Model Distribusi Zakat
(Asriana, Prodi Ekonomi Syariah,
STAIN Watampone, tahun 2017)
Gmail: asrianayusuf39@gmail.com
Abstrak
Indonesia adalah negara yang penduduknya masyoritas
Islam. Islam adalah agama yang mewajibkan zakat untuk dikeluarkan atas harta
tiap diri orang muslim. Mengingat banyaknya muslim di Indonesia otomatis besar
pula potensi zakat yang ada. Namun, apa daya hal itu bukan lagi sebuah
idealisme yang bisa dipertahankan sebagai warisan umat Islam yang berjaya
menegakkan syariat.
Dana zakat yang terkumpul dari sekian banyak potensi
zakat seyogyanya bisa membawa kesejahteraan bagi para mustahik. Zakat sebagai
pemerataan pendapatan belum bisa optimal sebagaimana mestinya. Hal ini tak lain
karena problem yang mengglobal dari tahun ke tahun yakni ditribusi zakat yang
dominan tersentralisasi pada satu kelompok masyarakat. Secara umum, hal ini
dipahami sebagai model distribusi zakat yang diterapkan tidak efisien dan belum
optimal.
Pada hakekatnya, model distribusi zakat yang
berkembang yaitu model distribusi konsumtif, model distribusi produktif, serta
model distribusi zakat dalam bentuk investasi. Beberapa model distribusi zakat
inilah yang kemudian dipahami dan diharapkan dapat merealisasikan distribusi
zakat yang optimal serta dapat memenuhi target utamanya yakni zakat sebagai
pemerataan pendapatan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kata Kunci: Konsumtif, Produktif, Investasi, Model Distribusi
Zakat.
A. Pendahuluan
Pada
realitasnya, umat Islam khususnya di Indonesia masih saja bermasalah secara
kuantitatif dengan tingkat kesejahteraan. Sedang dilain pihak terlihat adanya
perkembangan yang cukup meyakinkan dari laju proses empirisasi ekonomi berbasis
syariah, terutama untuk dunia perbankan dan lembaga zakat. Karena pengumpulan,
penyaluran dan potensi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan sudah
menjadi primadona untuk disoroti dalam kajian multidimensi khazanah literatur
ekonomi Islam.
Dari
banyaknya teori tentang zakat yang sudah eksplorasi oleh para ahli intelektual
muslim mestinya sudah ada perubahan yang menjurus pada pengentasan kemiskinan
dan peningkatan kesejahteraan umat muslim melaui distribusi zakat yang tepat
dengan berdasar pada teori-teori para ahli intelektual muslim tersebut.
Namun
apa daya semua teori-teori tersebut masih belum bisa diimplementasikan sesuai dengan konteks dasarnya. Dalam hal
ini adalah bertumpu pada prolem yang
rancu berupa masalah pada distribusi zakat yang masih belum tepat sebagaimana
mestinya. Seperti yang diketahui bersama hanya sebagian kecil potensi dana
zakat yang berhasil dikumpulkan dan didistribusikan kepada yang berhak.
Berpijak
dari beberapa kerancuan tersebut yang menggambarkan pengelolaan dana zakat
hanya berlaku sporadis atau kurang terorganisir menyebabkan beredarnya isu yang
mempertanyakan akan kemampuan sistem zakat sebagai solusi kemiskinan dan
pemerataan. Salah satunya hal ini tidak lepas dari akibat distribusi zakat yang
mengalami sentralisasi zakat ataupun tidak optimalnya model distribusi zakat yang diterapkan
sementara dilain sisi zakat dipercaya dan diyakini mampu mengentaskan
kemiskinan dan peningkatan kesejateraan umat muslim.
Pada
perkembangannya distribusi zakat dapat disalurkan dalam beberapa model
distribusi zakat ataupun pola distribusi zakat untuk mendekatkan strata
kesejahteran masyarakat defisit kepada masyarakat surplus yang secara
konsumtif, produktif ataupun investasi dana zakat yang pada umumnya dapat
dipahami sebagai hasil akhir dari pengelolaan zakat yakni pendistribusian zakat
yang optimal.
B.
Konsep Distribusi Zakat
Dalam konsep distribusi zakat, penetapan dalam objek
penerima zakat atau mustahik, sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah
sebentuk subsidi langsung. Zakat harus mempunyai dampak pemberdayaan kepada
masyarakat yang berdaya beli rendah. Sehingga dengan meningkatnya daya beli
mereka, secara langsung zakat itu merangsang tumbuhnya demand atau permintaan
dari masyarakat, yang selanjutnya mendorong
meningkatnya suplai. Dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, maka
produksi juga akan ikut meningkat. Jadi pola distribusi zakat bukan hanya
berdampak pada hilangnya kemiskinan absolut, tetapi juga dapat menjadi faktor
stimulan bagi pertumbuhan ekonomi di tingkat makro.
Dalam konteks yang
lebih makro, konsep zakat, infak dan sedekah ini diyakini akan memiliki dampak
yang sangat luar biasa. Bahkan di Barat sendiri, telah muncul dalam beberapa
tahun belakangan ini, sebuah konsep yang mendorong berkembangnya sharing
economy atau gift economy, di mana perekonomian harus dilandasi oleh
semangat berbagi dan memberi. Yochai Benkler, seorang profesor pada sekolah
hukum Universitas Yale AS, menyatakan bahwa konsep sharing atau berbagi,
merupakan sebuah modal yang sangat penting untuk memacu dan meningkatkan
produksi dalam ekonomi. Ia bahkan menyatakan bahwa perusahaan yang
mengembangkan konsep berbagi dalam interaksi antar komponen di dalamnya, akan
menjadi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau
menerapkannya. Sebagai contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus
akan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah
mendapatkannya.
Swiercz dan Patricia
Smith dari Universitas Georgia AS juga menegaskan bahwa solusi terbaik untuk
menghadapi berbagai permasalahan tradisional resesi ekonomi, sebagaimana yang
saat ini menimpa AS, adalah melalui semangat dan mekanisme “berbagi” antar
komponen dalam sebuah perekonomian. Semangat berbagi inilah yang akan dapat
mempertahankan level kemakmuran sebuah perekonomian. Artinya, ada korelasi yang
sangat kuat antara memberi dan berbagi, dengan tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan. Belajar dari studi tersebut, maka sudah sewajarnyalah jika
bangsa Indonesia mengoptimalkan potensi zakat, infak dan sedekah, sebagai
bentuk sharing economy yang diyakini akan memberikan dampak positif yang
membangun.
Al-Qardhawi mengatakan
bahwa tujuan mendasar ibadah zakat itu adalah untuk menyelesaikan berbagai
macam persoalan sosial seperti pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. Sistem
distribusi zakat merupakan solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut dengan
memberikan bantuan kepada orang miskin tanpa memandang ras, warna kulit, etnis,
dan atribut-atribut keduniawian lainnya.
Pramanik berpendapat bahwa zakat dapat memainkan peran
yang sangat signifikan dalam meredistribusikan pendapatan dan kekayaan dalam
masyarakat muslim. Dalam studinya, Pramanik menyatakan bahwa dalam konteks
makro ekonomi, zakat dapat dijadikan sebagai instrumen yang dapat memberikan
insentif untuk meningkatkan produksi, investasi, dan untuk bekerja. Zakat
adalah mekanisme transfer terbaik dalam masyarakat.
Itulah yang kemudian terjadi di masa Umar bin Abdul
Azis. Jumlah pembayar zakat terus meningkat, sementara jumlah penerima zakat
terus berkurang, bahkan habis sama sekali. Para amil zakat berkeliling di
pelosok Afrika untuk membagikan zakat, tetapi tak seorang pun yang mau menerima
zakat. Artinya, para mustahik zakta benar-benar habis secara absolut. Sehingga
negara mengalami surplus. Maka redistribusi kekayaan negara selanjutnya
diarahkan kepada subsidi pembayaran utang pribadi swasta (swasta), dan subsidi
sosial dalam bentuk pembiayaan kebutuhan dasar yang sebenarnya tidak menjadi
atnggungan negara, seperti biaya perkawinan. Suatu saat akibat surplus yang
berlebih, negara mengumumkan bahwa “negara akan menanggung seluruh biaya
pernikahan bagi setiap pemuda yang hendak menikah diusia muda.” Periode
pemerintahan Umar bin Abdul Azis yang berjalan tiga tahun dicatat sejarah
sebagai masa kegemilangan umat Islam di
dalam keadilan dan kesejahteraan, karena kepemimpinan yang bersih dan taqwa.
Seyogyanya,
zakat diarahkan untuk bukan semata-mata keperluan sesaat yang sifatnya konsumtif. Seyogyanya mustahik
tidak diberi zakat lalu dibiarkan tanpa ada pembinaan yang mengarah pada
peningkatan.
Adapun
pada model perataan dalam sistem zakat didasarkan pada keyakinan bahwa:
a.
Adanya pemilikan
(hak) fakir miskin yang melekat pada kekayaan si kaya dalam jumlah tertentu
(zakat kekayaan).
b.
Adanya hak fakir
miskin yang melekat pada penadapatan masyarakat (zakat produksi) dalam jumlah
tertentu.
Sebagaimana halnya
evaluasi tatanan nasional yang maju, maka persamaan kesempatan bagi orang-orang
miskin seharusnya dianggap tidak sekedar sebagai anugerah kemurahan hati,
tetapi sebagai permainan di mana
orang-orang miskin dapat berpartisipasi dlaam mengembangkan “haknya” yaitu
“nilai lebih menurut Karl Max” atau “zakat” dan ikut memasang taruhan yang
cukup berarti dalam suatu susunan yang stabil, di mana orang-oramg kaya
memenuhi kewajibannya secara disiplin, lestari dan demokratis, sehingga
disiplin pengalihan kekayaan dari kelompok kaya ke kelompok miskin.
Oleh karenanya mengingat dengan disiplin
pengalihan kekayaan (sistem zakat) berarti memperbesar pembentukan modal
ekonomi golongan miskin secara terarah, maka pertumbuhan golongan miskin ini
akan lebih dipercepat. Secara multiple akan meningkatkan dan meratakan pembangunan secara berlipat ganda. Bahkan
lebih daripada ini, bahwa peralatan pendapatan melalui sistem zakat tersebut
adalah suatu ikhtiar yang dapat dipastikan akan menjadi kenyataan. Akumulasi
kekayaan yang tidak terkontrol sudah dapat dipastikan akan merupakan alat
permainan bahkan mungkin mengarah sebagai “alat pemeras” masyarakat. Retribusi zakat dari semua kekayaan, termasuk emas, perak, dan
harta simpanan, akan mendorong pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari
harta mereka agar dia dapat membayar zakat tanpa mengurangi harta itu.
Pada
prinsipnya jika seseorang menghitung/mengeluarkan zakat dan mendistribusikannya
sendiri kepada para mustahik, hal ini memang di benarkan oleh syariat Islam
(apabila seseorang yang berzakat atau muzakki langsung memberikan sendiri
zakatnya kepada para mustahik) dengan syarat, kriteria mustahik sejalan dengan
firman Allah swt dalam QS. At-Taubah:60. Namun, lebih utama jika zakat itu
disalurkan lewat amil zakat yang amanah, bertanggung jawab dan terpercaya,
misalnya melaui yayasan-yayasan tertentu yang mengkhususkan diri pada
pengelolaan ZIS. Ini dimaksudkan agar distribusi zakat itu tepat sasaran, sekaligus
menghindari penumpukan zakat pada mustahik tertentu yang kita kenal sementara
mustahik lainnya karena kita tidak mengenalnya tak mendapatkan haknya.
Di
samping itu, ada mustahik yang berani terang-terangan meminta (as-saail) dan
adapula mustahik yang merasa berat (malu) untuk meminta (al-marhum). Dengan
demikian, dimungkinkan kita hanya memberi kepada mereka yang terang-terangan
meminta, kita sama sekali tidak memperhatikannya.
Persepsi umum yang dipahami
publik bahwa menyalurkan zakat langsung kepada mustahik adalah lebih baik dan
lebih “afdhal”, merupakan persepsi yang kurang tepat. Jika merujuk kepada
praktik dan contoh di zaman Nabi, akan ditemukan fakta bahwa pengelolaan zakat
di zaman Rasul dan para sahabat adalah melalui institusi amil. Rasul SAW
menunjuk 25 orang sahabat, seperti Ibn Luthaibah, Mu’adz bin Jabal dan Ali bin
Abi Thalib, sebagai amil zakat, yang bertanggung jawab langsung kepada beliau
sebagai kepala negara.
Penyaluran zakat ini cakupannya sangat
luas sepanjang berkaitan dengan hajat kepentingan umat Islam. Salah satunya
mendirikan rumah sakit, perpustakaan, membangun sarana dan prasarana pendidikan,
untuk kepentingan dakwah. Karena itu, jika di suatu tempat fakir miskin sudah
terlayani dengan baik dan dana zakat masih cukup banyak tersedia maka dana
zakat itu dapat digunakan untuk kepentingan tadi. Akan tetapi, jika sebaliknya
alokasikanlah untuk kepentingan fakir miskin dulu. Untuk kepentingan sarana dan
prasarana dakwah dapat dicarikan dana dari infak dan sedekah. Dakwah islamiyah
merupakan kewajiban setiap orang yang beriman.
Dalam
prioritas penyalurannya zakat disalurkan pada wilayah yang terkecil dahulu
dimana zakat tersebut ditarik baru kemudian disalurkan ke wilayah yang lebih
besar darinya seperti dari kelurahan ke kecamatan dan kota madya ataukah
kabupaten. Bila sudah tidak ada lagi asnaf di wilayah tersebut atau seluruh
asnaf telah menerima pembagian zakat dan masih terdapat sisa zakat yang belum
disalurkan, maka zakat adapat dibagikan keluar wilayah penarikan zakat,
misalnya antar provinsi atau bahkan antarnegara.
Negara juga harus memiliki dokumentasi
yang sangat baik terhadap semua mustahik yang ada di wilayah baik daftar para
mustahik, kondisinya dan keluarganya serta data-data terkait yang dibutuhkan
(pekerjaan, usia, kesehatan dan lain-lain).
Satu hal yang harus dicatat adalah negara harus memastikan bahwa asnaf
di wilayahnya menerima penyaluran zakat.
Bila ada mustahik zakat yang tidak menerima zakat pada tahun zakat
berjalan maka dia berhak menerima zakat tersebut pada tahun berikutnya dan
negara wajib memberikan zakat kepadanya dua kali lipat padanya maka negara
memiliki utang kepada mustahik. Oleh karena itu, diperlukan administrasi yang
baik terhadap para mustahik dan distribusi penyalurannya.
Dana zakat pada awalnya lebih didominasi
oleh pola pendistribusian secara konsumtif, namun demikian pada
pelaksanaan yang lebih mutakhir saat
ini, zakat mulai dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara
produktif. Inovasi distribusi tersebut di kategorikan delam empat bentuk
berikut:
a.
Distribusi
bersifat konsumtif tradisional
Dalam
kategori ini zakat dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk
dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan, seperti zakat fitrah yang
diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat
harta yang diberikan kepada korban bencana alam.
b.
Distribusi
bersifat konsumtif kreatif
Dalam
kategori ini zakat diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula seperti
halnya diwujudkan dalam bentuk alat-alat sekolah, beasiswa dan lain-lain.
c.
Distribusi
bersifat produktif tradisional
Yang
dimaksud dalam kategori ketiga ini adalah zakat diberikan dalam bentuk
barang-barang produktif, misalnya kambing, sapi, mesin jahit, alat-alat
pertukangan dan sebagainya. Pemberian zakat dalam bentuk ini akan dapat
mendorong orang menciptakan suatu usaha atau memberikan suatu lapangan kerja
baru bagi fakir miskin.
d.
Distribusi
bersifat produktif kreatif
Dalam
bentuk ini zakat diwujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan, baik
untuk membangun suatu proyek sosial maupun untuk membantu atau menambah modal
seorang pedagang atau pengusaha kecil.
C.
Distribusi Konsumtif Dana Zakat
Dalam distribusi konsumtif dana zakat dapat diterapkan pada upaya
pemenuhan kebutuhan konsumsi dasar untuk para mustahik, upaya pemenuhan
kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis,
upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia
agar dapat bersaing hidup di alam transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia.
Pada upaya pemenuhan
kebutuhan konsumsi dasar untuk para mustahik diterapkan tidak
beda dengan pola distribusi bersifat konsumtif tradisional di mana zakat
dibagikan kepada mustahik untuk konsumsi secara langsung. Dengan hal tersebut
realisasinya tidak akan jauh dari pemenuhan sembako untuk kelompok delapan
asnaf. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah volume zakat yang diberikan
pada para mustahik untuk kebutuhan
konsumtifnya sepanjang tahun ataukah hanya untuk pemenuhan kebutuhan makanan
dan minuman selama sehari semalam.
Dan kalaupun lembaga amil berkehendak
untuk melaksanakannya secara periodik, maka pola pendistribusiannya dapat
diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pokok yang benar-benar dapat meningkatkan
gizi, seperti mendistribusikan susu berkualitas tinggi, madu, vitamin dan lain
sebagainya yang benar-benar dapat meningkatkan pola makan delapan asnaf untuk
peningkatan kualitas kesehatan tubuhnya.
Dalam upaya
pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan sosial dan
psikologis ini bukan lagi diarahkan pada distribusi konsumtif sembako. Namun, diarahkan pada distribusi
yang mengupayakan renovasi tempat-tempat pemukiman atau bahkan membangun sejumlah tempat pemukiman
bagi masyarakat delapan asnaf yang tunawisma. Dan untuk peningkatan
kesejahteraan psikologis lembaga amil menyalurkannya dalam bentuk bantuan
pembiayaan bagi mustahik yang hendak melangsungkan pernikahan atau sunnat
massal bagi anak-anak mustahik.
Sebagian ulama membolehkan
memberi zakat tersebut untuk membangun mesjid, lembaga pendidikan, perpustakaan,
pelatihan para da’i, penerbitan buku, majalah, brosur, membangun massa media,
dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam transisi
ekonomi dan demokrasi Indonesia yakni mendistribusikan dalam bentuk peningkatan
kualitas pendidikan delapan asnaf atau mustahik. Seperti silaturahmi melakukan study tour pada objek-objek yang
bersejarah dan bermanfaat, mungkin juga dapat dipergunakan untuk pemberian
beasiswa atau beasantri (pondok pesantren) bagi mereka yang terputus pendidikannya
karena ketiadaan dana. Namun, bisa juga diarahkan untuk penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan keterampilan nonformal (luar sekolah) yang dapat dimanfaatkan
mustahik untuk kelanjutan menjalani hidup dan mencapai kesejahteraan seperti
jahit-menjahit, pelatihan bahasa asing dan pelatihan kerja profesi lainnya.
Dalam
pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Perbaikan akses
terhadap konsumsi pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, dan gizi) merupakan
alat kebijakan penting dalam strategi pemerintah secara keseluruhan untuk
memerangi kemiskinan dan memperbaiki kesejahteraan. Perluasan ruang lingkup dan
kualitas dari pelayanan-pelayanan pokok tersebut membutuhkan investasi modal
insani yang pada akhirnya akan meningkatkan prroduktivitas golongan masyarakat
miskin.
Tujuan utama model distribusi
konsumtif ini yaitu antara lain :
1.
Untuk menjaga keperluan pokok mustahik.
2.
Menjaga martabat dan kehormatan mustahik dari meminta-minta.
3.Menyediakan
wahana bagi mustahik untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan.
4.
Mencegah terjadinya eksploitasi terthadap mustahik untuk kepentingan
yang menyimpang.
D.
Distribusi Produktif Dana Zakat
Pada
prinsipnya, zakat harus diterima secara langsung oleh mustahik yang
bersangkutan. Meskipun demikian, memang diperlukan suatu kebijakan dan kecermatan
dalam mempertimbangkan keutuhan nyata dari mereka, termasuk kemampuan mereka
dalam menggunakan dana zakat yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan
hidupnya, sehingga pada gilirannya yang bersangkutan tidak lagi menjadi
mustahik zakat, tetapi mungkin jadi pemberi zakat (muzakki). Jadi, zakat
diarahkan untuk bukan semata-mata keperluan sesaat yang sifatnya konsumtif. Seyogyanya mustahik
tidak diberi zakat lalu dibiarkan tanpa ada pembinaan yang mengarah pada
peningkatan.
Produktivitas yang dimaksud
disini adalah setelah mereka menerima bantuan modal produktif tersebut baik
dalam bentuk modal kerja atau pelatihan, penerima zakat tersebut mampu
menghasilkan sesuatu yang memiliki nilai tambah. Hal tersebut ditujukan untuk
dapat mengangkat tingkat kesejahteraan penerima zakat tersebut.
Sebagai suatu usaha
yang bertujuan untuk memaksimumkan laba, berdasar pada bantuan yang diberikan
dan jika dilihat dari sudut ekonomi usaha memaksimumkan keuntungan ini dapat
dicapai dengan efisiensi produksi. Hal ini dapat dicapai bila bantuan modal
yang diberikan tidak membebani ongkos produksi. Dalam islam tidak ada faktor
bunga, maka hal ini tidak akan membebani ongkos produksi, dan penerimaan dari
hasil tambahan modal dapat digunakan sepenuhnya.
Dana zakat ditinjau
dari sisi keuangan publik atau pengumpulan dan pengeluaran, dapat dipandang
sebagai kegiatan untuk distribusi pendapatan yang lebih merata. Islam tidak
menghendaki adanya harta yang diam dalam tangan seseorang. Apabila harta
tersebut telah cukup nisabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan
demikian di sini tampak adanya usaha untuk mendorong orang untuk memutarkan
hartanya ke dalam sistem perekonomian sehingga bisa menghasilkan pertumbuhan.
Belakangan
ini di Indonesia, dunia perbankan Islam dan lembaga pengumpul zakat berusaha
untuk berkomitmen mempertemukan pihak surplus muslim dan pihak deficit muslim, dengan harapan terjadi
proyeksi pemerataan pendapatan antara surplus
dan deficit muslim atau bahkan
menjadikan kelompok yang deficit
(mustahik) menjadi surplus (muzakki).lembaga
perbankan bergerak dengan proyek investasi non riba sedangkan lembaga zakat
selain mendistribusikan zakat secara konsumtif, saat ini juga telah
mengembangkan sistem distribusi dana zakat secara produktif. Pada pola
distribusi produktif terdapat dua cara
penyaluran yaitu penyaluran dana zakat
dengan skema qardhul hasan dana penyaluran dana zakat dengan skema mudharabah.
Tolak
ukur dari perkembangan skema penyaluran zakat tersebut adalah bagaimana bisa
mendekatkan strata kesejahteraan masyarakat defisit kepada strata mesyarakat
surplus. Dalam keputusan menteri agama tentang pelaksanaan UU No. 28 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Dana Zakat, pasal 29 menyebutkan bahwa prosedur
pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha produktif ditetapkan sebagi berikut: a). Melakukan
studi kelayakan; b). Menetapkan jenis usaha produktif; c). Melakukan bimbingan
dan penyuluhan; d). Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan; e). Mengadakan
evaluasi; f). Membuat laporan.
E.
Investasi Dana Zakat
Apabila
mustahik tidak bekerja dan tidak memilki keterampilan tertentu, menurut Imam
Syamsuddin ar-Ramli, kepadanya diberikan jaminan hidup dari zakat, misalnya
dengan cara ikut menanamkan modal (dari uang zakat tersebut) pada usaha
tertentu sehingga mustahik tersebut memilki penghasilan dari perputaran zakat
itu.
Dalam
pembahasan menginvestasikan dana zakat, persoalannya kemudian adalah siapa yang
menginvestasikan dana zakat tersebut. Apakah mustahik, muzakki ataukah pemerintah
yang mewakilinya (amil). Dari keuntungan investasi tersebut tentunya akan
diberikan kepada para muzakki namun yang masih menjadi perdebatan ialah siapa
yang akan menanggung jika investasi tersebut mengalami kerugian.
Dalam
menanggapi adanya kemungkinan merugi dalam menginvestasikan dana zakat, kajian
fikih klasik memperdebatkan sejumlah permaslahan berikut:
1.
Jika dana zakat
diinvestasikan sebelum para mustahik menerima zakat tersebut, maka mustahik
tidak menanggung beban kerugian. Sebagaimana mustahik tidak menikmati
keuntungan dari investasi tersebut. Semisal, seorang muzakki menginvestasikan
dan azakat dalam sebuah usaha sebelum memberikannya kepada nustahik, maka
kerugian yang diderita hanya ditanggung oleh muzakki itu sendiri, artinya si
muzakki belum lepas dari kewajibannya membayar zakat.
2.
Jika dana zakat
diinvestasikan setelah mustahik menerimanya, maka mustahik menanggung beban
kerugian, semisal seorang muzakki menginvestasikan dana zakat dengan membeli
sejumlah saham perusahaan denagn mengatasnamakan mustahik, maka dalam hal ini
hanya mustahik ynag dibebani jika perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan,
sebagaimana hanya si mustahik saja yang bisa menikmati keuntungan yang didapat
dari deviden saham.
3.
Jika dana zakat
diinvestasikan pada saat dana zakat berada di tangan amil atau pemerintah.
Masalah inilah yang masih terlewatkan dari bahasan para ulama klasik apalagi
setelah amil dilembagakan. Semisal sebuah badan atau lembaga amil zakat,
menginvestasikan dana zakat yang terkumpul pada salah satu industri, kemudian
industri tersebut mengalami penurunan drastis, karena ada industri pesaing ,
misalnya. Kerugian industri yang menjadi proyek investasi tersebut
mengakibatkan minus dari bagi hasil investasi. Jika demikian siapa yang wajib
mengganti dana tersebut, muzakki atau mustahik atau amil itu sendiri?
Dalam
permasalahan poin ketiga tersebut dan upaya mengakomodasi sejumlah pendapat
mazhab yang melegalkan investasi dana zakat, di rekomdesikan seperti hal-hal
berikut: (1). Amil dapat menginvestasikan dana zakatnya setelah mempunyai
perhitungan matang pada usaha/industri yang menjadi objek investasi. (2). Amil
dapat menginvestasikan dan zakatnya, setelah para mustahik menerima dana zakat
terlebih dahulu, jadi dalam hal ini, amil hanya berlakusebagai wakil dari
keseluruhan mustahik. Semisal jika diinvestasikan pada surat berharga, maka
pembelian surat berharga tersebutmdilakukan atas nama mustahik.
Arah
investasi dalam sistem zakat harus serasi dengan arah pembangunan ekonomi yang
berciri antara lain:
1.
Menuju
industrialisasi (zakat dan infak) makin rendah, bila menuju sektor-sektor
industri dan perdagangan.
2.
Keseimbangan
antara sektor padat modal dan padat karya (petunjuk zakat unta dan zakat
kambing).
3.
Pengembangan
wiraswasta secara penuh (hanya menggantungkan diri daripada kekuasaan Allah swt
dan menghidupkan gotong-royong.
4.
Mengembangkan
fungsi modal/kapital (uang) secara produktif dan subur menyuburkan dan mencegah berkembangnya
kapital sebagai alat pemerasan.
Adapun model distribusi zakat pada
umumnya dalam bentuk perspektif lainnya yaitu:
1.
Membeli sarana
dan prasarana bagi fakir miskin
Penyebab kemiskinan, paling tidak
berasal dari dua hal atau bahkan kedua-duanya. (1) Kemiskinan itu sebagai
akibat dari kemalasan (kemiskinan kultural) dan ketidakmampuan seseorang untuk
bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kutuhan hidupnya. (2) Kemiskinan
struktural, yaitu kemiskinan sebagai akibat dari pola kehidupan yang tidak adil
dan penuh kezaliman. Harta kekayaan bersama dikuasai oleh sekelompok orang
untuk kepentingannya sendiri. Kemiskinan struktural inilah penyebab kemiskinan
yang paling menonjol dibanyak tempat dan negara. Susan George dalam How The Other All Dies: The Reak Reason For
world Hunger, mengatakan bahwa situasi yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa
hanya si miskinlah yang menderita kelaparan; dan pola ketidakadilan dan
pengisapan yang berakar dalam yang
tumbuh di dalam maupun yang diimpor dari luar merintangi orang miskin untuk
mencukupi kebutuhan pangannya.Dalam fungsi zakat yang bermakna sebagai dana
masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sosial guna mengurangi
kemiskinan. Pemanfaatannya mempunyai arti penting sebagai salah satu upaya
untuk mencapai keadilan sosial. Jika
zakat dikelola dengan baik, baik pengambilan maupun pendistribusiannya, Insya
Allah akan terasa dampaknya bagi usaha pengentasan kemiskinan, meski dilakukan secara bertahap.
Adapun pendistribusian dana zakat untuk sektor
fakir dan miskin dewasa ini, yakni sebagai berikut: a). Pembangunan sarana dan prasarana pertanian; b).
Pembangunan sektor industri; c). Penyelenggaraan sarana-sarana pendidikan;
d). Pembangunan
pemukiman; e). Jaminan hidup bagi orang jompo
dan anak yatim piatu; f). Pengadaan sarana kesehatan; g). Pemberian qard
al-hasan (dana kebajikan).
2.
Membebaskan utang bagi kaum buruh
Pada kajian keindonesiaan, dinyatakan
ada sekelompok pekerja /buruh yang hampir mirip dengan kelompok orang yang
terjajah namun tidak bisa dikatakan sebagai pekerja buruh yang layaknya
karyawan persahaan atau pegawai negeri atau profesional tertentu, yaitu
pembantu rumah tangga, kelompok pekerja atau buruh yang bertugas sebagai
pembantu urusan dan pekerjaan rumah tangga orang, di dalam maupun luar negeri.
Islam
menawarkan teori penyelesaian krisis utang secara sosial. Dalam kondisi ini
dimana debitur benar-benar pailit dan Islam menawarkan dua cara penyelesaian
yaitu: (1). Bantuan Sosial dari masyarakat: Sanak saudara, teman, dan para
dermawan secara sukarela memberikan bantuan untuk menyelesaikan utang debitur yang pailit. Ini merupakan
perwujudan dari kepekaan, kepedulian, dan solidaritas sosial sebagaimana yang
dianjurkan Islam. (2). Bantuan sosial dari lembaga zakat dan negara: Debitur
yang bangkrut, berhak mendapatkan bantuan sosial dari lembaga zakat atau dana
sosial dari negara. Dengan catatan utang tersebut benar-benar digunakan untuk
kebaikan dan kemaslahatan umum.
Dampak buruk dari utang tersebut sangat
berpengaruh misalnya saja utang negara kita. Apabila tidak ada beban pembayaran
utang maka Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) akan surplus (2006 dan 2007 surplus APBN sebesar Rp 45,8
triliun dan Rp 52,0 triliun). Penerimaan pemerintah masih lebih besar dibanding
pengeluaran. Namun dengan pembayaran utang sebesar Rp 138,2 triliun (2006) dan
Rp 139,2 (2007), maka APBN 2006 menjadi defisit sebesar Rp 37,6 triliun dan
pada APBN 2007 sebesar Rp 33,1 triliun. Defisit inilah yang selalu dijadikan
alasan untuk terus mencari utang luar negeri.
3.
Pembiayaan proyek produksi
Para ulama seperti imam Syafi’i, an-Nasai, dan
lainnya menyatakan bahwa jika mustahik zakat memilki kemampuan untuk berdagang,
selayaknya dia diberi modal usaha yang memungkinkannya memperoleh keuntungan
yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Demikian juga jika yang bersangkutan
memiliki keterampilan tertentu, kepadanya diberikan peralatan produksi yang
sesuai dengan pekerjaannya.
4.
Dakwah Islamiyah
Dalam
penerapannya sekarang distribusi zakat tentu diserahkan kepada amil zakat
dengan mempertimbangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kepentingan dan
kemaslahatan kau muslimin. Misalnya, bisa saja zakat diberikan (atas nama
mustahik muallaf) kepada kaum muslimin didaerah transmigrasi yang dianggap
rawan akidah, atau juga untuk kelompok kaum muslimin yang baru masuk Islam,
atau juga untuk kelompok kaum muslimin yang baru masuk Islam dan memerlukan
pembinaan serius.
Seperti halnya yang perlu di lakukan
dakwa Islamiyah adalah ibnu sabil dan muallaf. Menurut ulama kontemporer,
seperti Syekh Rasyid Ridha, berpendapat bahwa untuk saat ini bisa juga di
masukkan ke dalam kelompok ibnu sabil orang yang meminta suaka ke negeri lain
karena di negerinya tidak bisa
melaksanakan ajaran Islam. Masuk pula kelompok ini anak-anak jalanan dan
anak anak buangan yang sama sekali tidak memiliki keluarga yang mau bertanggung
jawab terhadap kehidupannya. Tentu saja dalam menangani kasus anak jalanan ini
yang paling tepat adalah melibatkan pemerintah, bukan diserahkan semata-mata
kepada individu masyarakat. Sementara golongan lain yang di tuntut untuk
dilakukan dakwah terhadapnya yaitu golongan muallaf. Golongan muallaf ialah
orang yang baru masuk Islam, dianggap masih lemah imannya. Mereka masih
memerlukan pembinaan dan perhatian yang sungguh-sungguh agar tidak kembali kepada kekafirannya. Golongan
orang yang dikhawatirkan kelakuan jahatnya dan mereka ini dimasukkan juga
kedalam mustahik zakat dengan harapan
dapat mencegah kejahatannya. Serta golongan masyarakat yang memiliki
sahabat-sahabat orang kafir yang
diharapkan dapat menarik simpati mereka untuk masuk Islam.
Zakat dapat menciptakan mekanisme
distribusi ekonomi akan tetapi, zakat tidak murni sebagai kebijakan ekonomi.
Zakat semata-mata merupakan implementasi ibadah ritual seorang muslim kepada
Tuhan-nya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di masyarakat.
F.
Kesimpulan
Dalam
konsep distribusi zakat, penetapan dalam objek penerima zakat atau mustahik,
sesungguhnya mempunyai arti bahwa zakat adalah sebentuk subsidi langsung. Di
dalam zakat terdapat hak dari delapan asnaf tersebut yang harus di berikan oleh
para muzakki. Distribusi zakat dikategorikan dalam beberapa bentuk yang
bersifat konsumtif tradisional, konsumtif kreatif, produktif tradisional dan
produktif kreatif .
Adapun distribusi dana zakat model distribusi dana zakat yaitu di terapkan
dalam bentuk konsumtif yang mana berupa upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi
dasar mustahik, upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan tingkat
kesejahteraan sosial dan psikologis, upaya pemenuhan kebutuhan yang berkaitan
dengan peningkatan sumber daya manusia agar dapat bersaing hidup di alam
transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia. Sementara dalam bentuk produktif bisa
diterapkan dalam skema qardhul hasan dan mudharabah. Selanjutnya bisa juga dana
zakat tersebut didistribusikan dalam bentuk investasi oleh para muzakki, amil zakat kemuidan
devidennya barulah diberikan oleh para mustahik namun hal ini baiknya mendapat
persetujuan dari para mustahik tersebut.
Dan selanjutnya model distribusi
zakat dalam perspektif lain yaitu berupa pembelian sarana dan prasarana bagi
fakir miskin, membebaskan utang bagi kaum buruh, pembelian proyek produksi dan
dakwah Islamiyah. Dari semua model distribusi zakat tersebut diharapkan
mempunyai andil yang besar dai proses akhir pengeloaan zakat yaitu
pendistribusian zakat yang optimal dan zakat juga dapat
menciptakan mekanisme distribusi ekonomi akan tetapi, zakat tidak murni sebagai
kebijakan ekonomi. Zakat semata-mata merupakan implementasi ibadah ritual
seorang muslim kepada Tuhan-nya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di
masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Beik,
Irfan Syauki. “Analisis Peran Zakat
dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika. Zakat
& Empowering”. Jurnal Pemikiran dan Gagasan. Vol II, 2009.
Beik, Irfan Syauki. “Memuliakan
mustahik”. Republika, 23 Juli 2014.
Chapra, M. Umer, Islam Dan Tantangan Ekonomi, Risalah Gusti: Surabaya, 1999.
Daud Ali, Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, UI
Press: Jakarta, 1998.
Hafidhuddin, Didin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq dan Sedekah, Gema Insani
Press: Jakarta, 1998.
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2012.
Huda, Nurul, dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Kencana:
Jakarta, 2012.
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011.
Mufraini, Arif, Akuntansi dan manajemen Zakat: Mengkomunikasikan Kesadaran dan Memangun
Jaringan, Jakarta: Kencana, 2006.
Muhammad, Sahri, Zakat dan Infak, Avicenna: Malang, 1982.
Winoto,
Garry Nugraha. “Pengaruh Dana Zakat Produktif
Terhadap Keuntungan Usaha Mustahik Penerima Zakat”. Skripsi, Program
Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.