak intern organisasi saja tetapi juga akan melibatkan
pihak ekstern seperti para muzakki maupun masyarakat secara luas. Dan dengan
transparansi inilah rasa curiga dan ketidakpercayaan masyarakat akan dapat
diminimalisasi.
Oleh karena itu, diterapkannya
tiga prinsip di atas insya Allah akan membuat OPZ, baik BAZ maupun LAZ,
dipercaya oleh masyarakat luas.
Fatwa-Fatwa Tentang Zakat
di Indonesia
Tujuan dilaksanakannya pengelolaan zakat untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
penunaian dan pelayanan ibadah zakat. untuk meningkatnya fungsi
dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial atau menghapuskan derajad
kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan
distribusi harta. Zakat itu dipungut dari orang-orang kaya untuk kemudian
didistribusikan kepada mustadz’afiin (fakir miskin) didaerah dimana zakat itu
dipungut.[32] Jika dikelola dengan baik maka hal ini akan terjadi
aliran dana dari para aghniya kepada dhuafa dalam berbagai bentuknya mulai dari
kelompok konsumtif maupun produktif (investasi). Penunaian zakat akan
membangkitkan solidaritas sosial, mengurangi kesenjangan sosial dan pada
gilirannya akan mengurangi tingkat kejahatan ditengah masyarakat.[33]
Dalam upaya meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat,
perlu peranan pemerintah dalam setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database
tentang muzakki dan mustahiq. Profil muzakki perlu didata untuk mengetahui
potensi-potensi atau peluang untuk melakukan maka perlu adanya perhatian dan
pembinaan yang memadai guna memupuk nilai kepercayaannya, terhadap mustahiqpun
juga demikian. Pembinaan dengan cara misalnya tidak memberi ikan tetapi perlu
member pancingnya dengan kata lain mustahiq perlu diberikan pendidikan
pembinaan penggunaan uang yang diberikan tidak seketika tetapi berkelanjutan
dengan jalan memanfatkan uang yang diberikan digunakan sebagai modal usaha
misalnya program pendistribusian dan pendayagunaan harus diarahkan sejauh mana
mustahiq tersebut dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, sehingga status
mustahiq berubah menjadi muzakki.[34]
Pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan serta
pengawasan terhadap kelembagaan BAZ dan LAZ di semua tingkatannya mulai
ditingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota sampai Kecamatan. Dan pemerintah
berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut
melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan
masyarakat baik berupa zakat, infaq, sadaqah, & wakaf.[35]
Terkait dengan peran pemerintah dan kesadaran masyarakat
dalam meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh umat manusia maka dalam
pengumpulan zakat, diperlukan pemimpin yang kuat yang bisa melindungi,
menggerakkan, dan sekaligus dicontoh. Masyarakat yang dipimpin oleh orang yang
lemah, maka tidak akan maju., untuk menggerakkan zakat, memerlukan pemimpin
yang kuat. Dalam sejarahnya Umar bin Khotob, dikenal sebagai pemimpin yang
kuat, termasuk dalam memungut dan membagikan zakat kepada yang berhak.[36]
Peran pemerintah dalam pengelolaan zakat pertama,
pemerintah berperan sebagai pelaksana tunggal dalam pengelolaan zakat, baik
dalam pemungutan maupun pembagian zakat. Kedua, pemerintah berperan sebagai
pemberi sanksi (‘uqubat) terhadap mereka yang enggan melaksanakan zakat. Kedua
Pemerintah sebagai Pengelola Zakat. Zakat memerlukan manajemen yang dilakukan
dengan cepat, tetapi terbuka dalam arti bisa dikontrol oleh masyarakat.
Siapapun dalam hatinya memerlukan kepuasan. Sekalipun zakat adalah ibadah yang
telah dikeluarkan secara ikhlas, tetapi pembayar zakat akan menuntut agar harta
yang dikeluarkan itu benar-benar disalurkan kepada mereka yang berhak
menerimanya. Dalam hal ini amil memegang kunci yg sangat sentral dalam
mendayagunakan dana zakat dalam menyalurkan ke mustahik guna mencapai rakyat
yang sejahtera.[37] "Posisi amil itu sebagai jembatan antara pemberi
zakat dan mustahik, amil juga harus bisa mendiagnosis keperluan yang dibutuhkan
oleh calon mustahik," Misalnya, mustahik membutuhkan modal usaha, jadi
amil memberikan bantuan dalam bentuk uang guna membangun usaha mustahik,peran
amil di sini sangat penting dalam pengelolaan dan penyaluran zakat, serta amil
itu sendiri harus mampu mendiagnosis keperluan yang dibutuhkan mustahik,".[38]
PENUTUP
Zakat merupakan pranata
keagamaan dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh umat Islam. Oleh
karena itu, apabila dikelolah dengan baik dan benar, zakat dapat dijadikan
sebagai salah satu potensi ekonomi umat yang dapat dijadikan sumber dana yang
dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat Islam, terutama untuk menanggulangi
kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial.
Tujuan dilaksanakannya
pengelolaan zakat adalah (1) meningkatnya kesadaran masyarakat dalam penunaian
dan dalam pelayanan ibadah zakat. (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata
keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
Dengan demikian, konsep
mengenai akuntabilitas dan aksesibilitas menempati kriteria yang sangat penting
terkait dengan pertanggungjawaban organisasi dalam menyajikan, melaporkan dan
mengungkap segala aktifitas kegiatan serta sejauh mana laporan keuangan memuat
semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna dan seberapa
mudah informasi tersebut diakses oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Dzajuli & Prof. H.
Ahmad, “Lembaga-lembaga Perekonomian Umat”, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Hafidhuddin & Didin, “Zakat
Dalam Perekonomian Modern”, Jakarta : Gema Insani, 2002.
Hafidhuddin, Didin, “Zakat
dalam Perekonomian Modern”, cet. 1; Jakarta: Gema Insani, 2002.
Hikmat Kurnia, A
Hidayat, “Panduan Pintar Zakat”, Jakarta: QultumMedia, 2008.
Huda Nurul dkk, Zakat
Perspektif Mikro-Makro, Jakarta :Prenadamedia Group, 2015.
Karim, Adiwarman A,
“Ekonomi Mikro Islam”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Qadir, Abdurrahman, “Zakat
dalam Dimensi Mahdah dan Sosial”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Soekarni,
M., Septia, Y., Usman, T. S., & Thoha, M. (2008). “Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi
Kemiskinan”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, Edisi Khusus
Suparman Usman, Hukum
Islam: “Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”,
cet. 2; Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002.
Yusuf al-Qardawi, “Norma
dan Etika Ekonomi Islam”, Jakarta: Gema Insani, 1997.
[2]Soekarni,
M., Septia, Y., Usman, T. S., & Thoha, M. (2008). “Potensi dan Peran Zakat dalam Mengurangi
Kemiskinan”. Jurnal
Ekonomi dan Pembangunan, Edisi Khusus, h. 2.
[3] Ibid.
[5] Ibid, h. 22.
[6]Ibid, h. 128.
[7] Yusuf al-Qardawi, “Norma dan Etika Ekonomi
Islam”, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 63.
[8] Ibid.
[9] Ibid, h. 64.
[10] Qadir, Abdurrahman, “Zakat dalam Dimensi Mahdah dan
Sosial”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 28.
[11] Ibid.
[12] Hafidhuddin, Didin, “Zakat dalam Perekonomian Modern”,
cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 33.
[13] Ibid, h. 34.
[14] Ibid, h. 129.
[15] Didin Hafidhuddin, dkk, The Power Of Zakat:
Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat (Cet.I; UIN-Malang Press: Malang,
2008), h. 6
[16] Wahbah
Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab (Cet.III; PT.Remaja
Rosdakarya:Bandung, 1997), h.11
[17] Ibid
[18] Muchaddam
Fahham, Paradigma Pengelolaan Zakat Di Indonesia (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), h. 14
[19] Ibid
[20] Dzajuli & Prof. H. Ahmad, “Lembaga-lembaga
Perekonomian Umat”, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 10.
[30] Suparman Usman, Hukum
Islam: “Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia”,
cet. 2 (Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002), h. 12
[33] Ibid.
[34] Ibid, h. 17-18.
[35] Yusuf al-Qardawi, “Norma..., h. 28.
[36] Ibid.
[37] Ibid, h. 29.
[38] Ibid, h. 29-30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar